Di televisi, Prabowo Subianto sering muncul sebagai sosok yang tegas, penuh strategi, dan siap memimpin negeri ini. Tapi ada satu sisi lain yang jarang dibahas: Prabowo sebagai seorang pembaca. Dalam beberapa wawancara, ia menyebut berbagai buku yang ia baca, mulai dari strategi militer hingga filsafat. Seandainya kebiasaan membaca ini menjadi salah satu warisannya bagi bangsa, bagaimana dampaknya bagi desa saya?
Saya tinggal di sebuah desa kecil yang, seperti kebanyakan desa lain di Indonesia, memiliki satu bangunan yang disebut "perpustakaan desa." Namun, sebutan itu lebih sebagai formalitas. Buku-bukunya berdebu, isinya tak pernah diperbarui, dan pengunjungnya bisa dihitung dengan jari. Jika pemimpin seperti Prabowo benar-benar ingin membangun Indonesia yang berilmu, nasib perpustakaan desa harus menjadi salah satu perhatiannya.
Perpustakaan Desa: Ada tapi Tak Terurus
Perpustakaan di desa saya berdiri sejak beberapa tahun lalu, hasil program bantuan pemerintah. Gedungnya sederhana, dengan rak-rak kayu yang dipenuhi buku-buku lama. Ada novel klasik, buku pelajaran bekas, dan beberapa buku peternakan serta pertanian yang mungkin menarik bagi warga. Tapi ada satu masalah besar: tak ada yang datang ke sana.
Mengapa? Ada beberapa alasan.
1. Buku yang Usang dan Tidak Relevan
Sebagian besar buku di perpustakaan ini adalah sumbangan dari instansi pemerintah atau individu yang ingin "menyingkirkan" koleksi lama mereka. Akibatnya, banyak buku yang sudah tidak relevan dengan kebutuhan warga desa. Bayangkan anak muda ingin membaca tentang bisnis digital, tetapi yang tersedia hanya buku tentang koperasi dari era 1980-an.
2. Minimnya Akses dan Fasilitas
Perpustakaan ini buka hanya beberapa jam sehari, itupun kalau ada petugas yang berjaga. Tidak ada Wi-Fi, tidak ada komputer, bahkan kursi baca yang nyaman pun tidak tersedia. Dalam kondisi seperti ini, wajar kalau anak-anak lebih memilih nongkrong di warung kopi dengan sinyal internet yang lebih baik.
3. Kurangnya Program Literasi