"Terima kasih, kamu baik sekali." Tangannya terulur untuk menyerahkan ponsel itu kepada saya. Begitu saya hendak merainya kembali, dia menarik tangannya. "Maaf, saya membuatnya kotor. Harus dibersihkan dulu." Saputangannya. Saputangan yang dia gunakan saat batuk, kali ini bergerilya menyapu seluruh permukaan ponsel saya, mengusap kotoran-kotoran di sana sekaligus menghapus kesabaran saya sampai bersih.
"Apa-apaan?" Saya hendak merebut ponsel di tangannya ketika terdengar suara gemuruh gelondongan kayu, tanda seseorang sedang berada di atasnya. Si Suami kembali dengan sebungkus nasi dan raut muka terkejut.
"Tidak apa-apa, dia baik sekali meminjamiku telepon." Diraihnya telapak tangan saya dan dia meletakkan ponsel saya di sana. Yang terjadi selanjutnya adalah saya meringkuk dengan tatapan nanar dan tangan yang seolah mati rasa. Saya tak ingin menyentuh apapun. Saya tak boleh menyentuh apapun.
Truk kembali berjalan. Kami semakin dekat dengan perbatasan Ngawi dan saya semakin dekat dengan keinginan untuk berteriak begitu kami berhenti untuk pengecekan. Ya, saya tak bisa memikirkan opsi yang lebih waras lagi. Biarlah kami tertangkap dan Rudianto dipecat atau sekalian dipenjara.
"Istri Anda merebut ponsel saya."
"Lalu? Sekarang sudah dia kembalikan. Kamu keberatan dengan biaya teleponnya?"
"Bukan, Anda tidak mengerti. Istri Anda batuk dan berbahaya jika---"
Sebelum saya selesai bicara, kuliah panjang tentang teori hidup-mati yang sudah diatur membuat telinga saya merah padam. Si Suami, dengan mulutnya yang tak bermasker dan sibuk mengunyah, berkata bahwa saya bisa saja mati sekarang juga karena serangan jantung, atau si Rudianto bisa saja mengantuk dan menerjunkan truk ini ke dalam jurang sebentar lagi---itu bodoh sebab saya tahu kami tidak sedang melewati jurang apapun. Namun agaknya kebodohan itu tidak membuat saya maklum. Emosi yang sedari tadi terlanjur tersulut akhirnya meledak juga.
"Ada skenario yang lebih baik," saya berkata sambil membuka masker. Amarah seolah menjelma menjadi lidah api, menjilat habis ketakutan dalam benak saya. "Kalian bisa mati dua minggu lagi karena saya tulari virus. Kalian tahu rasanya tak bisa mengecap apa-apa? Atau dikelilingi begitu banyak udara tetapi tak ada yang bisa dihirup sebab paru-paru kalian kempis dan tak bisa mengembang? Oh, andai kalian tahu sejak awal. Saya telah terjangkit virusnya." Sungguh, saya pikir saya berbohong waktu itu. Jika saya tahu, saya tak akan melakukannya.
"Berhenti omong kosong dan pakai lagi maskermu. Mukamu menyebalkan." Si Suami berusaha tampak tak acuh sementara istrinya memandangi saya dengan ragu.
Saya tahu akan babak-belur setelahnya. Siapa peduli! Saya mulai batuk. Bukannya tenggorokan saya gatal atau berdahak, saya cuma suka melihat kecemasan di mata mereka, melihat bagaimana kami bertukar peran dengan mudahnya.