Mohon tunggu...
Chep Hadad
Chep Hadad Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Pribadi

" Menulis untuk mengenang, menyenang dan menyatakan " Knowledge is must, but manner is more.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hubungan Antara Fenomena Disruption dengan Perilaku Konsumerisme di Abad 21

1 Juni 2020   15:51 Diperbarui: 1 Juni 2020   16:09 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Some people don't like change, but you need to embrace change if the alternative is disaster. - Ellon Musk

Revolusi industri dipahami dalam skala alat pemintal yang mulai bekerja ditenagai oleh mesin uap saja. Padahal sejatinya dalam studi sejarah mengenai perkembangan teknologi atau disebut dengan istilah otokatalitik, yakni perkembangan teknologi untuk mempercepat suatu pekerjaan agar lebih cepat dan cepat lagi.

Otokatalitik dibangun dengan narasi ketika ditemukanya alat perkakas di zaman batu, para nenek moyang memipihkan batu-batu menjadi sisi yang ramping dan tajam untuk mengupas kulit buah sampai cukup kuat untuk membelah satu buah kelapa.

Zaman kemudian berlanjut kepada penemuan alat dari logam, dikenal sebagai zaman perunggu saat itu. Alat-alat yang sebelumnya digunakan dari sebuah batu kini mulai mengalami proses rumit dimulai pencarian bijih besi, peleburan, pendinginan hingga pembentukan alat perkakas. Kemudian ke zaman abad pertengahan ditemukannya kincir angin, kincir air, kereta kuda sampai Revolusi Industri.

Tak cukup tentunya membahas sejarah Panjang perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban umat manusia dalam tulisan singkat ini.

Hakikatnya, tanpa terjadi revolusi kognitif terhadap homo sapiens sekitar puluhan ribu tahun lalu kemungkinan tidak akan terjadi pula perkembangan teknologi.

Kecerdasan yang meningkat nenek moyang homo sapiens kita mengalahkan saudaranya homo Neanderthal dari muka bumi. Menemukan alat-alat baru bukanlah keahlian mereka yang kuat dalam kekuatan otot-otot demi bertahan hidup, tapi peran mereka yang menggunakan kekuatan pikiran serta akal nya demi keberlangsungan hidup dimasa depan.

Alhasil dari semua prediksi keberlangsungan hidup masa depan Ketika nenek moyang kita terus berinovasi menemukan hal-hal baru menjadikan abad 20 sampai abad 21 sulit untuk ditebak. Perkembangan teknologi tidak dapat dipandangan dalam kacamata yang melihat bahwa suatu inovasi dianggap sebagai hal baru dan nyata dapat disentuh untuk digunakan. Peradaban itu telah berlalu, kini menghadapi suatu peradaban rumit serta bergerak cepat.

Peradaban digital dalam masa Revolusi Industri 4.0 saat ini dimana kita hidup sebelumnya tidak dapat dibayangkan oleh siapapun.

Siapa sangka di awal abad 19 seorang pria remaja Bandung yang sedang jatuh cinta kiranya ia membayangkan dapat berkomunikasi dengan wanita cantik dicintainya yang tinggal jauh ditimur pulau Nusa Tenggara Timur melalui alat segenggam tangan ?

pada saat itu ia hanya bisa membayangkan wanita tersebut dari selembar foto hitam putih sedikit luntur terkena minyak dari lampu kamarnya. Mungkin, orang yang hidup pada saat itu hanya mengharapkan surat untuk berkomunikasi jarak jauh, dan besar keinginan mereka untuk mencari cara bagaimana untuk dapat berkomunikasi tanpa menunggu surat-surat balasan mereka tiba dalam 1-3 hari, karena biasanya surat balasan sampai kepadanya dalam waktu 10 hingga 15 hari paling cepat.

Teknologi komunikasi untuk menghubungkan individu-individu melalui surat telah jauh usang, menggunakan telepon kabel rumahan atau mesin fax juga sudah tertinggal, penggunaan telepon antena buatan motorolla atau A&T jelas bukan merupakan pilihan bagus untuk berkomunikasi dengan lancar.

Telepon genggam seluler pernah memenuhi kebutuhan dan memudahkan kehidupan manusia pada akhir abad 20 dan awal abad 21.

Telepon-telepon genggam tersebut digunakan untuk mengirim SMS tanpa menunggu berhari-hari balasannya, sampai seseorang dapat berkomunikasi secara langsung berjam-jam dari jarak ratusan kilometer. Tentu kemudahan tersebut diikuti oleh biaya yang mahal. Kita mengetahui bahwa biaya untuk mengirim SMS, menelpon kolega kita di Surabaya membutuhkan sekitar 1.000 rupiah untuk sekali mengirim SMS dan biaya hamper sekitar 5000 rupiah permenit.

Biaya tersebut tidak dapat dijangkau oleh seorang perantau dari Jawa Tengah yang bekerja di Bandung sebagai pekerja bangunan Ketika ia merindukan keluarganya. Keterbatasan dari telepon genggam memang menopang kebutuhan komunikasi, tetapi keterbatasan tersebut haruslah mulai dikembangkan. Inovasi teknologi memang memakan produsen teknologi lain, seperti halnya Microsoft yang mampu memakan IBM.

Contoh tadi merupakan kekalahan produsen dalam hal teknologi, kini kita mencoba melihat kekalahan produk teknologi. Telepon genggam yang memudahkan komunikasi individu tersebut harus menyerah pada awal kemunculan Smartphone yang dianugerahi penemuan sistem Android ataupun iOS milik Apple.

Telepon genggam merupakan produk salah satu produsen teknologi berbasis komunikasi seperti Nokia dari Finlandia. Nokia harus mengakui kejatuhannya, padahal mereka tidak melakukan kesalahan dalam produk mereka. Inovasi yang menggantikannya jauh lebih memiliki kelebihan dan efisiensi untuk digunakan tiap individu.

Namun, Ketika mereka mencoba untuk bangkit dengan mulai memproduksi suatu Smartphone berbasis sistem operasi dari kerja sama Nokia dan Microsoft semua itu sudah terlambat, seperti yang dikatakan Eisntein " you can't solve problem with the same things you create ".

Dua contoh sebelumnya menuturkan bagaimana kekalahan produsen dan produk teknologi menghadapi suatu Fenomena yang pada mulanya 1997 dikenal oleh Clayton M Christensen sebagai Disruption.

Secara definitif Clayton M Christensen melalui bukunya "The Innovator's Dilemma" menyatakan konsep Disruptive Innovation. Disruptive Innovation adalah suatu inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut.

Disruption menggantikan 'Pasar Lama', industry, dan teknologi, dan menghasilkan sesuatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative.

Dilihat dari definisi yang disampaikan Clayton, fenomena Disruption terkesan kejam karena merusak yang sudah ada dengan menghadirkan suatu kebaruan. Namun, lagi-lagi kita tidak menolak dan mungkin saja beberapa orang tidak suka akan perubahan, tapi kita harus melangkah kepada perubahan apabila jalan alternatif lain adalah suatu bencana. Preseden yang sudah dicontohkan diawal, sebagaimana telepon genggam membutuhkan biaya mahal dan hanya sanggup dijangkau oleh orang-orang yang mampu membeli biaya pulsa dalam pemakaian sehari-hari.

Kini, hadirnya smartphone beserta aplikasi-aplikasi yang mendisrupsi dunia telekomunikasi menghadirkan kebaruan mengesankan.

Kini hadirnya aplikasi whatsapp tidak lagi mengharuskan seseorang membeli sejumlah pulsa untuk mengirim SMS, cukup memiliki kuota dalam jumlah sedang saja seseorang dapat menggunakan whatsapp untuk mengirim pesan, gambar, video, menelfon sampai video call bersama orang lain! Tentu hebat karena itulah karakteristik Disruption, ia menggantikan yang lama dengan yang baru dengan membawa efisiensi untuk manusia.

Dalam tulisan ini, saya hanya membawa narasi menyoal Disruption pada beberapa bidang diantaranya adalah Disruptive Technology, Disruptive Business, Disruptive MindSet. Karena menurut saya ketiganya berhubungan dengan perilaku yang sudah menjadi budaya yaitu Konsumerisme.

Konsumerisme merupakan paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan dan menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan atau tidak sepantasnya secara sadar dan berkelanjutan. Hal tersebut menjadikan manusia menjadi pecandu dari suatu produk.

Disruptive technology sejatinya sudah merupakan dasar dari tulisan ini, kalimat di awal sampai akhir tulisan mungkin secara eksplisit menyertakan keterlibatan disruptive techonology. Peran teknologi pada abad 21 adalah dasar dari fenomena-fenomena disruption pada bidang lainnya, serta menjadi pijakan dalam tumbuhnya budaya konsumerisme.

Kita boleh ambil satu contoh sederhana dalam hidup hari ini, yang membuktikan budaya konsumerisme berbanding lurus dengan disruptive technology melalui kehadiran smartphone yang memiliki jaringan internet ( Daring ).

Hadirnya smartphone untuk mengakses jaringan internet, berselancar di dunia daring menjadi sangat menyenangkan. Setiap orang menjadi sangat candu sekali produk disruptive technology ini, seperti mesin pencari google memudahkan pelajar untuk mencari sejarah manusia kala pleitosen sampai saat ini dengan singkat dan cepat.

Padahal sebelum adanya mesin pencarian tersebut, kita haruslah pergi ke perpustakaan tengah kota mencari di rak-rak buku tinggi yang membuat Lelah Ketika mencarinya. Selain itu, kehadiran platform media sosial seperti facebook, Instagram, twitter mengarahkan manusia kepada budaya digital society.

Sekarang sepertinya tetangga-tetangga kita lebih menyukai duduk dirumah dan memerkan sepatu atau tasnya kemudian di upload di Instagram daripada menceritakan kepada kita secara langsung.

Kecanduan media sosial seperti itu sering disebut berbagai media dalam tagar beritanya. Konsumsi internet rata-rata per hari masyarakat Indonesia berdasarkan riset situs "HootSuite" dan agensi marketing sosial " We Are Social " bertajuk " Global Digital Reports 2020 " dirilis akhir januari lalu, menunjukan bahwa Indonesia menduduki posisi kedelapan dalam daftar negara paling lama menggunakan akses internet. Selama 2019, pengguna internet yang berusia 16 hingga 64 tahun memiliki waktu rata-rata selama 7 jam 59 menit per hari untuk berselancar di dunia maya.

Fakta tersebut tidak menghindari dari pijakan dasar kemudahan dan efisiensi yang ditawarkan dari produk Disruptive technology.

Kecanduan ini merupakan salah satu bentuk konsumerisme dalam hal penggunaan akses internet berlebihan masyarakat Indonesia, budaya tersebut mengindahkan internet sebagai akses mudah tanpa batas. Disruptive technology mungkin tidak cukup dibahas singkat, namun substansi yang saya harapkan dapat ditangkap oleh benak para pembaca.

Seperti yang saya katakan bahwa keterkaitan antara Disruption yang disebutkan sebelumnya memiliki hubungan yang berbanding lurus, dan kini Disruptive technology menjadi bangunan Disruptive Business. Disruptive business tentu saja menjadi perhatian utama Clayton Ketika menghadirkan gagasan Disruption.

Bisnis-bisnis baru haruslah hadir untuk menciptakan iklim ekonomi yang ideal bagi seluruh masyarakat. Bisnis model baru betul-betul ditekankan oleh Clayton merupakan suatu ancaman bagi para incumbent, bukan karena hal tersebut merupakan inovasi pembaruan yang sudah ada, tapi benar-benar baru dan mampu menggantikan yang lama.

Sehingga, bisnis para incumbent yang sudah dijalankan mau tidak mau haruslah menyerah pada kehadiran disruptive business. Apabila prinsip para incumbent hanyalah pada suatu prinsip owning economy ( ekonomi kepemilikan ) saya contohkan seperti ini, seorang pria pengusaha toko baju batik yang berfikir bahwa apabila ingin mendirikan toko batik ia haruslah membangun atau menyewa sebuah ruko dimana harus membayar mahal, menyediakan Gudang, menyewa beberapa karyawan toko bahkan menyediakan lahan parkir yang nyaman. Semuanya didasari pada kepemilikan pribadi. Berbeda dengan disruptive business berdasar pada prinsip Sharing Economy ( ekonomi berbagi ).

Dimana seseorang tidaklah perlu untuk memiliki suatu alat, property ataupun barang untuk menjual produk miliknya. Contoh nya adalah kehadiran yang juga berakar dari Disruptive technology berkolaborasi dengan seseorang yang mendirikan Disruptive business yakni platform jual-beli seperti Tokopedia. Tokopedia merupakan platform digital dimana seorang penjual dapat memasarkan produknya secara luas tanpa harus menyewa ruko, menyediakan Gudang dan lahan parkir. Dari contoh tersebut kita dapat melihat kehadiran disruptive business yang menghadirkan efisiensi dan kemudahan bagi penjual dan pembeli.

Namun, dalam disruptive business ini pula kita menyoroti budaya konsumerisme yang kembali membuktikan hubungan fenomena disruption dengan budaya konsumerisme. Setiap individu yang memiliki smartphone pastilah berbelanja online hamper setiap kali ia melihat iklan-iklan menarik yang muncul untuk mendorong individu tersebut berbelanja. Katakanlah bahwa, kini inidividu-individu dominan memenuhi keinginan daripada kebutuhannya. Penggunaan berlebihan itu didukung fakta yang disampaikan oleh Co-Founder dan CEO Tokopedia William Tanuwijaya, bahwa sepanjang Mei 2019 transaksi perbulan Tokopedia mencapai US$ 1,3 Milliar atau setara dengan Rp. 18,5 Trilliun! Kita dapat membayangkan bagaimana transaksi yang terjadi setiap hari antara penjual dan pembeli saat ini dari platform E-Commerce Tokopedia.

Contoh dari produk disruptive business seperti E-Commerce di atas hanyalah contoh kecil saja dari budaya konsumerisme masyarakat hari ini, masyarakat yang mulai menggunakan jasa Go-Food untuk setiap kali membutuhkan makanan, pada dasarnya banyak sekali yang dapat disebutkan dalam tulisan ini hanya saja saya kira satu contoh kecil dapat membuka mata kita untuk lebih luas lagi melihat hal lain. Hakikatnya dari disruptive business yang berbanding lurus dalam budaya konsumerisme adalah hilangnya prinsip "kebutuhan" menjadi pemenuhan "keinginan".

Dan pada akhirnya, dari semua perkembangan peradaban dan kemajuan teknologi itu menumbuhkan budaya konsumerisme pada beberapa masyarakat di belahan dunia termasuk Indonesia. Kini, individu-individu enggan mengutamakan " kebutuhan " hidupnya dan barangkali lupa mempersiapkan bekal masa depan. Menguras tenaga dan materi ( uang ) lebih banyak kepada " keinginan " berakar dari hasrat yang muncul dari kehadiran fenomena Disruption.

Perilaku konsumerisme perlu diantisipasi bagi mereka yang sadar bahwa perilaku tersebut telah melewati batas dan tentunya merugikan. Bagaimana tidak ? perilaku konsumerisme menjadikan individu terlalu elegan dengan kecanduan berbelanja fashion secara online karena trend modis. Setiap orang berbelanja baju mahal berlomba-lomba menguploadnya di akun pribadi sosial media mereka. Hal ini dalam sejarah sangat berbanding terbalik, karena hari ini kelompok menengah kebawah berusaha mencari "keinginan" dari akses yang mudah diberikan oleh fenomena disruption. Kelompok menengah kebawah hari ini terus mencari kemewahan dan menghambur-hamburkan uang mereka, sedangkan para borjuis katakanlah kelompok kaya menghemat uang mereka dan berinvestasi pada kelangsungan hidup masa depan. Dahulu memang para borjuis memakai kulit hewan, emas-emas di pergelangan tangan sampai dikepala, sedangkan para kelompok menengah kebawah menggunakan kain kusam tebal, setidaknya mereka tidak kedinginan. Sekarang, para borjuis menggunakan pakaian sederhana seperti jas yang tidak terlihat mewah namun rapi. Kelompok menengah kebawah sibuk mengikuti trend fashion yang tiada habisnya, mereka mengumpulkan uang mereka untuk membeli pakaian hype jutaan, jaket kulit, sepatu kulit mahal dan barangkali koleksi tas import kelas dunia. Dari perilaku konsumerisme terhadap sandang tersebut ternyata terlihat pula pada budaya konsumerisme kebutuhan pangan. Para borjuis dan bangsawan zaman dulu memang menyukai makan-makanan enak, berlemak dan dalam jumlah besar. Saat ini mereka tidak menghabiskannya untuk makanan berlebih, mereka menyukai makanan yang sehat dari sayur dan buah. Sedangkan para kelompok konsumeris menengah kebawah hari ini lebih senang menghabiskan uang mereka pada restoran cepat saji yang menyediakan makanan penuh lemak dan penyakit mematikan. Amerika serikat memang menduduki peringkat penderita obesitas tertinggi, dan tak lama lagi seluruh dunia akan merasakan hal yang sama. Kandungan dalam makanan cepat saji secara berlebihan akan menyumbat darah pada jantung, meningkatkan gula dalam darah, meningkatkan tekanan darah yang berujung pada penyakit-penyakit mematikan. Budaya konsumerisme dalam hal pangan sudah jelas harus disadari dan segera disudahi bagi mereka yang sadar. Karena fakta dari sejarah terhadap hari ini sangat mengejutkan, dahulu orang-orang mati karena kelaparan, kini orang-orang mati karena kelebihan makanan.

Sehingga, dalam menghadapi fenomena Disruption kita haruslah bijak dan melihat kedepan bahwa pemanfaataan dan langkah visioner adalah hal terbaik daripada tenggelam dalam kenikmatan yang disediakan Disruption. Perilaku konsumerisme adalah penyebab yang harus dihindari dan dibuat antisipasinya oleh mereka yang melihat ini sebagai suatu bencana, seperti dahulu melihat kelaparan. Tragedi ini mungkin sulit berakhir, tapi tidak Ketika dimulai dari anda.

Learn, Adapt, Survive! ( Chep Hadad Alwi Mahmuda ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun