Judul: Mukadimah Cinta
Penulis : Sizhuko
Genre: Romance
Penerbit: Laditri Karya
Tahun Terbit: 2019
Jumlah Halaman: 326 Halaman
Rating: 3.8/5.0
Novel ini bisa dipesan melalui laditrikarya.com atau Instagram @laditrikarya.
Blurb:
Memang benar kasih sayang adalah anugerah terindah di dunia ini.
Untuk menenteramkan jiwa dan menjadikan hidup lebih bermakna.
Kita tahu, terkadang cinta datang sekadar menguji.
Apa kita benar-benar telah dewasa, atau sebaliknya?
Demikian pula yang dirasakan Habbibah, rasa cinta membuatnya terombang-ambing dalam rumitnya permasalahan.
Ia, merasa bertahun-tahun hidup dalam kesedihan.
Mampukah dia bertahan menanti cinta dalam diam?
Atau penantiannya akan sia-sia?
Habbibah tidak tahu pasti, yang jelas perasaannya tidak pernah berubah.
Cintanya kepada Lukman teramat kuat.
Ia merasa jaraknya dengan surga lebih dekat andai bisa bersama sang pujaan hati.
Namun, bagaimana peranan takdir?
Tuhan tentu sudah mengatur jalan hidup setiap hamba-Nya.
Apa pun takdir yang ditentukan, itulah yang terbaik untuk sebuah kehidupan.
Saya percaya, entah itu buku, film, sepenggal tulisan, atau iklan yang menggugah, diperhatikan bukan tanpa alasan. Pasti ada ikatan khusus yang membuat kita memutuskan untuk menikmati sesuatu. Industri hiburan makin ramai.
Ada bermacam hiburan yang bisa dinikmati dengan mudah di era digital ini. Tapi pada prakteknya, setiap orang pasti punya kegemarannya sendiri. Jarang yang menikmati segala macam hiburan tanpa pilih-pilih. Lagi pula, hidup ini terlalu singkat untuk hanya dinikmati tanpa tujuan, kan?
Bicara tentang pilihan, Mukadimah Cinta bukan tipe bacaan yang akan masuk dalam pilihan saya. Dimulai dari genrenya yang terlalu soft. Tipe bacaan seperti ini saya baca dengan alasan khusus. Tak terkecuali yang ini. Beberapa bulan lalu saya mengenal penulisnya dari sebuah grup kepenulisan.
Awalnya kami hanya mengobrol perihal menulis, saling menyemangati, atau kadang merekomendasikan bacaan. Obrolan kami berlanjut, dari keluhan seputar menulis sampai curhat masalah pribadi.
Penulis menyampaikan keluhannya tentang sulitnya memasarkan buku yang ia terbitkan secara indie. Kemudian saya menawarkan padanya untuk coba mengulas dan mempromosikan tulisannya.
Saya tidak berekspektasi besar ketika mengawali lembar-lembar awal Mukadimah Cinta. Selalu butuh ikatan yang kuat di awal untuk saya memutuskan duduk dan menamatkan sebuah cerita secapat mungkin.
Untuk eksekusi itu, saya rasa penulis belum mampu menundukkan ego saya. Lembar demi lembar benar-benar saya jalani dengan lambat. Sampai kemudian saya justru tertimbun kesibukan lain dan tanpa terasa sebulan berlalu. Penulis tak pernah absen mengingatkan, walaupun seringnya saya jawab dengan nanti atau sepertinya mood saya belum cukup untuk lari ke sana. Yah, atas kesabarannya, saya apresiasi sebesar-besarnya.
Beberapa hari lalu saya bertekad menamatkan Mukadimah Cinta sebelum virus malas makin menenggelamkan saya. Dan hasilnya … ternyata saya bisa menamatkannya dalam beberapa jam saja! Kesan awalnya yang sendu tapi manis semakin lama makin menarik karena banyak kejutan-kejutan kecil di dalamnya.
Secara halus, penulis memasukkan semacam teka-teki yang menciptakan twist yang menarik. Tapi, mungkin karena saya biasa menulis misteri, twist tentang perasaan seorang tokoh ini tidak membuat saya terlalu spechless.
Pas rahasia si tokoh ini terkuak, yang saya teriakkan justru, “Tuh kan bener tebakan gue!” Tapi, serisously, teka-teki ini bikin saya tidak bosan untuk terus lanjut dan benar-benar menantikan seperti apa akhir kisahnya.
Yang membuat saya selalu tersenyum sepanjang membaca Mukadimah Cinta adalah puisi-puisinya. Betapa setiap puisi terdengar merdu. Melalui dialog dan beberapa narasi, penulis mengajarkan sedikit tentang teknik-teknik puisi. Selain itu, bertebaran juga banyak puisi yang untuk orang awam seperti saya benar-benar seperti melihat langsung praktek dari teknik yang diberikan. Ada momen di suatu adegan yang benar-benar tidak saya sangka memiliki arti khusus. Rasanya seperti menemukan jejak tak terduga sepanjang perjalanan.
Setiap puisi terdengar tulus tapi bernalar. Saya tidak bisa untuk tidak tersenyum setiap membaca puisi pembuka dari setiap bab. Banyak penulis yang mengeksekusi pembukaan bab dengan cara seperti ini, tapi masih banyak pula yang tidak bisa membuat puisi yang dilampirkannya masuk ke cerita tanpa terkesan terlalu dipaksakan.
Saya tipe penulis yang lebih suka paragraf awal yang nendang daripada menyelipkan yang bukan bagian cerita seperti ini. Terlebih, kalau cuma untuk kelihatan sebagai hiasan. Yang patut diapresiasi, Mukadimah Cinta tak tampak seperti itu. Setiap puisi pembuka justru melengkapi cerita, memberi suasana yang lebih hidup sehingga kekurangan pada pendeskripsian latar dapat tertutupi dengan baik.
Seperti latar, sebenarnya karakter tokoh juga kurang diperdalam. Tapi hal ini tidak sampai membuat cerita menjadi jomplang. Penulis tetap menyuguhkan porsi karakter yang cukup untuk membangun suasana cerita yang mendukung pergerakan plot.
Novel ini termasuk yang banyak terdapat kutipan menarik. Saya suka mengumpulkan kutipan dan menyimpannya di timeline media sosial. Tapi novel ini berhasil membuat saya tak hanya sekadar menyimpan di media sosial, tapi juga menandai langsung di bukunya untuk nanti saya baca kembali.
Selain puisi, nilai plus novel ini terdapat pada penyajian kearifan lokal, budaya, dan tempat-tempat khas di daerah Jawa Tengah yang menjadi latar cerita. Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik, tempat-tempat menarik yang jadi simbol khas daerah juga dimasukkan secara halus ke dalam cerita sehingga tidak menimbulkan kesan tempelan. Penyertaan detail-detail ini cukup membuat saya penasaran tentang daerah Kudus dan sekitarnya ini. Kesannya tenang, masih menjunjung unsur budaya tapi tidak terbelakang, juga kental nuansa islaminya.
Novel ini juga membuat saya lebih perhatian pada musik-musik piano klasik. Sebelumnya saya tidak tahu bahwa nada yang sering saya dengar itu ternyata milik komponis Mozart atau yang satu lagi ternyata Beethoven.
Saya tidak cukup pintar untuk mengingat detail. Tapi novel ini mengingatkan saya. Karena penasaran saya berselancar di YouTube dan mendengarkan musik-musik yang tersaji sepanjang cerita sambil membaca lembar demi lembar. Sebuah pengalaman yang menyenangkan.
Untuk eksekusi ending, memang tidak semua orang suka akhir yang teatrikal, tapi untuk saya pribadi, tidak masalah asalkan bisa menimbulkan kesan mendalam. Dan Mukadimah Cinta berhasil memberikan kesan yang sangat manis di akhir. Tanpa adegan berlebihan, tanpa drama mengharu biru, tapi dengan cara yang elegan, sederhana, dan justru terasa nyata.
Secara keseluruhan, Mukadimah Cinta menyajikan kisah cinta yang manis dengan unsur agama, budaya, dan sosial yang pada keseharian sering menjadi pertimbangan kita dalam memilih pasangan hidup.
Novel ini aku rekomendasikan untuk kamu yang sedang mencari belahan hati kamu, untuk kamu yang mau tapi sulit percaya tentang cinta sejati, dan kamu yang sedang dirundung rindu karena mengharapkan seseorang yang belum juga sadar akan perasaanmu.
Novel ini akan menenteramkan jiwamu yang gundah. Sebuah obat yang layak mengisi rak bukumu.
Terima kasih sudah menyimak ulasan ini. Kamu bisa langsung berkomentar di bawah kalau tertarik untuk membeli Mukadimah Cinta. Aku akan membantumu mendapatkannya.
Semoga harimu penuh cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H