Kerah baju saya dicekal lalu entah ide dari mana, saya batuk tepat di wajah pria itu. Tinju pertamanya mendarat di mata kiri saya. Hal terakhir yang saya ingat adalah pekik ngeri dari Si Istri. Kemudian bercak putih memenuhi pandangan saya.
***
Pemuda itu menyunggingkan sebentuk senyum yang hampir menyiratkan kepuasan. Namun, penyesalan terpancar dari matanya yang separo terpejam karena bengkak dan memar. "Selanjutnya, Anda tebak sendiri. Saya bangun di tengah sawah, di tengah-tengah jalan tikus. Perlu jalan kaki hampir dua jam sampai saya bertemu seorang warga dan hal pertama yang saya lakukan adalah menjerit melarangnya menyentuh saya. Ponsel dan sisa uang di dompet sudah ludes tak bersisa. Durjana-durjana di truk itu mengambil harta saya sekaligus membawa serta virusnya sebagai bonus."
Petugas polisi di hadapannya melengkapi catatannya sambil berkata, "Setidaknya untung Anda tidak menulari keluarga Anda, bukan? Kami akan cari mereka sebisa mungkin. Jangan banyak berpikir, Anda akan dipulangkan ke Semarang segera setelah hasil tesnya negatif. Anda tampaknya butuh waktu untuk merenung."
"Ya, saya sedang merenungkan beberapa puluh kilo itu, jarak antara Ngawi dan Madiun. Beberapa puluh kilo lagi sebelum ibu saya tertular dan bagaimana dirampok di tengah jalan telah menyelamatkan saya."
***
Dimuat dalam antologi cerpen berjudul "Nyala Aksara di Tengah Pandemi" pada tahun 2021.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H