"Ini makalah apa? Isinya semua logical fallacy. Coba kamu perbaiki lagi sehingga bisa lebih sesuai dengan kaidah silogisme modern," teriak Pak Narto sambil melempar sebuah makalah ke pojok ruangan.
Semua mahasiswa terdiam mendengar kalimat-kalimat kemarahan Pak Narto, yang sepertinya memang berubah menjadi pemarah sejak Pak Narto studi lanjut untuk mengambil gelar doktornya dan tidak juga lulus.
"Ini punya siapa lagi? Makalah macam apa ini? Premis mayor dan minornya tidak jelas begini.Ini benar-benar irrelevant premises. Saya tidak tahu appeal to motivate dari tulisan ini yang lebih banyak mencantumkan genetic fallacy begini. Siapa mengajarkan kalian menulis sehingga bertebaran fallacies of irrelevant premise. Belum lagi kesalahan etimological fallacy," teriak Pak Narto sambil meremas dengan keras makalah yang dipegangnya, seperti hendak dilumatnya.
Tono dan Tini yang duduk bersebelahan hanya bisa terdiam melihat makalahnya dikoreksi Pak Narto di depan kelas dengan begitu sadisnya.
"Baik, ada pertanyaan? Kalau tidak ada saya lanjutkan materinya." Semua mahasiswa terdiam karena takut setiap ucapan, gerakan bahkan lirikan mata mereka bisa membuat Pak Narto bertambah murka.
Pak Nartopun memulai penjelasannya tentang ilmu menggambar sketsa tiga dimensi. Sementara para mahasiswa mulai kasak-kusuk saling berbisik dengan kejadian di awal perkuliahan tadi. Termasuk Tono dan Tini yang masih bingung dengan koreksi Pak Narto.
"Ton, opo yo makalahmu ancur tenan ngono tah?"
"Emboh Tin. Rumongsoku wes bener. Iku ae seng tak tulis, tak jupukno teko tulisane Pak Narto dewe nang blog-e."
"Ealah... Tibake kon iku kopi-paste toh Ton," bisik Tini sambil menahan ketawanya.
"Hehehe.. Iyo. Ngono iku sek salah ae."
Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan kelas.