Apa pun takdir yang ditentukan, itulah yang terbaik untuk sebuah kehidupan.
Saya percaya, entah itu buku, film, sepenggal tulisan, atau iklan yang menggugah, diperhatikan bukan tanpa alasan. Pasti ada ikatan khusus yang membuat kita memutuskan untuk menikmati sesuatu. Industri hiburan makin ramai.
Ada bermacam hiburan yang bisa dinikmati dengan mudah di era digital ini. Tapi pada prakteknya, setiap orang pasti punya kegemarannya sendiri. Jarang yang menikmati segala macam hiburan tanpa pilih-pilih. Lagi pula, hidup ini terlalu singkat untuk hanya dinikmati tanpa tujuan, kan?
Bicara tentang pilihan, Mukadimah Cinta bukan tipe bacaan yang akan masuk dalam pilihan saya. Dimulai dari genrenya yang terlalu soft. Tipe bacaan seperti ini saya baca dengan alasan khusus. Tak terkecuali yang ini. Beberapa bulan lalu saya mengenal penulisnya dari sebuah grup kepenulisan.
Awalnya kami hanya mengobrol perihal menulis, saling menyemangati, atau kadang merekomendasikan bacaan. Obrolan kami berlanjut, dari keluhan seputar menulis sampai curhat masalah pribadi.
Penulis menyampaikan keluhannya tentang sulitnya memasarkan buku yang ia terbitkan secara indie. Kemudian saya menawarkan padanya untuk coba mengulas dan mempromosikan tulisannya.
Saya tidak berekspektasi besar ketika mengawali lembar-lembar awal Mukadimah Cinta. Selalu butuh ikatan yang kuat di awal untuk saya memutuskan duduk dan menamatkan sebuah cerita secapat mungkin.
Untuk eksekusi itu, saya rasa penulis belum mampu menundukkan ego saya. Lembar demi lembar benar-benar saya jalani dengan lambat. Sampai kemudian saya justru tertimbun kesibukan lain dan tanpa terasa sebulan berlalu. Penulis tak pernah absen mengingatkan, walaupun seringnya saya jawab dengan nanti atau sepertinya mood saya belum cukup untuk lari ke sana. Yah, atas kesabarannya, saya apresiasi sebesar-besarnya.
Beberapa hari lalu saya bertekad menamatkan Mukadimah Cinta sebelum virus malas makin menenggelamkan saya. Dan hasilnya … ternyata saya bisa menamatkannya dalam beberapa jam saja! Kesan awalnya yang sendu tapi manis semakin lama makin menarik karena banyak kejutan-kejutan kecil di dalamnya.
Secara halus, penulis memasukkan semacam teka-teki yang menciptakan twist yang menarik. Tapi, mungkin karena saya biasa menulis misteri, twist tentang perasaan seorang tokoh ini tidak membuat saya terlalu spechless.
Pas rahasia si tokoh ini terkuak, yang saya teriakkan justru, “Tuh kan bener tebakan gue!” Tapi, serisously, teka-teki ini bikin saya tidak bosan untuk terus lanjut dan benar-benar menantikan seperti apa akhir kisahnya.