Bagaimana cara mengatasi hal yang dirisaukan Jokowi itu?Â
Penegakan disiplin, mutlak diperlukan. Tapi itu tidak cukup. Yang paling penting dan efektif adalah kemampuan melihat realita dengan cita-cita NKRI berdiri yaitu untuk mewujudkan negara SEJAHTERA.
Pemimpin negara harus mampu menjelaskan jika masih adanya gap antara cita-cita Negara dengan realita, yang disebabkan oleh berbagai problem bangsa yang belum tuntas.
Pemerintah juga sebaiknya menjelaskan secara tuntas, siapa yang dimaksud penceramah radikal, terukur, jelas lokus dan fokusnya. Hal itu diperlukan, untuk mencegah adanya pihak-pihak yang menggunakan isu itu untuk menyerang lawan politik, kelompok kepentingan yang berbeda.
Di kalangan TNI-Polri dan keluarganya, jangan sampai gara-gara persoalan mengundang penceramah yang di cap radikal (?) dalam suatu perkumpulan pengajian/rohani, Â ada Komandan Kodim, atau Komandan Korem, atau Kapolres yang dicopot dari jabatannya. Karena tidak mudah untuk menentukan siapa penceramah yang radikal itu. Oleh karena itu Biro Bimtal setiap satuan tugas TNI-Polri harus proaktif untuk mencarikan dan menyiapkan penceramah yang mampu memberikan siraman rohani yang menyejukkan.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid  mengurai beberapa indikator yang menandakan penceramah radikal.
Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.
Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.
Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.
Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).
Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifan lokal keagamaan.