"Kamu takut?" Si Istri bertanya dengan mata yang menyipit, dia tampaknya tersenyum di balik saputangan itu. Tak sampai tiga detik tangannya menempel di pundak saya tetapi tangan itu bahkan masih terasa selama bermenit-menit berikutnya.Â
Ribuan semut gaib menggeranyangi tubuh saya ketika saya melihat pundak saya sendiri dan membayangkan apa saja yang mungkin menempel di sana. Terbayang bagaimana ibu saya akan memeluk saya dan meletakkan wajahnya tepat di sana. Saya harus segera mencucinya! Ah, tidak, saya akan membuang baju itu begitu turun.
Si Istri masih terus batuk sampai kami melewati perbatasan pertama, perbatasan Semarang-Salatiga. Saya bergidik melihatnya mati-matian menahan batuk sampai tubuhnya gemetar ketika truk diberhentikan oleh polisi.Â
Kami lolos dari pemeriksaan tetapi saya tak yakin bisa lolos  dari kegilaan. Pundak saya terasa nyeri akibat menekan permukaan gelondongan kayu kuat-kuat dan jarak terjauh antara saya dan pasutri itu cuma lima puluh sentimeter.
Perjalanan tak berhenti hanya karena saya dongkol dan takut. Lewat tengah hari saat truk melaju di Solo menuju Ngawi, Rudianto memutuskan untuk berhenti di pom bensin.Â
Si Suami turun untuk membeli makanan sementara saya dan Si Istri tetap tinggal. Tak bisa saya ungkapkan keinginan untuk pergi ke toilet dan mencuci tangan, tetapi toilet pom bensin selalu ramai saat musim mudik dan saya tak ingin mencemplungkan diri ke dalam horror yang lebih besar lagi. Tidak apa-apa, tinggal beberapa jam lagi sebelum tiba di Madiun. Situasinya tak bisa bertambah buruk.
Untuk beberapa saat tampaknya memang begitu. Si Istri mencoba mengajak saya bicara seolah mencari teman dalam perjalanan. Diceritakannya putranya di kampung dan bagaimana mereka merantau untuk membiayai sekolahnya. Dia sedang bercerita tentang pekerjaan serabutan yang dilakoninya ketika ponsel saya berdering. Ibu menelepon.
Masalah datang setelah itu, setelah perasaan saya sedikit tenang usai mendengar suara ibu saya. Si Istri memohon dengan suara memelas, "Saya butuh menelepon rumah." Dari sekian banyak alternatif penularan virus yang ada, salah satu yang paling mudah mungkin adalah dengan meminjamkan ponsel ke orang asing yang sedang batuk.Â
Sepasang manik hitam berselaput katarak tipis itu tahu saya tidak bersedia. Dia menangkap kecemasan yang terlukis pada kerutan di kening saya dan justru memanfaatkannya. Dia bangkit bertumpu pada lututnya, mencoba mendekati saya dan merebut ponsel itu sambil terus batuk. Saya sudah kehilangan lima ratus ribu dan yang saya dapatkan hanyalah sebuah kekacauan.
Senyum mengembang di wajahnya begitu ponsel saya jatuh menghantam lantai bak ketika saya putuskan untuk menyerah. Dengan berapi-api dia menyapa anaknya di kampung, berkata bahwa dia meminjam ponsel seseorang di jalan. Saya hampir mengoreksi bahwa dia merampasnya.Â
Saya tak pemberani sejak kecil, tetapi tak pernah saya bayangkan akan berada di situasi semacam itu. Wajah Si Istri yang berseri-seri mendengar suara putranya tampak seperti iblis di mata saya, berpura-pura menertawakan ucapan putranya di seberang telepon padahal yang dia lakukan adalah mencemooh ketakutan saya. Sedang saya tak punya kekuatan untuk melawan iblis itu.