Mohon tunggu...
Chintya Gayatri
Chintya Gayatri Mohon Tunggu... Auditor - Gemar menulis, berdiskusi, dan sedikit keras kepala.

Cinta mati film aksi, makanan pedas, dan keju.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pandemi Merundung, Wajah Stabilitas Ekonomi Dunia Bersedih: Nenek Moyang Menghibur?

20 Mei 2020   21:40 Diperbarui: 20 Mei 2020   21:45 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki awal tahun 2020 dunia dibuat porak poranda dengan sebuah wabah mematikan bernama Novel Coronavirus atau leluasa terdengar di telinga kita dengan sebutan Covid-19.

Menurut World Health Organization, virus ini pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada bulan Desember 2019 dan berpotensi menjadi ancaman kesehatan dunia karena frekuensi penularannya yang sangat pesat. Tertulis dalam laman Q&A Detail pada situs resmi WHO, Covid-19 dengan mudah menyebar melalui droplets atau tetesan, baik yang keluar dari hidung atau mulut seseorang yang terinfeksi Covid-19.  

Sampai pada bulan Mei, terhitung sudah sekitar 210 negara terjangkit wabah ini. Kondisi terparah dirasakan di beberapa negara, diantaranya Amerika Serikat dan Italia dengan angka kematian masing-masing negara tersebut mencapai 93.561 dan 32.169 (20/05/2020).

Virus ini mulai menggemparkan Indonesia saat Presiden Joko WIdodo pada awal bulan Maret 2020 mengumumkan bahwa 2 orang Warga Negara Indonesia positif terinfeksi Covid-19, dimana dalam tiga bulan terakhir jumlah korban meninggal sebanyak 1.000  jiwa. Hingga pada tanggal 11 Maret 2020 WHO menetapkan Covid-19 sebagai suatu pandemi.

Ini melahirkan dampak bagi seluruh sektor kehidupan nasional. Secara signifikan, pandemi ini berimbas pada stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Memasuki bulan keempat tahun 2020, Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani mengatakan bahwa investasi dan ekspor negatif mengalami kontraksi pada kuartal II sampai III, dan akan membaik pada kuartal IV. Pada circle ini, beliau memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 2,3% yang awalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi mencapai 5%. 

Jelas, ini sudah bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Semua orang dalam daerah kepabeanan wajib bahu-membahu menjaga stabilitas keuangan Indonesia. Dengan demikian, kita juga berpartisipasi dalam mempertahankan konsistensi finansial dunia.

Lalu, Apa Saja Yang Dapat Kita Lakukan Untuk Menjaga Stabilitas Ekonomi Indonesia? 

Terlahir sebagai manusia Indonesia dengan berbagai macam kekayaan sumber daya alam dan budaya, kita tumbuh dan dibesarkan dalam payung pancasila yang tidak terlepas dari nilai-nilai luhur nenek moyang bangsa Indonesia. 

Apakah mungkin kita mampu bertahan di tengah pandemi dengan tetap berpegang teguh pada tradisi? Bagaimana cara menjadi agent pertahanan stabilitas moneter nasional atau bahkan dunia dengan warisan ratusan juta tahun lalu?

Lantas, mengapa tidak?

Bunuh Apatisme, Patahkan Pedang Egoisme, Bangun Kemanusiaan

Seperti yang kita tau, seluruh lapisan sejarah mencatat bahwa kemerdekaan yang dapat kita rasakan sampai hari ini diperjuangkan oleh pahlawan-pahlawan bangsa atas hasil kerja keras yang ditopang sikap anti-apatisme dan anti-egoisme.

Apatisme ialah pandangan acuh tak acuh yang akan menciptakan dorongan sikap tidak peduli, sedangkan Egoisme adalah bentuk motivasi untuk menguntungan diri sendiri. Kedua hal tersebut merupakan penyebab utama matinya relasi sosial dan apabila tidak segera diubah dapat bertransformasi menjadi raksasa yang akan menghancurkan nilai-nilai masyarakat.

Beberapa waktu lalu, masyarakat menunjukan kepanikan mereka sebagai reaksi atas pandemi ini yang secara tidak langsung didasari oleh 2 penyakit sosial tersebut. Alih-alih membeli kebutuhan pokok dalam jumlah banyak untuk menyimpan persediaan makanan, hal tersebut justru akan membentuk dampak negatif bagi masyarakat secara luas. 

Saat perusahaan manufaktur sedang membatasi jumlah produksi karena himbauan pemerintah dalam pengurangan jam kerja, sementara kondisi supplies yang tercipta dalam rute distribusi berantakan, seperti swalayan di beberapa daerah yang mengalami kekosongan barang. Padahal mungkin, masyarakat yang membeli barang tersebut tidak dalam keadaan yang membutuhkan.

Jika ini terjadi lagi atau bahkan dalam jangka waktu yang lama, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kelangkaan barang. Dimana alokasi sarana yang terbatas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tak terbatas. Implikasi yang lebih buruk terjadi saat harga barang mengalami kenaikan di tengah kekacauan pandemi, dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang anjlok.

Masalah tersebut diperparah dengan fenomena "Aji Mumpung" yang dilakukan oleh oknum di luar kendali responsibilitas. Siapa yang tidak dibuat sesak dengan menjulangnya harga komoditas masker kesehatan dan antiseptik? Uang Rp 10.000 yang semula dapat digunakan untuk membeli masker, akibat komoditas tersebut dinilai langka, masyarakat harus merogoh kocek 2 hingga 3 kali lipat untuk mendapatkan 1 buah masker. Cukup menyiksa bagi sebagian besar masyarakat di tengah situasi seperti ini.

Eksistensi apatisme dan egoisme memang terlihat sederhana, namun segala daya upaya untuk berjuang dan bertahan di tengah pandemi ini akan hancur apabila pondasi realisasi kemanusiaan adalah dengan menganggap kepentingan pribadi atau suatu kelompok berada di atas kepentingan bangsa. Jelas, ini bukanlah nilai luhur bangsa kita.

Berperang Melawan Pandemi Dengan Membunuh Budaya Metropolis dan Menjunjung Martabat 100 Perak

Perilaku hidup yang konsumtif berhasil mengontrol pola sosial masyarakat Indonesia secara makro untuk menyingkirkan tradisi berhemat. Padahal, nenek moyang kita sudah mewarisi budaya menabung sejak dahulu kala. Ini terbukti dengan ditemukannya artefak celengan berbentuk babi peninggalan zaman Majapahit. Tekanan gaya hidup dan pantangan lain yang tercipta ialah, meremehkan nilai atau manfaat uang logam.

Siapa yang masih berkenan mengumpulkan Rp. 100? Atau Rp. 200? Beruntunglah bagi kalian yang masih berpihak pada pemikiran "tidak akan ada uang 1 juta, tanpa 1 perak", karena dalam situasi seperti ini, uang pecahan memiliki peran yang sangat relevan, lho! Sayangnya, realita menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat menganggap uang receh hanya sisa dari sebuah transaksi ekonomi.

Peran seratus perak dan sekawannya memang tidak dituntut besar dalam memenuhi kebutuhan. Namun, jika dimanfaatkan dengan sistematik, uang pecahan dapat menyelamatkan pengeluaran-pengeluaran kecil yang dampaknya signifikan bagi keuangan rumah tangga.

Ditambah dengan keadaan yang penuh ketidakpastian ini, memaksa kita untuk menerapkan gaya hidup Prasojo-Sakmadyo, sebuah istilah Jawa dalam mengekspresikan hidup yang sederhana. Tentu, jauh dari gaya hidup nona-nona Jakarta yang identik dengan foya.

Berikut adalah langkah taktis dalam memanfaatkan uang logam dan strategi membina keuangan dalam menunjang kebutuhan berdasarkan pengalaman pribadi saya,

1. Mengutamakan Kebutuhan Pokok dan Mendesak

Point ini merupakan sebuah keharusan dalam lingkup umum dan mendasar karena diombang-ambing oleh keadaan yang tak pasti, mengajarkan kita untuk menghindari kemegahan. 

Belajar menjadi manusia cerdas yang memprioritaskan kebutuhan dengan mengesampingkan keinginan merupakan keputusan yang paling benar. Belajar menahan diri untuk berbelanja kebutuhan sandang ataupun tersier dan segala hal yang hanya bertujuan untuk memenuhi kepuasan batin pribadi, utamakan kebutuhan sehari-hari untuk keluarga,

2. Menukarkan Uang Receh Dengan Uang Kertas

Dalam praktik ini, hanya berlaku saat uang logam sudah memberatkan dompet saya. Maka, harus saya tukarkan dengan uang kertas di swalayan atau supermarket terdekat. Setelah ditukarkan, bisa langsung saya manfaatkan untuk membeli kebutuhan sehari-hari di pasar tradisinonal dengan harga lebih murah.  

3. Melakukan "Split on Budget" Untuk Membidik Tiga Jenis Barang Dengan Satu Anggaran Kebutuhan

Ini cara baru yang sudah saya terapkan beberapa hari belakangan ini. Hari pertama sedikit sulit, sampai satu minggu pun masih berusaha merangkak. Dibilang terpaksa sudah pasti. Tapi, saat saya evaluasi hampir setiap hari, cukup meringankan beban saya dan keluarga.

Cara ini pertama kali muncul dalam otak saya saat mengingat buku karangan Elizabeth Warren and Amelia Warren Tyagi yang berjudul "All Your Worth: The Ultimate Lifetime Money Plan". Buku tersebut berisikan cara untuk membagi anggaran secara kalkulatif berdasarkan penghasilan tiap bulan yaitu dengan persentase 50/30/20 dimana 50% untuk kebutuhan, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan. Namun, di sini saya sedikit berimprovisasi dengan cara saya sendiri. 

Sudah berulang kali saya katakan bahwa keadaan di tengah pandemi ini memaksa kita untuk memperhitungkan segala yang kita butuh bukan dengan mengesampingkan yang kita mau. Ditambah lagi, jumlah jam kerja dibatasi sehingga beberapa karyawan harus mengalami pemotongan penghasilan atau bahkan sebagian besar terkena PHK.

Jadi, saya memasukkan anggaran 30% keinginan + 10% dari anggaran tabungan ke dalam skema kebutuhan. Sehingga, pada saat saya hanya memegang dua peranan penting penghasilan, yaitu sebagai pemenuh kebutuhan dan penyelamat tabungan.

Anggaran Kebutuhan Setelah Ditambah Anggaran Keinginan dan Tabungan : 50% + 30% + 10% = 90%

Disini saya membagi kebutuhan berdasarkan skala paling besar,

a. Anggaran Kebutuhan sebesar 50% digunakan untuk membayar cicilan motor, tagihan air dan listrik.

b. Anggaran Kebutuhan sebesar 30% digunakan untuk membeli kebutuhan pangan, tentu yang pertama ialah beras, gas, dan air minum. Disini saya juga menyarankan untuk membeli bahan makanan yang bisa dikonsumsi dalam jangka panjang seperti telur dan frozen food

c. Anggaran Kebutuhan sebesar 10% digunakan untuk membeli personal care. Dalam upaya pencegahan penyebaran virus corona, komoditas seperti masker, hand sanitizer, dan vitamin bertransformasi menjadi kebutuhan saat ini. Maka dari itu, barang-barang tersebut masuk ke dalam anggaran kebutuhan saya dan keluarga.

Dan, sisa 10% dari penghasilan digunakan untuk mengisi tabungan, walaupun dalam jumlah yang lebih sedikit, setidaknya nasib tabungan masih bisa diselamatkan.

Hal yang perlu kita ingat adalah, kita sedang berperang melawan sebuah wabah besar. Bukan hanya menyulitkan satu negara, namun seluruh dunia. Di sinilah peran kita dituntut untuk tetap berpijak pada kemanusiaan, saling membantu dan mengingatkan sesuai dengan amalan nilai luhur pancasila pada sila kedua. 

Bersikap kooperatif dengan pemerintah untuk tetap berada di rumah jika tidak didesak keperluan yang terlalu penting, serta mendukung kinerja tenaga medis dengan menaati protocol kesehatan yang telah ditetapkan, sebagaimana kandungan sila keempat dalam Pancasila kita, tentu juga ini berlaku bagi seluruh aparatur negara dan daerah sebagai perantara bantuan bagi masyarakat untuk berpegang teguh pada keadilan. Dan, nilai-nilai tradisi bangsa Indonesia lainnya yang mampu menguatkan pertahanan nasional kita. Kita tidak bisa memaksa seluruh keadaan baik-baik saja, tetapi setidaknya kita telah berproses dalam mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun