Mohon tunggu...
Nindya Chitra
Nindya Chitra Mohon Tunggu... Novelis - Pengarang dan Editor Paruh Waktu

Hubungi saya di Instagram atau Twitter @chitradyaries

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Memoar dari Perempuan yang Sudah Mati

12 Mei 2020   11:52 Diperbarui: 12 Mei 2020   12:22 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: @chitradyaries20

Judul: Memoar Marla

Penulis: Safira Hapsari

Editor: Dion Rahman

Tahun Terbit: 2019

Jumlah Halaman: 394

Rating: 3.5/5.0

Blurb:

Marla Wijaya bunuh diri di acara Prom Night!

Lima tahun setelah kejadian tersebut, sepucuk surat teror tanpa nama mampir di kotak pos Claudia. Bersamaan dengan itu, undangan grup WhatsApp SMA untuk menghadiri peringatan lima tahun kematian Marla muncul.

Claudia dipaksa kembali mengenang memorinya bersama Marla yang sudah lama dia tutup rapat. Marla bukan teman dekatnya di sekolah, tapi sehari sebelum kematian gadis itu, Claudia mengabaikannya.

Rasa bersalah kembali menghantamnya. Dibantu kedua sahabatnya, Kenzo dan Alva, Claudia berusaha mengungkap siapa sosok yang telah menerornya selama ini sebelum hari peringatan itu tiba. Berbagai nama dari masa SMA mereka muncul sebagai tersangka, dan fakta-fakta yang muncul membuatnya mulai mempertanyakan apa surat-surat itu benar-benar dikirim oleh perempuan yang sudah mati, atau...

Apa semua ini memang salahnya?

 "Semua hal buruk itu akan berlalu, Tuhan punya rencana baik untuk kita semua."

Memoar Marla hal. 325

 Di Instagram saya pernah menyinggung,  pernah membaca Memoar Marla di Gramedia Digital sebelum membaca versi cetaknya. Senang bisa menepati janji untuk menulis lebih panjang tentang novel ini. Setelah menyelesaikan halaman terakhir versi cetaknya, saya mendapat kesan yang lebih baik dibanding ketika membaca via layar dulu. 

Kebetulan baru kemarin saya selesai membaca---setelah sekian lama menangguhkannya. Saya bisa mengerti rasa bersalah Claudia dengan lebih baik, mendengar kisah Marla dengan lebih baik, dan menikmati kisah cinta antarsahabat yang terjalin seutuhnya sebagai penikmat---dan sungguh, itu lebih menyenangkan.

Novel ini mengambil premis yang masih jarang tapi belakangan mulai banyak diolah: bunuh diri, kesehatan mental, perundungan, self love; di samping tema dasar yang umum yaitu kisah cinta segitiga juga sahabat jadi cinta. 

Dalam format memoar dan penuturan sudut pandang orang pertama---pembaca diajak memahami psikologi dari dua gadis yang dulunya pernah menjalani masa SMA di tempat yang sama. 

Gadis pertama dengan segala kisah bersama dua sahabat lelaki tampan yang tak pernah jauh dari sisinya. Gadis kedua dengan segudang masalah yang membuatnya insekyur dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya.

Dari membaca blurb, pembaca akan langsung disuguhi premis utama itu. Pembukanya juga menegaskan demikian. Lalu kita akan membaca sepotong demi sepotong buku harian gadis yang sudah mati di hari terakhir menjadi siswa SMA---malam prom. 

Kita diajak memahami mengapa seseorang memilih tindakan senekat itu untuk mengakhiri penderitaan, dan di sisi lain, mengerti seperti apa hidup berjalan setelah satu orang memilih pergi. Duka keluarga dan orang-orang terdekat. Juga mereka yang merasa bertanggung jawab atas keputusan final tersebut.

Penulis punya gaya bercerita yang mengalir. Pada awalnya memang akan terasa kurang nyaman karena narator terlalu tumpah dan sering mengulang-ulang informasi. Tapi mulai pertengahan ke akhir, penuturannya sudah lebih nyaman diikuti---membuat saya menyelesaikan bagian-bagian ini hanya dalam beberapa kali duduk.

Latar yang digunakan sebagian besar bertempat di Bogor dan Jakarta. Memang tidak terlalu dieksplor tapi tak mengganggu jalannya cerita. Karakter tokoh-tokohnya mudah dikenali. 

Semuanya punya ciri khas yang dijabarkan dengan sangat detail. Dari gaya bicara, lagu favorit sampai kebiasaan. Karakter favorit saya, jujur saja, Marla. Rasanya dari seluruh penjabaran, Marla yang kelihatan paling hidup--padahal dia yang paling mati. 

Emosi-emosinya, semua tindakannya beralasan---karena itu penjabaran dalam buku hariannya terasa lebih terang dibanding ketika Claudia yang mengambil setir cerita. Claudia memang baik---meski tak sebaik penjabaran Marla. 

Tapi sampai akhir saya tidak menemukan dia seistimewa itu. Banyak tindakannya yang kurang beralasan---mungkin didasari emosi, tapi saya sulit respek ke dia---dia seperti sangat peduli pendapat orang lain tentangnya tapi kadang juga tidak, adegan antara dia dan Kenzo selalu terasa seperti adegan Edward Cullen dan Bella Swan---tapi selalu gagal ketika Alva datang yang mirip juga ketika Jacob datang. Bukankah berarti kemistri Kenzo-Claudia ini sekuat itu?

Memang ada orang-orang seperti Claudia, yang baik karena memang dia baik---tapi orang seperti ini terasa hanya di permukaan, mengambang. Jadi, ketika kisahnya disandingkan dengan drama Marla---dua gadis ini jadi tidak sepadan. Sedangkan Claudia sang narator ini membawa ceritanya dengan kadar sedih yang sama seperti Marla. 

Padahal menurut saya kadarnya berbeda.

Claudia memang bersedih karena kehilangan dan merasa bersalah---tapi dia terlihat baik-baik saja, terlepas dari yang dia katakan tentang obat antidepresi dsb. Tapi Marla, seandainya dia melakukan yang Claudia lakukan, hanya merasakan---hidupnya tetap tidak baik-baik saja. 

Marla harus melakukan sesuatu untuk bisa keluar dari masalah---dia harus dapat nilai yang baik, punya cukup uang, keberanian, dan mungkin keluar dari masalah obsesinya ke Claudia. Will-nya Marla ini kuat sekali. 

Claudia sangat kewalahan menurut saya untuk bisa sejajar dengan karakter sekuat Marla---terlepas penyimpangan karakter seperti mencuri, menguntit, dsb. Claudia sudah punya segalanya---itu nggak asyik banget!

Hal yang sama berlaku untuk Kenzo dan Alva. Dua karakter lelaki yang harusnya menyedot perhatian kaum hawa ini, belum cukup kuat merebut perhatian saya. Dua lelaki ini masih terasa seperti pendatang dalam cerita---ya, penuturan Claudia. 

Alih-alih penting, dua tokoh ini terasa dihadirkan hanya untuk mewarnai hidup Claudia, menyelamatkan Claudia, membuat Claudia terlihat seperti gadis istimewa. 

Akan sangat baik andaikan kehidupan pribadi dua tokoh ini juga dibahas---dibanding mengulang-ulang yang sudah jelas. Seperti mengapa dia melakukan ini dan itu, orang tuanya bagaimana, kehidupan selain dalam perannya dalam hidupnya Claudia. Alva dan Kenzo ini belum cukup kuat.

Mengenai alur, penulis sudah cukup rapi mengolahnya. Alurnya maju-mundur. Pembaca jadi lebih mudah memahami masa lalu dan saat ini. Seperti yang sudah saya bahas, selain santapan utama tentang teror buku harian, novel ini menyajikan kisah cinta new adult antarsahabat. 

Sejauh membaca saya cukup nyaman, meski ada beberapa love scene yang penempatannya sebenarnya pas---tapi karena Claudia terlalu overthinking---yang mana dia menuliskan seluruh pikirannya di kertas---fokus cerita jadi sedikit goyang. Tapi karena memang karakter tokohnya begitu, ya bagaimana? 

Saya pikir, mungkin akan sangat menarik seandainya dari sisi Claudia, kisah ini dituturkan dari format sudut pandang orang ketiga. Tidak akan terjadi perlombaan sudut pandang mana yang lebih menonjol antara dua penutur. 

Seperti novel yang mengambil eksekusi serupa, 13 Reasons Why---penulis bilang terinspirasi dari kisah ini---Jay Asher sempat ragu mengeksekusi sisi Clay. Mengutip kata-katanya: Cerita Clay lebih sulit ditulis karena aku harus mempertahankan kisahnya cukup menarik dibandingkan dengan kisah dramatis Hannah, terutama karena kisah mereka diceritakan secara bersamaan.

Terlepas semua itu, Memoar Marla adalah pilihan debut yang sangat baik. Novel ini sangat menyadarkan dan punya pesan yang seharusnya diketahui lebih luas oleh orang-orang di luar sana. Sangat layak kamu baca dan rekomendasikan ke teman dan keluarga.

Terima kasih telah menulis kisah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun