A. PENDAHULUAN
Kehidupan modern yang mulai lahir diÂ
Eropa sejak masa Renaissance bagiÂ
sebagian kalangan dianggap telah gagalÂ
mewujudkan impiannya. GerakanÂ
pemikiran lain yang turut menjadi pemicuÂ
lahirnya modernisme adalah gerakanÂ
Aufklrung (Pencerahan) pada abad ke-17Â
di Jerman (Beutin,1984:115).
Gerakan-gerakan pemikiran yang telahÂ
disebutkan di atas pada dasarnya dibangunÂ
di atas pilar utama, yang disebut GriffithsÂ
(dalam Wora, 2006:39-42) sebagai filsafatÂ
materialis.
Dengan kata lain, abad modern BaratÂ
adalah zaman ketika manusia menemukanÂ
dirinya sebagai kekuatan yang dapatÂ
menyelesaikan persoalan-persoalan hidup.
Lemahnya sisi spiritual di satu sisi,Â
terutama karena pencabutan posisi sentralÂ
realitas Ilahi, dan berkuasanya ilmuÂ
pengetahuan dan teknologi di sisi lainÂ
membuat masyarakat modern Barat telahÂ
kehilangan arah akan orientasi hidupÂ
mereka. Mereka telah melupakanÂ
Tuhannya.
Gagalnya janji besar kemajuanÂ
industri dan modernisme menurut FrommÂ
(1976:xlvi) disebabkan oleh dua premisÂ
yang utama, yaitu:
1. bahwa tujuan hidup adalahÂ
kebahagiaan, yakni kesenanganÂ
maksimal yang didefinisikan sebagaiÂ
pemuasan setiap keinginan atauÂ
kebutuhan subjektif yang dapatÂ
dirasakan seseorang (hedonismeÂ
radikal)
2. bahwa egotisme, sifat mementingkanÂ
diri sendiri dan ketamakan, yang harusÂ
ditimbulkan oleh sistem agar dapatÂ
berfungsi, menuju keserasian danÂ
perdamaian.
Dalam khasanah sastra Indonesia,Â
seperti disebutkan oleh Prihatmi (1999),
kecenderungan terhadap aspek-aspekÂ
posmodern sudah tampak sejak tahun 1960-
an.
B. TINJAUAN TEORI
Filsafat Cartesian dan Newtonian yangÂ
melandasi kehidupan modern, sebagaimanaÂ
telah disebutkan di atas, hanya ditopangÂ
oleh fondasi ilmu pengetahuan. Sementara,Â
spiritualitas diabaikan sama sekali.Â
Sehingga, yang terjadi adalah ketimpanganÂ
dan ketidakseimbangan dalam kehidupanÂ
ini.Â
Dalam hubungan dengan sastra,Â
modernisme mempunyai beberapa
kecenderungan, yaitu sastra sebagai hasilÂ
aktivitas individual yang ditegaskan olehÂ
penggunaan nama diri penulisnya.
ciri-ciri keadaan Posmodern.Â
Secara garis besar, ciri-ciri tersebut dapatÂ
disimpulkan sebagai berikut:
 (1) Tidak percaya pada metanaratif,Â
(2) kritis terhadap Marxis,Â
(3) tidak percaya pada totalitas, percaya pada pragmentasiÂ
permainan bahasa,Â
(4) memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa mikro,Â
(5) memberikan perhatian pada kreativitas yang terlokalkan, pertarungan-pertarungan lokal,Â
(6) hilangnya individu dan gaya, munculnya pastische,Â
(7) hilangnya ingatan akan waktu, terpusatnya perhatian padaÂ
masa kini, bersifat schizophrenia,Â
(8) schizophrenia merupakan ketaktertataan bahasa.
Ciri lain dari posmodernisme adalahÂ
parodi.
C. ABACADABRA DANÂ
POSMODERNISME
1. Ringkasan Cerpen Abracadabra
Cerpen Abracadabra merupakan hasilÂ
dekonstruksi yang dilakukan oleh DanartoÂ
terhadap drama Hamlet karya Shakespeare.Â
Cerita ini mengambil kisah kesetiaanÂ
Horatius kepada kawannya, Hamlet, sangÂ
pangeran dari kerajaan Denmark. HoratiusÂ
menunggu Hamlet ketika menjelangÂ
ajalnya. Cerita dalam cerpen ini meloncat-
loncat.
2. Unsur-unsur Posmodern dalamÂ
Cerpen Abracadabra
a. Fragmentaris
Cerpen ini terlihat terpotong-potongÂ
oleh beberapa penggalan yang sengajaÂ
disampaikan oleh penulis. Penggalan-
penggalan yang menjadikan ceritaÂ
meloncat-loncat tanpa terduga olehÂ
pembaca sepertinya menjadi ciri cerpenÂ
dengan judul Abracadabra ini.
Hal ini bisa kitaÂ
lihat loncatan dari paragraf satu dan dua keÂ
paragraf tiga dan empat dan seterusnya.
Jika itu sabda Tuhan, suruhlahÂ
batu menggoyangkannya. Jika ituÂ
kebenaran, suruhlah pohonÂ
menyanyikannya. Jika itu kataÂ
bertuah, suruhlah binatangÂ
menuliskannya. Biarlah tahtaÂ
terhampar dan perdana menteriÂ
bersujud. Jika angin takÂ
berhembus, niscaya udara di kamarÂ
pengap juga. Biarlah lari kudaÂ
menyibak di antara obor danÂ
anjing-anjing menyalak. Jika tidakÂ
ada binatang buruan apa mauÂ
dikata. Hujan pagi hari, enak bagiÂ
pegawai. Hujan sore hari enak bagiÂ
pengantin baru....
... Di Bazar Teheran, orangÂ
berdatangan menikmati permadaniÂ
yang bergantungan.
Selain itu kisah yang diceritakan punÂ
sedikit menyimpang dari alur cerita tentangÂ
Hamlet yang kita kenal. Sepertinya horison
harapan pembaca dari awal sudah mulaiÂ
didobrak oleh pengarang karena diceritakanÂ
tentang harga cengkeh dan rokok kretek.Â
Air gemericik di Tawangmangu,Â
begitu jernih, di sana tumbuhÂ
pohon-pohon cengkeh, sekarangÂ
perkilonya empat ribu rupiah.Â
Konon pemetikan pertama buahnyaÂ
itu setelah pohon berumur limaÂ
tahun. Harga rokok kretek naikÂ
bangga juga. Walaupun kantongÂ
sulit membelinya.
b. Parodi Kematian
Parodi biasanya dianggap sentralÂ
dalam posmodernisme (Hutcheon,Â
2004:147). Parodi juga menggugat asumsiÂ
humanis kita tentang orisinalitas danÂ
keunikan artistik serta konsep kepemilikanÂ
dan hak milik kapitalis kita. Melalui parodiÂ
-- ataupun bentuk reproduksi lain -- konsepÂ
yang orisinal sebagai sesuatu yang langka,Â
tunggal, dan berharga kembali.
Parodi yang dimunculkan dalamÂ
cerpen Abracadabra ini adalah parodiÂ
tentang kisah masa lalu yang diangkatÂ
dalam drama Hamlet karya Shakespeare.Â
Parodi dimulai dengan mengambil adeganÂ
akhir drama tersebut ketika Hamlet sedangÂ
menghadapi kematian.
Dari parodi yang ditampilkan dalamÂ
Abracadabra jelas sekali bahwa parodi
posmodern merupakan semacam revisi atauÂ
pembacaan ulang -- yang mempersoalkanÂ
(contesting) -- memperkuat dan sekaligusÂ
meruntuhkan kekuatan representasi sejarahÂ
(Hutcheon, 2004:150).
c. Metafiksi Historiografis
Metafiksi historiografis secaraÂ
sederhana dipahami sebagai kandunganÂ
karya sastra yang refleksif yang secaraÂ
intens dan secara paradoks meng-
gambarkan peristiwa dan tokoh historis.Â
Metafiksi historiografi menyatukan tigaÂ
bidang berikut ini: 1) kesadaran teoretisÂ
pada sejarahnya; 2) karya sastra sebagaiÂ
konstruk yang dibuat sebagai dasarÂ
pemikiran; 3) pengerjaan kembali bentukÂ
dan isi masa lalu. Dalam metafiksiÂ
historiografis kesadaran akan sejarahÂ
sebagai bagian keseluruhan yang temporalÂ
mendasari frekuensi penggunaanÂ
anakronisme.
Cerpen Abracadabra ini memiliki
intertekstualitas dengan drama HamletÂ
karya Shakespeare. Darma itu mengisahkanÂ
Pangeran Hamlet, seorang intelektual yangÂ
penuh teka-teki, sedang berkabung atasÂ
kematian ayahnya sekaligus atas ibunyaÂ
yang menikah lagi.
Cerpen Abracadabra ini sangatÂ
anakronis. Seperti dalam fiksi sejarah yangÂ
melibatkan suatu transgresi halus antaraÂ
bidang acuan eksternal dan bidang acuanÂ
internal melalui diperkenalkannya tokoh-
tokoh historis ke dalam suatu fiksi, atauÂ
dipaksakannya tokoh-tokoh fiksional keÂ
dalam situasi histori yang sebenarnya.
Anakronisme itu tampak padaÂ
paragraph-paragraf awal cerpen ini. Selain itu tampak pula padaÂ
percakapan horatio dan Hamlet,
......
Tentu ini semua pekerjaanÂ
komputer, Horatio."
"Saya pikir juga demikian."
"Betapa jauh jarak yang telahÂ
kita tempuh, Horatio. DariÂ
masa aku membunuh ayahÂ
tiriku, kau cukup jelas apa yangÂ
kumaksud tentunya. Sampai diÂ
sini kita berkenalan denganÂ
komputer."
Tokoh Hamlet dan Horatio yang hadir diÂ
abad ke-17 berusaha didekatkan denganÂ
pembaca masa kini dengan komputer yangÂ
merupakan produk abad ke-20.
D. Kesimpulan
Unsur-unsur posmodern yang terdapatÂ
dalam cerpen Abracadabra terasa sangatÂ
kental. Unsur-unsur seperti parodi,Â
fragmentaris, dan metafiksi historiografisÂ
menyatu dalam cerita sehingga membuatÂ
cerpen ini di satu sisi sulit dipahami,Â
terlebih karena loncatan-loncatannya, akanÂ
tetapi di sisi lain sangat menarik untukÂ
dibaca karena menampilkan citraa.Â
Meskipun cerpen Abracadabra iniÂ
diterbitkan pada tahun 1975, akan tetapiÂ
pengaruh posmodern sudah mulai terasa. Makna dan Fungsinya. PidatoÂ
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalamÂ
ilmu kesusastraan Indonesia Modern.