Mohon tunggu...
Chep Hadad
Chep Hadad Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Pribadi

" Menulis untuk mengenang, menyenang dan menyatakan " Knowledge is must, but manner is more.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banalitas Perilaku Cat Calling dan Pelecehan Seksual Simbolik

14 Mei 2020   12:00 Diperbarui: 14 Mei 2020   12:06 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banalitas Perilaku Cat Calling dan Pelecehan Seksual Simbolik[1]

( Suatu Upaya Memahami Untuk Melawan )

 

Oleh : Chep Hadad Alwi Mahmuda[2]

 

Pada kehidupan negara jika relasi antara perempuan dan laki-laki masih bersifat asimetris maka bisa dikatakan masyarakatnya masih berada dalam budaya patriarki. Marla Mies menganggap budaya ini sebagai suatu sistem nilai yang menempatkan laki-laki pada tempat yang lebih tinggi daripada kaum perempuan, dan keadaan tersebut merembes ke dalam berbagai dimensi yang ada dalam masyarakat, sehingga bukan sesuatu yang berlebihan bila dalam budaya semacam itu kaum laki-laki berada pada pihak yang mendominasi dan perempuan pada dipihak penundukan.[3]

Dominasi laki-laki atas perempuan inilah yang menjadikan kekuasaan bagi laki-laki untuk bertindak brutal dalam hal penguasaan seksual. Penguasaan seksual penulis maksud sebagai bentuk Tindakan yang menghalalkan cara-cara untuk dapat memenuhi birahi seorang laki-laki, walaupun pada hakikatnya Tindakan tersebut merupakan Tindakan yang tidak terpuji. Namun, perbuatan tersebut dianggap suatu hal yang wajar oleh sesama kaum laki-laki dan beberapa perempuan yang belum memahami kegagalan dari kerangkan berfikir tersebut sebagai kekerasan seksual. 

Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun ( 2001- 2012 ), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, dimana 2,920  kasus diantaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan ( 1620 ). Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun.

Kekerasan Seksual menjadi lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan lainnya karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat. Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan, karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan seksual, misalnya perkosaan. Korban juga sering disalahkan sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ini membuat perempuan korban seringkali bungkam.[4]

Kekerasan seksual juga seringkali menjadi hal yang dihindari dalam masyarakat untuk dikampanyekan sebagai bentuk penyimpangan. Beberapa  culture dan norma menganggap hal tersebut tidak pantas untuk diedukasikan dan dikampanyekan. Pemikiran-pemikiran yang alot menyoal kekerasan seksual sejatinya hanya dipandang dalam kacamata hukum saja. Ketika kekerasan seksual tersebut merugikan secara langsung dalam artian nyata memberikan dampak seperti kerusakan anggota tubuh, kematian dan bentuk insiden kriminal lainnya.

Dalam telinga kita cukup jarang sekali untuk mendengar adanya dalam bentuk lain seperti pelecehan seksual untuk diafirmasi sebagai kekerasan seksual. Karena kendati pelecehan seksual tidak memberikan suatu dampak langsung yang nyata dapat dilihat secara visual oleh kita. Padahal sejatinya, pelecehan seksual dalam bentuk apapun, telah meninggalkan trauma terhadap perempuan sebagai korban pelecehan.

Sebagaimana oleh Guamarawati ( 2009 ) yang menyatakan kekerasan paling umum ada tiga jenis yakni salah satunya adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual bisa dalam bentuk ucapan tidak senonoh yang berkaitan dengan seks, gestur-gestur yang menunjukan Tindakan tidak senonoh dan sentuhan-sentuhan fisik pada tubuh perempuan.

Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, Gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengkibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah Kesehatan dan keselamatan.[5]

Merujuk pada definisi kekerasan seksula yang menyoroti Tindakan non fisik yakni mempertunjukan Gerakan atau isyarat dan panggilan menuju keinginan seksual. Berdasarkan pengalaman penulis dalam melihat situasi sosiologis, juga kita umum sering mendengar istilah Catcalling dan juga seringkali melihat suatu Gerakan atau isyarat tangan " jempol terjepit ".

Kedua-duanya merupakan pembahasan yang akan penulis tekankan sebagai bentuk kekerasan seksual non fisik terhadap perempuan yang sejatinya haruslah kita pahami dan kita sama-sama lawan Tindakan tersebut.

Catcalling merujuk pada Tindakan seseorang yang berkomentar secara verbal kepada seseorang perempuan atau bahkan laki-laki. Seperti memanggil " Hai cantik! Mau kemana sini abang antar " , " sstt.. cantik sini main yuk ke hotel ", " jangan galak nanti dicium ". Pada dasarnya adalah perbuatan yang menimbulkan rasa tidak aman pada diri seseorang, namun sayangnya perbuatan tersebut dianggap sebagai hal yang biasa saja atau wajar.

Penelitian secara konsisten telah menunjukkan bahwa gangguan yang nampaknya kecil ini merupakan rutinitas dari negosisasi ruang publik dan ruang semi publik yang dialami sehari-hari, statistik menunjukkan bahwa sebanyak 90% perempuan pernah mengalami pelecehan di jalan setidaknya sekali dalam hidup mereka.[6] Perbuatan yang menimbulkan rasa tidak aman ini, seperti yang di sebutkan diatas, dikategorikan sebagai street harassment. Street harassment merupakan tindakan-tindakan seperti bersiul, menatap atau melotot secara berkepanjangan, meraba-raba, mengikuti seseorang dan komentar verbal yang mengganggu.[7]

Menurut laporan yang berjudul "Unsafe and Harassed in Public: A National Street Harassment Report", street harassment atau pelecehan jalan diartikan merupakan suatu interaksi yang tidak diinginkan yang terjadi pada ruang publik yang melibatkan dua pihak atau lebih yang tidak saling mengetahui satu sama lain dan biasanya disebabkan oleh gender, orientasi seksual atau ekspresi gender, mengakibatkan korban merasa kesal, marah, malu ataupun takut.[8]

Seringkali kita melihat pelecehan jalan ini dalam konteks CatCalling khususnya, ditemukan ditempat-tempat umum seperti terminal, stasiun kereta api, tempat-tempat hiburan, dan tempat umum lainnya. Dan seringkali korban dari Street Harassment ini adalah perempuan, walaupun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada seorang laki-laki.

Dalam keseharian, mungkin kita pernah melihat laki-laki yang sedang melakukan CatCalling kepada perempuan atau biasanya kelompok laki-laki. Hal tersebut sering kita jumpai pastinya, sekelompok laki-laki yang memandang dengan penuh nafsu terhadap seorang perempuan sambil memanggil-manggil dengan panggilan yang berorientasi seksual. Hal ini yang menimbulkan rasa tidak nyaman terhadap perempuan tersebut, sehingga perempuan tersebut menjadi korban pelecehan seksual dalam bentuk CatCalling.

Umumnya orang disekitar menganggal hal tersebut wajar karena keseringan beberapa kelompok orang seperti kasus tadi, namun hakikatnya tidaklah demikian. Setiap orang berhak atas rasa aman dan nyaman untuk dirinya. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan, hal ini diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ( Undang-Undang HAM ).

Hak untuk memperoleh rasa aman ini dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945 ), Undang-Undang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan kebijakan-kebijakan lainnya. Meski telah memiliki sejumlah kebijakan yang menjamin rasa aman, namun hal tersebut tidak dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tempat umum seperti sarana transportasi publik, sarana olahraga, supermarket, bahkan tempat yang seharusnya memberikan rasa aman seperti sekolah, tempat kerja dan tempat ibadah, sering menjadi tempat dimana ketidakamanan dapat dirasakan.

Karena di awal sudah penulis tekankan bahwa, korban-korban dari pelecehan seksual dalam bentuk Cat Calling yang juga dikategorikan sebagai Street Harassment ini berdampak pada korban untuk mengalami trauma, dimana trauma ini merupakan gangguan Kesehatan yang tidak terlihat secara visual namun, dirasakan dan merusak pribadi korban tersebut.

Maka sejatinya kita haruslah sadar dalam segala pandangan bahwa, perbuatan CatCalling itu merupakan Tindakan yang harus dihindari setiap orang, mulai dari kita sebagai seorang laki-laki maupun seorang perempuan untuk saling membela dan menegakkan kebenaran di dalam masyarakat kita ini. Dengan dasar-dasar yang telah disampaikan kita tidak perlu ragu untuk melawan perbuatan seperti Cat Calling. Serta, mendesak para regulator untuk membuat aturan yang melindungi "siapapun" dari perbuatan Cat Calling ini agar rasa aman dan nyaman sebagai manusia terus dilindungi.

MENOLAK BANALITAS PERILAKU CATCALLING DAN MENGHARGAI SESAMA MANUSIA!

Kemudian, selanjutnya adalah mengenai perilaku pelecehan seksual non fisik, pada bentuk isyarat atau Gerakan. Dalam ilmu sosiologi kita mengenal Interaksionis Simbolik.

Sosiolog yang pertama kali menggunakan istilah interaksionisme simbolik adalah Herbert Blumer. Ketika berkolaborasi menulis dengan koleganya George Herbert Mead di Universitas Chicago, istilah interaksionisme simbolik dikembangkan. Mead kemudian menulis buku berjudul Mind, Self, and Society yang membuat teori interaksionisme simbolik dikenal luas dikalangan intelektual Amerika dan Eropa.

Teori interaksionisme simbolik menganalisis masyarakat berdasarkan makna subjektif yang diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan sosialnya. Individu diasumsikan bertindak lebih berdasarkan apa yang diyakininya, bukan berdasar pada apa yang secara objektif benar. Apa yang diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah diinterpretasikan dalam konteks atau situasi yang spesifik. Hasil interpretasi ini disebut sebagai definisi situasi.

Sebagai contoh dari teori tersebut, merokok fakta objektifnya dapat merusak organ tubuh, namun sebagai fakta subjektif yang diciptakan individu misalnya oleh sekelompok remaja merupakan suatu hal yang keren.

Perilaku seksual melalui interaksi simbolik dalam kasus "jempol kejepit" seringkali dilakukan oleh seorang lelaki yang menunjukan isyarat tersebut kepada seorang perempuan yang dirasa ( dugaan pribadi ) laki-laki untuk diajak melakukan hubungan seksual. Padahal symbol tersebut biasa digunakan disebuah tempat hiburan malam disuatu daerah di jawa tengah. Namun, seperti kenyataanya symbol seperti itu umum di Indonesia sudah diketahui maksud nya. Tapi apakah itu merupakan hal wajar ? tidak sama sekali. Karena merujuk pada tujuan simbol tersebut yang merupakan ajakan untuk berhubungan seksual.

Beberapa orang dengan sengaja menunjukan simbol tersebut untuk bergurau terhadap wanita, atau bahkan dengan sengaja mempertunjukannya. Tentu seperti perilaku Cat Calling ini juga merupakan bentuk menyimpang dari perbuatan seseorang yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual non fisik dari isyarat.

Siapapun yang merasa ditunjukan simbol tersebut, pasti merasa tidak nyaman dan merasa malu, ingin marah ataupun kesal. Dan ini haruslah disadari dan dilawan. Seperti CatCalling, simbol "jempol kejepit" ini haruslah kita pahami sebagai pelecehan seksual non fisik yang harus diatur oleh regulator. Sebagai upaya perlindungan hak atas rasa aman dan nyaman individu. Karena tentu saja, baik Cat Calling maupun simbol "jempol kejepit" menyebabkan ketertiban masyarakat menjadi tidak teratur karena budaya yang menyimpang dan afirmasi banalitas.

Sehingga, upaya tiap individu adalah untuk menegakkan kebenaran atas penyimpangan-penyimpangan tersebut, membela para korban yang dihadapan kita sedang diperilakukan demikian, terlebih mendorong regulator untuk melindungi melalui aturan-aturan. Sebagaimana hukum haruslah hadir untuk manusia, juga tujuan hukum tegas menurut Soedikno Mertokusumo untuk menjaga ketertiban masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun