Mohon tunggu...
Chelsea Venda
Chelsea Venda Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia

Laki-laki yang menyukai jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Lautan Manusia di Basecamp Pendakian dan Kritik yang Salah Sasaran

17 Agustus 2020   14:06 Diperbarui: 17 Agustus 2020   19:40 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Sindoro via Kledung.(Kompas.com/Anggara Wikan Prasetya)

Hari ini, lima tahun lalu, saya masih kelas tiga SMA. Tepat hari ini pula, saat itu, kaki saya bisa melangkah sampai puncak Gunung Sindoro. Tentu, saya merasa bangga ketika berfoto dengan plakat bertuliskan puncak Sindoro dengan berlatar belakang bendera merah putih. Seolah, saya sangat nasionalis, meski tentu perasaan itu hanya sebatas pikiran saja.

Di generasi saya, lebih khusus lagi di sekolah saya, tahun-tahun itu memang sedang demam-demamnya pendakian gunung. Salah satu faktornya, adalah meledaknya film 5 CM. Harus diakui, film itu cukup fenomenal, berpengaruh, dan bisa jadi bagi sebagian orang sangat menginspirasi.

Tak terkecuali saya, yang mulai mengenal dan menyukai dunia pendakian setelah menonton film  5 CM. Film itu, meski fenomenal, tapi tak lepas dari kritik.

Beberapa kritiknya mengarah ke alat pendakian. Misalnya, semua pemeran di film itu, mendaki dengan celana jeans. Jelas sekali, jeans sangat tidak direkomendasikan untuk pendakian, sebab bahannya yang kaku dan jika terkena hujan akan sulit kering.

Kritik juga dialamatkan kepada Genta, seorang laki-laki yang dengan sengaja membawa sahabat-sahabatnya ke gunung sebagai sebuah kejutan. Ya, Genta baru memberitahu sahabatnya bahwa mereka akan naik gunung ketika hampir sampai di basecamp pendakian.

Kesalalahan-kesalahan tersebut membuat film ini menjelma menjadi subjek kesalahan bagi tiap pendaki yang di masa depan melakukan kesalahan. Misalnya, ketika ada pendaki tidak peduli dengan sampah bawaanya, banyak orang langsung menyalahkan film 5 CM karena membawa pengaruh buruk. 

Ketika ada pendaki hipotermia karena tidak membawa sleeping bag, yang salah juga pengaruh film 5 CM. Dan kesalahan-kesalahan lain yang teramat banyak, muaranya selalu menyalahkan tontonan 5 CM yang dianggap membawa pengaruh buruk.

Jika harus jujur, pendakian pertama saya ke Gunung Sindoro pun masih jauh dari standar pendakian. Saya masih memakai celana jeans misalnya pada waktu itu. Mengapa? Alasannya cukup sederhana, anak muda, ingin keren, dan jeans adalah celana yang keren.

Iya, saya tahu itu salah dan kesalahan itu segera saya perbaiki di pendakian-pendakian selanjutnya. Proses ini yang seringkali dilupakan banyak orang. 

Semua pendaki pada mulanya pasti seorang pemula dan penuh kesalahan. Mengapa, kita seolah menafikan hal tersebut dan memilih langsung menyalahkan film 5CM sebagai tontonan yang mengakibatkan berbagai kecelakaan pendaki.

Lagipula, jika hanya menyalahkan 5 CM sebagai biang, banyak pendaki tak taat aturan bermunculan, saya pikir bukan sesuatu yang bijak. Ada faktor lain, media sosial misalnya. Peran akun-akun pendakian gunung di Instagram juga turut menyumbang rasa penasaran banyak orang untuk datang ke gunung tanpa persiapan yang matang.

Ilustrasi merayakan 17 Agutsu di gunung (Sumber: tigadewaadventureindonesia.com)
Ilustrasi merayakan 17 Agutsu di gunung (Sumber: tigadewaadventureindonesia.com)
Ironisnya, akun-akun tersebut tak jarang turut menyalahkan pendaki pemula ketika mereka mengalami kecelakaan. Padahal jika main hitung-hitungan, berapa kali postingan mereka yang berisi edukasi pendakian? 

Jumlahnya saya yakin lebih sedikit dibanding postingan mereka yang menampilkan keindahan gunung. Ayo sok dihitung. Emang paling gampang itu cuman nyalahin doang! Apakah yakin semua itu murni hanya salah pendaki?

Kini, setelah lima tahun berlalu. Permasalahan klasik itu masih belum selesai. Beberapa hari yang lalu, akun-akun pendakian gunung kembali nyinyir. Mulut mereka memang perlu disumpal nesting panas bekas masak air kopi.

Beberapa hari yang lalu, gunung seperti kebanjiran lautan manusia. Ada banyak pendaki yang datang ke basecamp untuk melakukan pendakian spesial 17 Agustus. Padahal, suasana masih pandemi, karena penuh sesak lautan manusia, protokol kesehatan dan jaga jarak sulit diterapkan.

Celah itu, langsung dilahap akun-akun pendakian untuk nyinyir. Tak hanya mereka, influencer pendaki pun melakukan hal serupa. Mereka ramai-ramai memposting prediksi sampah yang tertinggal, ancaman covid, sampai anjuran tidak melakukan pendakian gunung saat 17 Agustus.

Pokoknya, semua salah pendaki, titik. Padahal penghakiman masal tersebut bisa jadi keliru. Kita tentu tidak tahu, barangkali ada ratusan pendaki itu, ada yang sudah lama bermimpi bisa mengibarkan bendera 17 Agustus di atas gunung dan harusnya mimpi itu tidak salah.

Barangkali ada yang sulit mendapat cuti pekerjaan, dan momen 17 Agustus adalah momen libur panjang yang mesti dimanfaatkan dengan baik.

Akun-akun pendakian dan influencer pendaki ini seolah lupa variabel tersebut. Mereka memang terlihat heroik, seolah tidak menginginkan gunung menjadi tempat yang kotor, tidak ingin gunung dipadati manusia.

Tapi saya pikir itu semua palsu, mereka hanya menginginkan eksklusifitas tok! Toh kalau cita-cita mereka adalah membuat gunung tetap alami, alangkah baiknya pendakian ditutup total saja. Kehadiran manusia untuk pendakian dalam jumlah berapapun bukanlah hal alami di gunung.

Balik lagi ke nyinyiran akun pendaki dan influencer. Seperti yang sudah saya katakan, paling gampang memang sibuk menyalahkan, lebih gampang lagi menyalahkan pendaki dan melupakan faktor lain. Padahal fokus permasalahannya barangkali bukan ada di pendaki, tetapi di pengelola basecamp atau instansi terkait. 

Ribuan pendaki berada di puncak Gunung Prau, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah (KOMPAS.com/NAZAR NURDIN)
Ribuan pendaki berada di puncak Gunung Prau, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah (KOMPAS.com/NAZAR NURDIN)
Menjaga alam adalah tanggung jawab bersama semua manusia tak terkecuali, kita sepakat. Tetapi jika diibaratkan, pengelola basecamp ini adalah koordinatornya. Maka jika terjadi sesuatu hal digunung, sasaran kritik harus dijatuhkan ke pengelola basecamp.

Melayangkan kritik ke pendaki dan berharap ada perubahan dari kesadaran bersama adalah omong kosong. Sedangkan kritik ke pengelola basecamp bisa membuat mereka berani memutuskan membuat aturan yang tegas, yang mau tidak mau harus diikuti oleh pendaki.

Membludaknya pendaki di hari kemerdekaan, seharusnya bisa dikendalikan jauh-jauh hari. Pengelola basecamp, bisa menerapkan pembatasan kuota dan skema pendaftaran yang transparan. Dalam artian sebelum pendaki sampai ke basecamp, nama mereka harus sudah benar-benar ada di daftar antrian.

Tetapi, apakah pengelola basecamp mau menerapkan hal tersebut? Membuat sistem pendakian online misalnya, sehingga nanti akan ketahuan sudah berapa orang yang mendaki di hari tersebut. sehingga kejadian tumpukan pendaki di basecamp bisa diminimalisir. Apakah mereka mau menerapkan itu? Dan memberi sangsi tegas untuk pendaki yang tidak ada di daftar antrian tetapi memaksa datang ke basecamp?

Sementara, untuk masalah sampah, basecamp Gunung Kembang saya rasa bisa menjadi acuan yang menarik. Mereka benar-benar membongkar isi tas pendaki di basecamp. 

Mereka sangat melarang pendaki membawa plastik, sebagai gantinya, semua hal yang berbau plastik harus dipindah ke wadah lain yang lebih ramah lingkungan. Terlihat ribet, tapi cara ini sangat efektif untuk menurunkan angka sampah di gunung.

Cara tersebut tentu bisa dilakukan di semua basecamp pendakian, sehingga jumlah sampah pendaki bisa ditekan dengan signifikan --alih-alih hanya berharap kesadaran pendaki yang semu- adanya sangsi berat juga bisa membuat pendaki lebih patuh.

Tapi, yasudah, menyalahkan pendaki memang lebih mudah dilakukan dibanding menyalahkan sistem.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun