Mohon tunggu...
Choiron
Choiron Mohon Tunggu... Administrasi - Hidup seperti pohon. Menyerap sari makanan dan air dari mana saja, dan pada saatnya harus berbuah.

Hanya sebuah botol kosong...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anakku Bukan Cabe-cabean

15 Oktober 2014   14:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:57 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku beranjak dari kursi, menghampiri istriku dan mencium keningnya. "Maaf aku ya Ma. Aku akan cari mereka sekarang."

Berbekal nomer telpon teman-teman kedua anakku, aku menelusuri keberadaan Dimas dan Putri. Beruntung teman-teman Dimas dan Putri yang aku hubungi, mereka dengan senang hati memberikan informasi di mana kedua anakku itu biasa 'hang out' bersama kelompoknya.

Aku mencari Dimas terlebih dahulu yang informasinya sering berkumpul bersama anak-anak punk di daerah ruko dekat alun-alun kota. Mobilku memutari area pertokoan yang gelap. Hanya beberapa lampu jalan yang tidak terlalu terang, menyinari perempatan jalan. Hingga akhirnya mobilku berada di ujung jalan di belakang stadion. Dari jauh tampak beberapa orang sedang duduk di depan api unggun sambil bersendau gurau. Remaja tanggung dari kelompok anak punk yang aku cari. Mataku mencoba mencari-cari di antara mereka bila ada sosok Dimas, putraku. benar saja. Pemuda yang sedang bermain gitar itu putraku.

Aku menghentikan mobil agak jauh dari kelompok punk tersebut. Beberapa di antara mereka berdiri, termasuk Dimas. Aku keluar mobil dan berjalan berlahan mendekat. Rambutku yang sebahu aku biarkan terurai diterpa angin malam.

"Ngapain Bapak ke sini?" Dimas melotot ke arahku dengan wajah tidak suka.

"Pulang. Ditunggu Mamamu di rumah." Aku mencoba berbicar pelan dan menahan diri untuk tidak menghajar putraku yang berani melotot ke arahku. Dimas hanya diam tidak merespon permintaanku.

"Kita berbicara sebentar di sana yuk," pintaku, masih dengan suara dibuat sesabar mungkin. Kali ini Dimas berdiri, menyerahkan gitar yang dipegangnya kepada seorang remaja putri di sebelahnya. Aku tidak habis pikir, bagaimana remaja putri begitu bisa keluyuran tengah malam dan berkumpul dengan anak-anak punk. Hei... Bukankah putriku juga belum pulang hingga larut malam ini.

"Bapak mau ngomong apa? Tumben Bapak mencari Dimas? Biasanya Bapak tidak perduli dengan Dimas, bukan?" sergah anakku saat sudah menjauh dari kelompoknya.

"Dimas, maafkan Bapak. Bapak tidak bermaksud menelantarkan Dimas dan Putri. Bapak sadar kalau bukan orang tua yang baik. Bapak berfikir semuanya baik-baik saja." Dimas terdiam sambil mempermainkan gelang rantai yang ada di tangannya.

"Sekarang Dimas pulang. Mamamu mengkhawatirkanmu."

"Tidak!. Dimas tidak mau pulang. Merekalah keluarga Dimas sekarang," kata Dimas sambil menunjuk ke kelompok   Punknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun