Jumlahnya saya yakin lebih sedikit dibanding postingan mereka yang menampilkan keindahan gunung. Ayo sok dihitung. Emang paling gampang itu cuman nyalahin doang! Apakah yakin semua itu murni hanya salah pendaki?
Kini, setelah lima tahun berlalu. Permasalahan klasik itu masih belum selesai. Beberapa hari yang lalu, akun-akun pendakian gunung kembali nyinyir. Mulut mereka memang perlu disumpal nesting panas bekas masak air kopi.
Beberapa hari yang lalu, gunung seperti kebanjiran lautan manusia. Ada banyak pendaki yang datang ke basecamp untuk melakukan pendakian spesial 17 Agustus. Padahal, suasana masih pandemi, karena penuh sesak lautan manusia, protokol kesehatan dan jaga jarak sulit diterapkan.
Celah itu, langsung dilahap akun-akun pendakian untuk nyinyir. Tak hanya mereka, influencer pendaki pun melakukan hal serupa. Mereka ramai-ramai memposting prediksi sampah yang tertinggal, ancaman covid, sampai anjuran tidak melakukan pendakian gunung saat 17 Agustus.
Pokoknya, semua salah pendaki, titik. Padahal penghakiman masal tersebut bisa jadi keliru. Kita tentu tidak tahu, barangkali ada ratusan pendaki itu, ada yang sudah lama bermimpi bisa mengibarkan bendera 17 Agustus di atas gunung dan harusnya mimpi itu tidak salah.
Barangkali ada yang sulit mendapat cuti pekerjaan, dan momen 17 Agustus adalah momen libur panjang yang mesti dimanfaatkan dengan baik.
Akun-akun pendakian dan influencer pendaki ini seolah lupa variabel tersebut. Mereka memang terlihat heroik, seolah tidak menginginkan gunung menjadi tempat yang kotor, tidak ingin gunung dipadati manusia.
Tapi saya pikir itu semua palsu, mereka hanya menginginkan eksklusifitas tok! Toh kalau cita-cita mereka adalah membuat gunung tetap alami, alangkah baiknya pendakian ditutup total saja. Kehadiran manusia untuk pendakian dalam jumlah berapapun bukanlah hal alami di gunung.
Balik lagi ke nyinyiran akun pendaki dan influencer. Seperti yang sudah saya katakan, paling gampang memang sibuk menyalahkan, lebih gampang lagi menyalahkan pendaki dan melupakan faktor lain. Padahal fokus permasalahannya barangkali bukan ada di pendaki, tetapi di pengelola basecamp atau instansi terkait.Â