Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anakku Bukan Cabe-cabean

15 Oktober 2014   14:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:57 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Itu di sana," jawabnya sambil menunjuk ke arah warung remang-remang yang aku lewati tadi.

Aku bergegas berjalan ke arah warung. Dimas mengikutiku dari belakang. Benar saja, anak gadisku sedang duduk ngobrol di warung sambil tertawa-tawa dengan teman-temannya. Pakaiannya tidak jauh beda dengan cabea-cabean yang di luar sana.  Tidak, anakku bukan cabe-cabean. Aku sudah mendidiknya dengan benar. Tidak mungkin dia tersesat menjadi cabe-cabean yang seringkali hanya dijadikan penghibur di kalangan gank motor atau bahkan jadi barang taruhan.

"Putri!" Teriakku saat di depan warung. Putri yang menyadari kehadiranku hanya menatap tanpa ekspresi ke arahku.

"Pulang sekarang!" Bentakku dengan penuh kemarahan. Aku menyosong masuk untuk menariknya keluar warung. Namun Putribangkit berdiri dan berteriak, "Aku tidak kamu... aku tidak kenal kamu..." Suasana mulai gaduh saat gerombolan gank motor mulai berkumpul di depan warung. "Hai aku ini Bapakmu.. Ayo pulang sekarang!" Bentakku dengan suara menggelegar.

Yang terjadi berikutnya, seorang pemuda yang duduk di sebelah putri meluncurkan pukulan datar ke arah wajahku. reflek, aku menangkisnya dan balik menghujamkan tamparan ke arah wajahnya dan membuatnya jatuh terpelanting mengenai rak piring. Aku segera bersiap dengan segala kemungkinan. Mataku waspada melihat ke segala sudut dan sesekali memiringkan badan untuk melihat bila ada serangan dari belakang.

"Putri harus pulang sekarang," pintaku. Kali ini aku sudah bisa menguasai diri untuk tidak membentaknya.

"Maaf Om. Putri tidak mau pulang. Om yang pulang saja!" Kata seorang pemuda yang paling senior di antara mereka semua. Sepertinya ini ketua kelompok atau gank motor.

"Tolong jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan anak saya."

"Tapi Om berada di wilayah saya. Om segera tinggalkan tempat deh sebelum dikeroyok oleh mereka semua." Kali ini intonasinya tidak begitu tinggi namun terdengar seperti sebuah ancaman serius.

"Silahkan kalau memang kalian mencari perkara. Saya sedang menjalankan tugas dan kewajiban saya sebagai orang tua," jawabku sambil membenahi celana yang sedikit melorot karena tadi lupa tidak pakai sabuk.

Tanpa disangka, sebuah pukulan dari belakang mengenai punggungku. Aku terdorong ke depan dan hampir mengenai meja. namun dengan sigap, aku membalikkan badan dan mengirimkan tendangan memutar ke orang yang menyerangku tadi. Rupanya seorang remaja tanggung yang akhirnya terkena tendanganku. Tanpa dikomando, anggota gank yang lainnya juga menyerang dengan pukulan dan tendangan. Beberapa dapat aku hindari, namun banyak juga mengenai dada dan kepalaku. Aku terus melawan sambil mencoba menyerang balik orang yang terdekat yang menyerangku. Suasana begitu kacau dan ramai. Sesekali aku masih mendegar teriakan putriku agar semuanya berhenti menyerangku. Aku mulai merasa pening dan mual. Beberapa pukulan sempat mendarat di perutku dan membuat perasaan sesak nafas. Darah juga tampak mulai mengucur dari pelipis, hingga akhirnya sebuah tendangan telak mendarat di dadaku dan membuatku jatuh terjengkang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun