Akan sangat baik andaikan kehidupan pribadi dua tokoh ini juga dibahas---dibanding mengulang-ulang yang sudah jelas. Seperti mengapa dia melakukan ini dan itu, orang tuanya bagaimana, kehidupan selain dalam perannya dalam hidupnya Claudia. Alva dan Kenzo ini belum cukup kuat.
Mengenai alur, penulis sudah cukup rapi mengolahnya. Alurnya maju-mundur. Pembaca jadi lebih mudah memahami masa lalu dan saat ini. Seperti yang sudah saya bahas, selain santapan utama tentang teror buku harian, novel ini menyajikan kisah cinta new adult antarsahabat.Â
Sejauh membaca saya cukup nyaman, meski ada beberapa love scene yang penempatannya sebenarnya pas---tapi karena Claudia terlalu overthinking---yang mana dia menuliskan seluruh pikirannya di kertas---fokus cerita jadi sedikit goyang. Tapi karena memang karakter tokohnya begitu, ya bagaimana?Â
Saya pikir, mungkin akan sangat menarik seandainya dari sisi Claudia, kisah ini dituturkan dari format sudut pandang orang ketiga. Tidak akan terjadi perlombaan sudut pandang mana yang lebih menonjol antara dua penutur.Â
Seperti novel yang mengambil eksekusi serupa, 13 Reasons Why---penulis bilang terinspirasi dari kisah ini---Jay Asher sempat ragu mengeksekusi sisi Clay. Mengutip kata-katanya: Cerita Clay lebih sulit ditulis karena aku harus mempertahankan kisahnya cukup menarik dibandingkan dengan kisah dramatis Hannah, terutama karena kisah mereka diceritakan secara bersamaan.
Terlepas semua itu, Memoar Marla adalah pilihan debut yang sangat baik. Novel ini sangat menyadarkan dan punya pesan yang seharusnya diketahui lebih luas oleh orang-orang di luar sana. Sangat layak kamu baca dan rekomendasikan ke teman dan keluarga.
Terima kasih telah menulis kisah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H