Kini, hadirnya smartphone beserta aplikasi-aplikasi yang mendisrupsi dunia telekomunikasi menghadirkan kebaruan mengesankan.
Kini hadirnya aplikasi whatsapp tidak lagi mengharuskan seseorang membeli sejumlah pulsa untuk mengirim SMS, cukup memiliki kuota dalam jumlah sedang saja seseorang dapat menggunakan whatsapp untuk mengirim pesan, gambar, video, menelfon sampai video call bersama orang lain! Tentu hebat karena itulah karakteristik Disruption, ia menggantikan yang lama dengan yang baru dengan membawa efisiensi untuk manusia.
Dalam tulisan ini, saya hanya membawa narasi menyoal Disruption pada beberapa bidang diantaranya adalah Disruptive Technology, Disruptive Business, Disruptive MindSet. Karena menurut saya ketiganya berhubungan dengan perilaku yang sudah menjadi budaya yaitu Konsumerisme.
Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk.
Disruptive technology sejatinya sudah merupakan dasar dari tulisan ini, kalimat di awal sampai akhir tulisan mungkin secara eksplisit menyertakan keterlibatan disruptive techonology. Peran teknologi pada abad 21 adalah dasar dari fenomena-fenomena disruption pada bidang lainnya, serta menjadi pijakan dalam tumbuhnya budaya konsumerisme.
Kita boleh ambil satu contoh sederhana dalam hidup hari ini, yang membuktikan budaya konsumerisme berbanding lurus dengan disruptive technology melalui kehadiran smartphone yang memiliki jaringan internet ( Daring ).
Hadirnya smartphone untuk mengakses jaringan internet, berselancar di dunia daring menjadi sangat menyenangkan. Setiap orang menjadi sangat candu sekali produk disruptive technology ini, seperti mesin pencari google memudahkan pelajar untuk mencari sejarah manusia kala pleitosen sampai saat ini dengan singkat dan cepat.
Padahal sebelum adanya mesin pencarian tersebut, kita haruslah pergi ke perpustakaan tengah kota mencari di rak-rak buku tinggi yang membuat Lelah Ketika mencarinya. Selain itu, kehadiran platform media sosial seperti facebook, Instagram, twitter mengarahkan manusia kepada budaya digital society.
Sekarang sepertinya tetangga-tetangga kita lebih menyukai duduk dirumah dan memerkan sepatu atau tasnya kemudian di upload di Instagram daripada menceritakan kepada kita secara langsung.
Kecanduan media sosial seperti itu sering disebut berbagai media dalam tagar beritanya. Konsumsi internet rata-rata per hari masyarakat Indonesia berdasarkan riset situs "HootSuite" dan agensi marketing sosial " We Are Social " bertajuk " Global Digital Reports 2020 " dirilis akhir januari lalu, menunjukan bahwa Indonesia menduduki posisi kedelapan dalam daftar negara paling lama menggunakan akses internet. Selama 2019, pengguna internet yang berusia 16 hingga 64 tahun memiliki waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit per hari untuk berselancar di dunia maya.
Fakta tersebut tidak menghindari dari pijakan dasar kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan dari produk Disruptive technology.