Mohon tunggu...
Chelsy
Chelsy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Satya Terra Bhinneka

Mahasiswi aktif di Universitas Satya Terra Bhinneka, Program Studi Bisnis Digital, angkatan kedua tahun 2024. Saat ini, saya sedang menempuh semester pertama dengan semangat mengeksplorasi dunia teknologi dan bisnis yang terus berkembang. Saya percaya bahwa di era digital ini, kreativitas dan inovasi adalah kunci untuk menciptakan solusi yang bermanfaat bagi masyarakat. Selain belajar, saya aktif terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi kampus dan komunitas, di mana saya bisa berbagi ide dan pengalaman dengan teman-teman seangkatan Di luar kuliah, saya menikmati membaca buku, mengikuti tren teknologi terbaru, dan mencoba berbagai kegiatan baru. Saya sangat antusias untuk menjalin koneksi, berbagi pengetahuan, serta belajar dari pengalaman orang lain. Mari bersinergi dan berkolaborasi untuk menciptakan dampak positif di dunia digital! 🌟

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pemerintah Tidak Ikut Turun Tangan, Bagaimana Nasib Warga Cluster Rumah Pondok, Bisakah Tercapainya SDGs Tahun 2030 Nanti?

24 Januari 2025   21:34 Diperbarui: 25 Januari 2025   01:09 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi saat warga mengantre air 

"Karena banjir kemarin, air di tempat kami itu gak ada sama sekali" (Kata Bu Titin)

Menurut Warga Cluster Rumah Pondok dampak dari bencana banjir dan longsor tersebut mengakibatkan mereka kesulitan air sehingga warga Cluster Rumah Pondok tidak mendapatkan pasokan air yang cukup.

"Untuk awal musim hujan ini yang terdampak di Cluster Rumah Pondok sekitar 4 Dusun dari Dusun I hingga Dusun IV." (Tutur Bu Gita)

Bu Gita menambahkan bahwa di Cluster Rumah Pondok terdapat 4 Dusun yang terkena dampak banjir dan longsor dengan jumlah warga yang terkena dampak 70% (150 KK / Kartu Keluarga)

"Awalnya kami beli air galon untuk dipakai sehari - hari. Tapi karena terus-terusan beli kami juga gak mampu beli air lagi , jadi alternatif lain nya kami berpatungan untuk panggil Tangki Air" (Jelas Bu Nur)

"Kami awalnya beli air galon dan sebagaiannya. Kami juga minta ke tetangga, sampai minta ke sumur bor orang  juga, terus beberapa masyarakat akhirnya juga patungan buat sumur bor, walaupun kadang berhasil kadang engga. Lalu setelah 3-4 hari air mati barulah ada mobil tangki air yang datang. Mobil tangki air yang datang itu dari Yayasan Yatim Dhuafa Harapan, ada juga dari BKM (Badan Kemakmuran Masjid)." (Tambah Bu Messi)

Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga harus membeli dengan mendatangkan mobil tangki ke rumah, menampung dari air hujan, membeli air galon, mendapatkan donatur, membuat sumur bor bahkan mengambil air dari sekitaran mata air didekat sungai.

"Tangki air yang datang itu gak ada campur tangan dari Pemerintah langsung, malah kami dapatnya dari hasil patungan warga sampai donatur secara personal" (Ungkap Bu Nur)

"Pemerintah kurang cepat buat menangani masalah ini, jadi kami minta air sama yang punya sumur bor" (Lanjut Bu Gita)

"Pemerintah juga gak ada turun secara langsung buat lihat kondisi masyarakatnya" (Lanjut Tutur Bu Messi)

Selama warga mengalami kesulitan air bersih, pemerintah tidak bertindak cepat untuk melakukan penanggulangan terhadap dampak bencana tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun