Fintech syariah muncul sebagai alternatif untuk memberikan akses keuangan bagi masyarakat, terutama yang tidak terlayani oleh bank konvensional. Namun, beberapa platform ini diduga menerapkan biaya yang tinggi meskipun tidak secara langsung menggunakan bunga. Ini menciptakan kebingungan di kalangan konsumen yang berharap mendapatkan layanan yang sesuai syariah. Dalam beberapa bulan terakhir, praktik pinjaman online yang mengklaim beroperasi sesuai dengan prinsip syariah telah menarik perhatian publik. Banyak nasabah melaporkan bahwa mereka merasa dirugikan oleh biaya yang tidak transparan dan mekanisme pengembalian yang membingungkan.
 Kaidah kaidah hukum yang terkait
1.Larangan Riba
Riba, atau bunga, adalah salah satu konsep yang paling mendasar dalam ekonomi syariah. Dalam konteks ini, setiap bentuk pinjaman yang melibatkan pembayaran bunga dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah. Larangan ini bertujuan untuk mencegah ketidakadilan dan eksploitasi dalam transaksi keuangan. Dalam praktik fintech syariah, penting bagi penyelenggara untuk memastikan bahwa produk yang ditawarkan tidak melibatkan riba, sehingga memberikan keadilan kepada nasabah yang membutuhkan pembiayaan.
2.Prinsip Transparansi
Transparansi dalam setiap transaksi keuangan adalah suatu keharusan. Penyedia layanan keuangan, termasuk fintech syariah, harus memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang biaya, syarat, dan ketentuan yang terkait dengan pinjaman. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan antara penyelenggara dan nasabah. Ketidakjelasan dalam informasi dapat menyebabkan kebingungan dan, pada akhirnya, merugikan nasabah. Dengan menjunjung tinggi prinsip transparansi, penyelenggara fintech syariah dapat membantu konsumen membuat keputusan yang lebih baik
3.Keadilan (Adil)
Konsep keadilan dalam ekonomi syariah mengharuskan setiap transaksi dilakukan dengan cara yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Dalam konteks fintech syariah, ini berarti bahwa syarat dan ketentuan pinjaman harus seimbang dan tidak memberatkan satu pihak lebih dari yang lain. Penyedia layanan harus memastikan bahwa nasabah tidak terjebak dalam kondisi yang merugikan, seperti bunga tersembunyi atau biaya yang tidak wajar. Keadilan menjadi landasan penting dalam menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara penyelenggara dan nasabah.
4.Larangan Gharar
Gharar merujuk pada ketidakpastian atau ambiguitas dalam kontrak. Dalam hukum syariah, kontrak harus bebas dari unsur yang dapat menyebabkan ketidakpastian bagi salah satu pihak. Dalam praktik fintech syariah, penting bagi penyelenggara untuk menghindari penawaran yang tidak jelas, termasuk syarat-syarat yang mungkin membingungkan nasabah. Kejelasan dalam kontrak membantu mencegah sengketa di kemudian hari dan memastikan bahwa nasabah sepenuhnya memahami apa yang mereka tanda tangani
5.Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing)
Dalam model bisnis syariah, prinsip bagi hasil mengedepankan pembagian keuntungan dan kerugian antara penyedia dana dan peminjam. Ini berarti bahwa jika investasi menguntungkan, kedua belah pihak mendapatkan keuntungan; jika merugikan, kerugian juga harus ditanggung bersama. Dalam konteks fintech syariah, penting bagi penyelenggara untuk menawarkan produk yang mencerminkan prinsip ini, bukan hanya sekadar mekanisme yang menguntungkan satu pihak. Hal ini juga menciptakan insentif bagi penyedia layanan untuk berinvestasi dalam keberhasilan nasabah.
6.Fatwa Ulama
Fatwa dari lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) memainkan peran penting dalam memberikan pedoman tentang praktik yang sesuai dengan prinsip syariah. Fatwa ini membantu masyarakat memahami produk keuangan mana yang sah secara syariah dan mana yang tidak. Dalam kasus fintech syariah, penyelenggara harus memperhatikan fatwa ini untuk memastikan bahwa praktik mereka sejalan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh ulama. Ketidakpatuhan terhadap fatwa ini dapat menyebabkan tidak hanya masalah moral, tetapi juga potensi konflik hukum.
 Aturan aturan hukum yang Terkait
1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Undang-undang ini merupakan landasan hukum yang mengatur pengawasan dan regulasi terhadap lembaga keuangan di Indonesia. OJK memiliki tugas untuk memastikan bahwa semua praktik keuangan, termasuk fintech syariah, mematuhi standar yang telah ditetapkan. OJK bertanggung jawab dalam memberikan izin, mengawasi, dan menjaga stabilitas sektor keuangan, termasuk mengawasi penyelenggaraan layanan pinjam meminjam yang berbasis teknologi informasi.
2. Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
Peraturan ini secara khusus mengatur tentang penyelenggaraan layanan pinjam meminjam uang secara online. Beberapa ketentuan dalam peraturan ini mencakup kewajiban penyelenggara untuk memberikan informasi yang jelas dan transparan mengenai biaya, syarat, dan ketentuan pinjaman. Hal ini bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik yang tidak adil dan memastikan bahwa mereka memahami sepenuhnya komitmen yang mereka buat.
3. Peraturan OJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian Syariah
Peraturan ini memberikan pedoman khusus bagi lembaga keuangan yang beroperasi dengan prinsip syariah, termasuk di dalamnya adalah fintech syariah. Dalam konteks ini, penyelenggara harus mematuhi prinsip-prinsip syariah yang ditetapkan, seperti larangan riba dan penerapan mekanisme bagi hasil yang adil. Dengan adanya peraturan ini, diharapkan bahwa lembaga keuangan syariah dapat beroperasi secara transparan dan sesuai dengan kaidah yang berlaku.
4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
MUI berperan penting dalam memberikan panduan mengenai praktik keuangan yang sesuai dengan syariah. Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI memberikan pedoman tentang berbagai produk keuangan, termasuk pinjaman online. Fatwa ini bertujuan untuk membantu masyarakat dalam memilih produk keuangan yang tidak hanya sesuai dengan hukum negara, tetapi juga sesuai dengan prinsip syariah. Praktik yang tidak sesuai dengan fatwa MUI dapat dianggap tidak sah secara syariah.
5. Peraturan Bank Indonesia
Bank Indonesia juga memiliki peran dalam mengatur sektor keuangan syariah melalui berbagai peraturan yang menetapkan prinsip-prinsip syariah dalam sistem pembayaran dan lembaga keuangan. Regulasi ini memastikan bahwa semua produk dan layanan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan syariah memenuhi standar syariah dan tidak merugikan nasabah.
6. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999)
Undang-undang ini menjamin hak-hak konsumen di Indonesia, termasuk dalam konteks layanan keuangan. Dalam kaitannya dengan fintech syariah, undang-undang ini menekankan perlunya transparansi, keadilan, dan tanggung jawab dari penyelenggara terhadap konsumen. Dengan adanya perlindungan yang diatur dalam undang-undang ini, nasabah diharapkan tidak akan terjebak dalam praktik yang merugikan.
Pandangan Positivisme Hukum dan Sosiological Jurisprudence
1. Pandangan Positivisme Hukum
- Kepatuhan Terhadap Aturan: Dari sudut pandang ini, praktik fintech syariah harus dilihat melalui lensa kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku, seperti Undang-Undang OJK dan regulasi lainnya. Selama fintech mematuhi hukum yang ada, praktik mereka dianggap sah, meskipun mungkin terdapat kritik dari segi etika atau moral.
- Fokus pada Formalitas Hukum: Positivisme akan menganalisis apakah penyelenggara fintech telah memenuhi semua persyaratan administrasi dan legal yang ditetapkan oleh OJK dan lembaga terkait lainnya.
- Tidak Mempertimbangkan Aspek Moral: Kritik dari masyarakat terkait praktik yang dianggap merugikan tidak menjadi perhatian utama, selama tidak ada pelanggaran hukum yang jelas.
2. Sosiological Jurisprudence
- Konteks Sosial: Pendekatan ini akan melihat dampak sosial dari praktik fintech syariah. Kritik yang muncul dari masyarakat akan diperhatikan, terutama yang berkaitan dengan dampak ekonomi dan kesejahteraan nasabah.
- Keadilan dan Kesejahteraan: Sosiological jurisprudence akan mendorong analisis tentang apakah praktik tersebut menciptakan keadilan bagi semua pihak. Jika praktik fintech dianggap mengeksploitasi nasabah atau tidak adil, maka hukum seharusnya beradaptasi untuk mengatasi masalah ini.
- Reformasi Hukum: Pendekatan ini mendorong perubahan dalam regulasi untuk memastikan bahwa hukum dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat, terutama dalam konteks keuangan yang terus berkembang.
Kesimpulan
Kedua pandangan ini memberikan wawasan yang berbeda mengenai kasus praktik fintech syariah. Positivisme hukum menekankan pada kepatuhan terhadap aturan yang ada, sedangkan sosiological jurisprudence lebih fokus pada dampak sosial dan keadilan yang dihasilkan dari praktik tersebut. Dengan menggabungkan kedua perspektif ini, dapat dicapai pemahaman yang lebih komprehensif mengenai tantangan yang dihadapi dalam regulasi dan praktik ekonomi syariah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H