Mohon tunggu...
CHELSI DIRA RAHMANI
CHELSI DIRA RAHMANI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Hobi saya mendengarkan musik dan melukis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pekan Kebudayaan Nasional 2023: Cerpen Abkadabra Karya Tulis Danarto

30 Oktober 2023   15:12 Diperbarui: 30 Oktober 2023   15:22 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. PENDAHULUAN

Kehidupan modern yang mulai lahir di 

Eropa sejak masa Renaissance bagi 

sebagian kalangan dianggap telah gagal 

mewujudkan impiannya. Gerakan 

pemikiran lain yang turut menjadi pemicu 

lahirnya modernisme adalah gerakan 

Aufklrung (Pencerahan) pada abad ke-17 

di Jerman (Beutin,1984:115).

Gerakan-gerakan pemikiran yang telah 

disebutkan di atas pada dasarnya dibangun 

di atas pilar utama, yang disebut Griffiths 

(dalam Wora, 2006:39-42) sebagai filsafat 

materialis.

Dengan kata lain, abad modern Barat 

adalah zaman ketika manusia menemukan 

dirinya sebagai kekuatan yang dapat 

menyelesaikan persoalan-persoalan hidup.

Lemahnya sisi spiritual di satu sisi, 

terutama karena pencabutan posisi sentral 

realitas Ilahi, dan berkuasanya ilmu 

pengetahuan dan teknologi di sisi lain 

membuat masyarakat modern Barat telah 

kehilangan arah akan orientasi hidup 

mereka. Mereka telah melupakan 

Tuhannya.

Gagalnya janji besar kemajuan 

industri dan modernisme menurut Fromm 

(1976:xlvi) disebabkan oleh dua premis 

yang utama, yaitu:

1. bahwa tujuan hidup adalah 

kebahagiaan, yakni kesenangan 

maksimal yang didefinisikan sebagai 

pemuasan setiap keinginan atau 

kebutuhan subjektif yang dapat 

dirasakan seseorang (hedonisme 

radikal)

2. bahwa egotisme, sifat mementingkan 

diri sendiri dan ketamakan, yang harus 

ditimbulkan oleh sistem agar dapat 

berfungsi, menuju keserasian dan 

perdamaian.

Dalam khasanah sastra Indonesia, 

seperti disebutkan oleh Prihatmi (1999),

kecenderungan terhadap aspek-aspek 

posmodern sudah tampak sejak tahun 1960-

an.

B. TINJAUAN TEORI

Filsafat Cartesian dan Newtonian yang 

melandasi kehidupan modern, sebagaimana 

telah disebutkan di atas, hanya ditopang 

oleh fondasi ilmu pengetahuan. Sementara, 

spiritualitas diabaikan sama sekali. 

Sehingga, yang terjadi adalah ketimpangan 

dan ketidakseimbangan dalam kehidupan 

ini. 

Dalam hubungan dengan sastra, 

modernisme mempunyai beberapa

kecenderungan, yaitu sastra sebagai hasil 

aktivitas individual yang ditegaskan oleh 

penggunaan nama diri penulisnya.

ciri-ciri keadaan Posmodern. 

Secara garis besar, ciri-ciri tersebut dapat 

disimpulkan sebagai berikut:

 (1) Tidak percaya pada metanaratif, 

(2) kritis terhadap Marxis, 

(3) tidak percaya pada totalitas, percaya pada pragmentasi 

permainan bahasa, 

(4) memusatkan perhatian pada peristiwa-peristiwa mikro, 

(5) memberikan perhatian pada kreativitas yang terlokalkan, pertarungan-pertarungan lokal, 

(6) hilangnya individu dan gaya, munculnya pastische, 

(7) hilangnya ingatan akan waktu, terpusatnya perhatian pada 

masa kini, bersifat schizophrenia, 

(8) schizophrenia merupakan ketaktertataan bahasa.

Ciri lain dari posmodernisme adalah 

parodi.

C. ABACADABRA DAN 

POSMODERNISME

1. Ringkasan Cerpen Abracadabra

Cerpen Abracadabra merupakan hasil 

dekonstruksi yang dilakukan oleh Danarto 

terhadap drama Hamlet karya Shakespeare. 

Cerita ini mengambil kisah kesetiaan 

Horatius kepada kawannya, Hamlet, sang 

pangeran dari kerajaan Denmark. Horatius 

menunggu Hamlet ketika menjelang 

ajalnya. Cerita dalam cerpen ini meloncat-

loncat.

2. Unsur-unsur Posmodern dalam 

Cerpen Abracadabra

a. Fragmentaris

Cerpen ini terlihat terpotong-potong 

oleh beberapa penggalan yang sengaja 

disampaikan oleh penulis. Penggalan-

penggalan yang menjadikan cerita 

meloncat-loncat tanpa terduga oleh 

pembaca sepertinya menjadi ciri cerpen 

dengan judul Abracadabra ini.

Hal ini bisa kita 

lihat loncatan dari paragraf satu dan dua ke 

paragraf tiga dan empat dan seterusnya.

Jika itu sabda Tuhan, suruhlah 

batu menggoyangkannya. Jika itu 

kebenaran, suruhlah pohon 

menyanyikannya. Jika itu kata 

bertuah, suruhlah binatang 

menuliskannya. Biarlah tahta 

terhampar dan perdana menteri 

bersujud. Jika angin tak 

berhembus, niscaya udara di kamar 

pengap juga. Biarlah lari kuda 

menyibak di antara obor dan 

anjing-anjing menyalak. Jika tidak 

ada binatang buruan apa mau 

dikata. Hujan pagi hari, enak bagi 

pegawai. Hujan sore hari enak bagi 

pengantin baru....

... Di Bazar Teheran, orang 

berdatangan menikmati permadani 

yang bergantungan.

Selain itu kisah yang diceritakan pun 

sedikit menyimpang dari alur cerita tentang 

Hamlet yang kita kenal. Sepertinya horison

harapan pembaca dari awal sudah mulai 

didobrak oleh pengarang karena diceritakan 

tentang harga cengkeh dan rokok kretek. 

Air gemericik di Tawangmangu, 

begitu jernih, di sana tumbuh 

pohon-pohon cengkeh, sekarang 

perkilonya empat ribu rupiah. 

Konon pemetikan pertama buahnya 

itu setelah pohon berumur lima 

tahun. Harga rokok kretek naik 

bangga juga. Walaupun kantong 

sulit membelinya.

b. Parodi Kematian

Parodi biasanya dianggap sentral 

dalam posmodernisme (Hutcheon, 

2004:147). Parodi juga menggugat asumsi 

humanis kita tentang orisinalitas dan 

keunikan artistik serta konsep kepemilikan 

dan hak milik kapitalis kita. Melalui parodi 

-- ataupun bentuk reproduksi lain -- konsep 

yang orisinal sebagai sesuatu yang langka, 

tunggal, dan berharga kembali.

Parodi yang dimunculkan dalam 

cerpen Abracadabra ini adalah parodi 

tentang kisah masa lalu yang diangkat 

dalam drama Hamlet karya Shakespeare. 

Parodi dimulai dengan mengambil adegan 

akhir drama tersebut ketika Hamlet sedang 

menghadapi kematian.

Dari parodi yang ditampilkan dalam 

Abracadabra jelas sekali bahwa parodi

posmodern merupakan semacam revisi atau 

pembacaan ulang -- yang mempersoalkan 

(contesting) -- memperkuat dan sekaligus 

meruntuhkan kekuatan representasi sejarah 

(Hutcheon, 2004:150).

c. Metafiksi Historiografis

Metafiksi historiografis secara 

sederhana dipahami sebagai kandungan 

karya sastra yang refleksif yang secara 

intens dan secara paradoks meng-

gambarkan peristiwa dan tokoh historis. 

Metafiksi historiografi menyatukan tiga 

bidang berikut ini: 1) kesadaran teoretis 

pada sejarahnya; 2) karya sastra sebagai 

konstruk yang dibuat sebagai dasar 

pemikiran; 3) pengerjaan kembali bentuk 

dan isi masa lalu. Dalam metafiksi 

historiografis kesadaran akan sejarah 

sebagai bagian keseluruhan yang temporal 

mendasari frekuensi penggunaan 

anakronisme.

Cerpen Abracadabra ini memiliki

intertekstualitas dengan drama Hamlet 

karya Shakespeare. Darma itu mengisahkan 

Pangeran Hamlet, seorang intelektual yang 

penuh teka-teki, sedang berkabung atas 

kematian ayahnya sekaligus atas ibunya 

yang menikah lagi.

Cerpen Abracadabra ini sangat 

anakronis. Seperti dalam fiksi sejarah yang 

melibatkan suatu transgresi halus antara 

bidang acuan eksternal dan bidang acuan 

internal melalui diperkenalkannya tokoh-

tokoh historis ke dalam suatu fiksi, atau 

dipaksakannya tokoh-tokoh fiksional ke 

dalam situasi histori yang sebenarnya.

Anakronisme itu tampak pada 

paragraph-paragraf awal cerpen ini. Selain itu tampak pula pada 

percakapan horatio dan Hamlet,

......

Tentu ini semua pekerjaan 

komputer, Horatio."

"Saya pikir juga demikian."

"Betapa jauh jarak yang telah 

kita tempuh, Horatio. Dari 

masa aku membunuh ayah 

tiriku, kau cukup jelas apa yang 

kumaksud tentunya. Sampai di 

sini kita berkenalan dengan 

komputer."

Tokoh Hamlet dan Horatio yang hadir di 

abad ke-17 berusaha didekatkan dengan 

pembaca masa kini dengan komputer yang 

merupakan produk abad ke-20.

D. Kesimpulan

Unsur-unsur posmodern yang terdapat 

dalam cerpen Abracadabra terasa sangat 

kental. Unsur-unsur seperti parodi, 

fragmentaris, dan metafiksi historiografis 

menyatu dalam cerita sehingga membuat 

cerpen ini di satu sisi sulit dipahami, 

terlebih karena loncatan-loncatannya, akan 

tetapi di sisi lain sangat menarik untuk 

dibaca karena menampilkan citraa. 

Meskipun cerpen Abracadabra ini 

diterbitkan pada tahun 1975, akan tetapi 

pengaruh posmodern sudah mulai terasa. Makna dan Fungsinya. Pidato 

Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam 

ilmu kesusastraan Indonesia Modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun