Sebagaimana oleh Guamarawati ( 2009 ) yang menyatakan kekerasan paling umum ada tiga jenis yakni salah satunya adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual bisa dalam bentuk ucapan tidak senonoh yang berkaitan dengan seks, gestur-gestur yang menunjukan Tindakan tidak senonoh dan sentuhan-sentuhan fisik pada tubuh perempuan.
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, Gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengkibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah Kesehatan dan keselamatan.[5]
Merujuk pada definisi kekerasan seksula yang menyoroti Tindakan non fisik yakni mempertunjukan Gerakan atau isyarat dan panggilan menuju keinginan seksual. Berdasarkan pengalaman penulis dalam melihat situasi sosiologis, juga kita umum sering mendengar istilah Catcalling dan juga seringkali melihat suatu Gerakan atau isyarat tangan " jempol terjepit ".
Kedua-duanya merupakan pembahasan yang akan penulis tekankan sebagai bentuk kekerasan seksual non fisik terhadap perempuan yang sejatinya haruslah kita pahami dan kita sama-sama lawan Tindakan tersebut.
Catcalling merujuk pada Tindakan seseorang yang berkomentar secara verbal kepada seseorang perempuan atau bahkan laki-laki. Seperti memanggil " Hai cantik! Mau kemana sini abang antar " , " sstt.. cantik sini main yuk ke hotel ", " jangan galak nanti dicium ". Pada dasarnya adalah perbuatan yang menimbulkan rasa tidak aman pada diri seseorang, namun sayangnya perbuatan tersebut dianggap sebagai hal yang biasa saja atau wajar.
Penelitian secara konsisten telah menunjukkan bahwa gangguan yang nampaknya kecil ini merupakan rutinitas dari negosisasi ruang publik dan ruang semi publik yang dialami sehari-hari, statistik menunjukkan bahwa sebanyak 90% perempuan pernah mengalami pelecehan di jalan setidaknya sekali dalam hidup mereka.[6] Perbuatan yang menimbulkan rasa tidak aman ini, seperti yang di sebutkan diatas, dikategorikan sebagai street harassment. Street harassment merupakan tindakan-tindakan seperti bersiul, menatap atau melotot secara berkepanjangan, meraba-raba, mengikuti seseorang dan komentar verbal yang mengganggu.[7]
Menurut laporan yang berjudul "Unsafe and Harassed in Public: A National Street Harassment Report", street harassment atau pelecehan jalan diartikan merupakan suatu interaksi yang tidak diinginkan yang terjadi pada ruang publik yang melibatkan dua pihak atau lebih yang tidak saling mengetahui satu sama lain dan biasanya disebabkan oleh gender, orientasi seksual atau ekspresi gender, mengakibatkan korban merasa kesal, marah, malu ataupun takut.[8]
Seringkali kita melihat pelecehan jalan ini dalam konteks CatCalling khususnya, ditemukan ditempat-tempat umum seperti terminal, stasiun kereta api, tempat-tempat hiburan, dan tempat umum lainnya. Dan seringkali korban dari Street Harassment ini adalah perempuan, walaupun tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada seorang laki-laki.
Dalam keseharian, mungkin kita pernah melihat laki-laki yang sedang melakukan CatCalling kepada perempuan atau biasanya kelompok laki-laki. Hal tersebut sering kita jumpai pastinya, sekelompok laki-laki yang memandang dengan penuh nafsu terhadap seorang perempuan sambil memanggil-manggil dengan panggilan yang berorientasi seksual. Hal ini yang menimbulkan rasa tidak nyaman terhadap perempuan tersebut, sehingga perempuan tersebut menjadi korban pelecehan seksual dalam bentuk CatCalling.
Umumnya orang disekitar menganggal hal tersebut wajar karena keseringan beberapa kelompok orang seperti kasus tadi, namun hakikatnya tidaklah demikian. Setiap orang berhak atas rasa aman dan nyaman untuk dirinya. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan, hal ini diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ( Undang-Undang HAM ).
Hak untuk memperoleh rasa aman ini dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945 ), Undang-Undang HAM, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), dan kebijakan-kebijakan lainnya. Meski telah memiliki sejumlah kebijakan yang menjamin rasa aman, namun hal tersebut tidak dapat dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Tempat umum seperti sarana transportasi publik, sarana olahraga, supermarket, bahkan tempat yang seharusnya memberikan rasa aman seperti sekolah, tempat kerja dan tempat ibadah, sering menjadi tempat dimana ketidakamanan dapat dirasakan.