Bunuh Apatisme, Patahkan Pedang Egoisme, Bangun Kemanusiaan
Seperti yang kita tau, seluruh lapisan sejarah mencatat bahwa kemerdekaan yang dapat kita rasakan sampai hari ini diperjuangkan oleh pahlawan-pahlawan bangsa atas hasil kerja keras yang ditopang sikap anti-apatisme dan anti-egoisme.
Apatisme ialah pandangan acuh tak acuh yang akan menciptakan dorongan sikap tidak peduli, sedangkan Egoisme adalah bentuk motivasi untuk menguntungan diri sendiri. Kedua hal tersebut merupakan penyebab utama matinya relasi sosial dan apabila tidak segera diubah dapat bertransformasi menjadi raksasa yang akan menghancurkan nilai-nilai masyarakat.
Beberapa waktu lalu, masyarakat menunjukan kepanikan mereka sebagai reaksi atas pandemi ini yang secara tidak langsung didasari oleh 2 penyakit sosial tersebut. Alih-alih membeli kebutuhan pokok dalam jumlah banyak untuk menyimpan persediaan makanan, hal tersebut justru akan membentuk dampak negatif bagi masyarakat secara luas.Â
Saat perusahaan manufaktur sedang membatasi jumlah produksi karena himbauan pemerintah dalam pengurangan jam kerja, sementara kondisi supplies yang tercipta dalam rute distribusi berantakan, seperti swalayan di beberapa daerah yang mengalami kekosongan barang. Padahal mungkin, masyarakat yang membeli barang tersebut tidak dalam keadaan yang membutuhkan.
Jika ini terjadi lagi atau bahkan dalam jangka waktu yang lama, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kelangkaan barang. Dimana alokasi sarana yang terbatas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang tak terbatas. Implikasi yang lebih buruk terjadi saat harga barang mengalami kenaikan di tengah kekacauan pandemi, dan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang anjlok.
Masalah tersebut diperparah dengan fenomena "Aji Mumpung" yang dilakukan oleh oknum di luar kendali responsibilitas. Siapa yang tidak dibuat sesak dengan menjulangnya harga komoditas masker kesehatan dan antiseptik? Uang Rp 10.000 yang semula dapat digunakan untuk membeli masker, akibat komoditas tersebut dinilai langka, masyarakat harus merogoh kocek 2 hingga 3 kali lipat untuk mendapatkan 1 buah masker. Cukup menyiksa bagi sebagian besar masyarakat di tengah situasi seperti ini.
Eksistensi apatisme dan egoisme memang terlihat sederhana, namun segala daya upaya untuk berjuang dan bertahan di tengah pandemi ini akan hancur apabila pondasi realisasi kemanusiaan adalah dengan menganggap kepentingan pribadi atau suatu kelompok berada di atas kepentingan bangsa. Jelas, ini bukanlah nilai luhur bangsa kita.
Berperang Melawan Pandemi Dengan Membunuh Budaya Metropolis dan Menjunjung Martabat 100 Perak
Perilaku hidup yang konsumtif berhasil mengontrol pola sosial masyarakat Indonesia secara makro untuk menyingkirkan tradisi berhemat. Padahal, nenek moyang kita sudah mewarisi budaya menabung sejak dahulu kala. Ini terbukti dengan ditemukannya artefak celengan berbentuk babi peninggalan zaman Majapahit. Tekanan gaya hidup dan pantangan lain yang tercipta ialah, meremehkan nilai atau manfaat uang logam.
Siapa yang masih berkenan mengumpulkan Rp. 100? Atau Rp. 200? Beruntunglah bagi kalian yang masih berpihak pada pemikiran "tidak akan ada uang 1 juta, tanpa 1 perak", karena dalam situasi seperti ini, uang pecahan memiliki peran yang sangat relevan, lho! Sayangnya, realita menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat menganggap uang receh hanya sisa dari sebuah transaksi ekonomi.