Teknologi komunikasi untuk menghubungkan individu-individu melalui surat telah jauh usang, menggunakan telepon kabel rumahan atau mesin fax juga sudah tertinggal, penggunaan telepon antena buatan motorolla atau A&T jelas bukan merupakan pilihan bagus untuk berkomunikasi dengan lancar.
Telepon genggam seluler pernah memenuhi kebutuhan dan memudahkan kehidupan manusia pada akhir abad 20 dan awal abad 21.
Telepon-telepon genggam tersebut digunakan untuk mengirim SMS tanpa menunggu berhari-hari balasannya, sampai seseorang dapat berkomunikasi secara langsung berjam-jam dari jarak ratusan kilometer. Tentu kemudahan tersebut diikuti oleh biaya yang mahal. Kita mengetahui bahwa biaya untuk mengirim SMS, menelpon kolega kita di Surabaya membutuhkan sekitar 1.000 rupiah untuk sekali mengirim SMS dan biaya hamper sekitar 5000 rupiah permenit.
Biaya tersebut tidak dapat dijangkau oleh seorang perantau dari Jawa Tengah yang bekerja di Bandung sebagai pekerja bangunan Ketika ia merindukan keluarganya. Keterbatasan dari telepon genggam memang menopang kebutuhan komunikasi, tetapi keterbatasan tersebut haruslah mulai dikembangkan. Inovasi teknologi memang memakan produsen teknologi lain, seperti halnya Microsoft yang mampu memakan IBM.
Contoh tadi merupakan kekalahan produsen dalam hal teknologi, kini kita mencoba melihat kekalahan produk teknologi. Telepon genggam yang memudahkan komunikasi individu tersebut harus menyerah pada awal kemunculan Smartphone yang dianugerahi penemuan sistem Android ataupun iOS milik Apple.
Telepon genggam merupakan produk salah satu produsen teknologi berbasis komunikasi seperti Nokia dari Finlandia. Nokia harus mengakui kejatuhannya, padahal mereka tidak melakukan kesalahan dalam produk mereka. Inovasi yang menggantikannya jauh lebih memiliki kelebihan dan efisiensi untuk digunakan tiap individu.
Namun, Ketika mereka mencoba untuk bangkit dengan mulai memproduksi suatu Smartphone berbasis sistem operasi dari kerja sama Nokia dan Microsoft semua itu sudah terlambat, seperti yang dikatakan Eisntein " you can't solve problem with the same things you create ".
Dua contoh sebelumnya menuturkan bagaimana kekalahan produsen dan produk teknologi menghadapi suatu Fenomena yang pada mulanya 1997 dikenal oleh Clayton M Christensen sebagai Disruption.
Secara definitif Clayton M Christensen melalui bukunya "The Innovator's Dilemma" menyatakan konsep Disruptive Innovation. Disruptive Innovation adalah suatu inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut.
Disruption menggantikan 'Pasar Lama', industry, dan teknologi, dan menghasilkan sesuatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative.
Dilihat dari definisi yang disampaikan Clayton, fenomena Disruption terkesan kejam karena merusak yang sudah ada dengan menghadirkan suatu kebaruan. Namun, lagi-lagi kita tidak menolak dan mungkin saja beberapa orang tidak suka akan perubahan, tapi kita harus melangkah kepada perubahan apabila jalan alternatif lain adalah suatu bencana. Preseden yang sudah dicontohkan diawal, sebagaimana telepon genggam membutuhkan biaya mahal dan hanya sanggup dijangkau oleh orang-orang yang mampu membeli biaya pulsa dalam pemakaian sehari-hari.