Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

TNI-Polri dan Rumah Kaca

6 Maret 2022   13:23 Diperbarui: 6 Maret 2022   13:28 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penasehat disekitar Presiden Jokowi kali ini sudah menjangkau keluarga TNI dan Polri. Seperti petir di siang bolong, kita tidak pernah mendengar walaupun sayup-sayup,  isu penceramah radikal di kalangan pengajian keluarga TNI - Polri, termasuk pembicaraan di whatsApp Group yang mengkritisi kebijakan Jokowi tentang IKN.

"Juga hal-hal kecil tapi harus mulai didisiplinkan di WA Group. Saya melihat (percakapan) di WA Group (TNI-Polri), karena di kalangan sendiri, (dianggap) boleh, hati-hati," kata Jokowi dalam rapim TNI-Polri 2022 di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa (1/3).

Salah satu hal yang dicontohkan Presiden Jokowi adalah soal penolakan Ibu Kota Nusantara (IKN). Jokowi juga menegaskan dia sempat membaca percakapan di dalam WA Grup TNI Polri. Dia pun mewanti-wanti agar TNI Polri tidak menyimpang.

Terkait penceramah radikal, Jokowi juga mengingatkan keluarga besar TNI dan Polri, untuk hati-hati mengundangnya.

Dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri di Mabes TNI, Jakarta, Selasa, 1 Maret, Jokowi juga mengingatkan agar istri dan keluarga anggota TNI-Polri tidak sembarangan memanggil penceramah. Jokowi mengkhawatirkan hal itu bisa menjadi bibit radikalisme di kalangan aparat negara.

"Ini mikronya harus kita urus juga. Tau-tau mengundang penceramah radikal. Nah, hati- hati. Hal-hal kecil ini harus diatur. Saya melihat di WA Grup, karena di kalangan sendiri, oh boleh, hati-hati, kalau seperti itu dibolehkan dan diterus-teruskan, hati-hati," kata dia.

Tidak menduga dalam forum penting dan strategis itu yang agendanya membahas keamanan dan pertahanan negara, Presiden bicara juga yang mikro-mikro memakai istilah beliau. Masyarakat menduga Presiden akan bicara soal bagaimana  arah dan kebijakan strategi Panglima Tertinggi TNI, terhadap KKB Papua. Sebab satu persatu personil TNI dan Polri berguguran. Termasuk warga sipil dan fasilitas umum pedesaan di bumi hanguskan.

MUI bereaksi. Sekjen MUI Amirsyah Tambunan menanyakan kepada Presiden siapa yang dimaksud dengan penceramah radikal. Amirsyah berharap ada penjelasan lebih lengkap agar isu ini tidak simpang siur.

"Seperti apa radikal yang dimaksud presiden, sehingga jelas subjeknya pada penceramah yang radikal terhadap keluarga TNI Polri," kata dia saat dihubungi TEMPO.CO, Kamis, 3 Maret 2022.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman menanggapi teguran Jokowi yang menyoroti WA Grup TNI Polri.

Dia akan memerintahkan seluruh komandan satuan di TNI AD agar mendisiplinkan percakapan di WA Grup TNI-Polri. Dudung pun mengingatkan TNI AD harus loyal kepada Presiden.

"Masalah disiplin militer itu di WA Group, yang tadi saya sampaikan, nanti akan saya tekankan kepada seluruh komandan satuan di sini. Ya dukung lah pemerintah, jangan ada yang omong aneh-aneh. Kalau kita, loyalitas tegak lurus kepada Presiden atau panglima tertinggi kita," kata Dudung saat rapim TNI AD di Mabes AD, Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (2/3/2022).

Pemantik yang disampaikan Presiden Jokowi itu, akan semakin meramaikan hot issues yang sudah ada. Sejak hangatnya isu JHT yang tidak boleh diambil sebelum mencapai usia 56 tahun, Inpres Nomor 1/2022, Penundaan Pemilu, kenaikan harga bahan pokok, gas dan BBM, dan pengeras suara azan dibandingkan dengan gonggongan anjing oleh Menag Yaqut, yang semua itu berimplikasi terhadap dinamika social di masyarakat.

Bukan rumah kaca

Komunitas TNI-Polri dan keluarganya adalah suatu kelompok masyarakat yang secara umum tidak beda dengan komunitas lainnya. Istilah manunggal TNI dengan rakyat, sudah puluhan tahun didengar. Program TNI Masuk Desa membangun fisik dan mental masyarakat desa terus berlangsung sampai saat ini.

Postur TNI dan Polri saat ini berada pada kualitas SDM yang berpendidikan tinggi. Suatu fenomena yang menarik.  Kita mencatat banyak perwira pertama sampai dengan perwira tinggi yang mendapat gelar Master maupun Doktor dari luar dan dalam negeri, bahkan menjadi Guru Besar di UNHAN, dan PTIK.

Pendidikan yang tinggi menjadikan mereka lebih akademik, cerdas, smart, berpikir logis, dan lebih sensitif dengan perubahan sosial di masyarakat. Demikian juga para istri-istri TNI dan Polri. Mereka sudah lebih cerdas, terdidik, dan punya kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat sekitar.Terjadi pergeseran nilai  dan sudut pandang dalam melihat realitas kehidupan, dengan masifnya penggunaan gadget yang menembus sampai diatas tempat tidur.

Komunitas TNI-Polri dan keluarganya, bukan berada di rumah kaca. Mereka itu hidup di alam demokrasi yang bebas, alat komunikasi yang relatif bebas kontrol, tidak  seperti di negara China yang dikontrol ketat.

TNI dan Polri adalah Tentara dan Polisi professional.  Polisi dengan motto "Presisi" yang disampaikan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, dan TNI dengan tekad  tegak lurus pada Presiden sebagai Panglima Tertinggi, yang disampaikan Jenderal Dudung Abdurachman KSAD TNI. 

Semua Doktrin TNI dan Polisi memang harus mendarah daging di kalangan TNI-Polri. Tetapi juga jangan terlalu jauh dari logika dan pikiran normatif yang berlaku di masyarakat. Doktrin itu akan menjadi kuat sebagai perekat, jika dengan nalar dan jiwa korsa yang dimiliki tidak terlalu jauh dari adanya anomali.

Kekuatan di TNI-Polri itu adalah kemampuan prajurit untuk mengikuti komandan sebagai figure pimpinan yang mereka akan ikuti, patuh bahkan jiwa korsa yang kokoh dalam setiap cuaca.

Kekhawatiran Presiden Jokowi terhadap TNI-Polri dan keluarganya, dengan berbagai isu yang beredar di WhatsApp, memang tidak mudah mengatasinya dalam kemajuan digital yang sangat cepat yang tidak seimbang dengan kesiapan mental. Sekali lagi, karena komunitas TNI-Polri dan keluarganya bukan berada di rumah kaca.

Bagaimana cara mengatasi hal yang dirisaukan Jokowi itu? 

Penegakan disiplin, mutlak diperlukan. Tapi itu tidak cukup. Yang paling penting dan efektif adalah kemampuan melihat realita dengan cita-cita NKRI berdiri yaitu untuk mewujudkan negara SEJAHTERA.

Pemimpin negara harus mampu menjelaskan jika masih adanya gap antara cita-cita Negara dengan realita, yang disebabkan oleh berbagai problem bangsa yang belum tuntas.

Pemerintah juga sebaiknya menjelaskan secara tuntas, siapa yang dimaksud penceramah radikal, terukur, jelas lokus dan fokusnya. Hal itu diperlukan, untuk mencegah adanya pihak-pihak yang menggunakan isu itu untuk menyerang lawan politik, kelompok kepentingan yang berbeda.

Di kalangan TNI-Polri dan keluarganya, jangan sampai gara-gara persoalan mengundang penceramah yang di cap radikal (?) dalam suatu perkumpulan pengajian/rohani,  ada Komandan Kodim, atau Komandan Korem, atau Kapolres yang dicopot dari jabatannya. Karena tidak mudah untuk menentukan siapa penceramah yang radikal itu. Oleh karena itu Biro Bimtal setiap satuan tugas TNI-Polri harus proaktif untuk mencarikan dan menyiapkan penceramah yang mampu memberikan siraman rohani yang menyejukkan.

Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid  mengurai beberapa indikator yang menandakan penceramah radikal.

Pertama, mengajarkan ajaran yang anti Pancasila dan pro ideologi khilafah transnasional.

Kedua, mengajarkan paham takfiri yang mengkafirkan pihak lain yang berbeda paham maupun berbeda agama.

Ketiga, menanamkan sikap anti pemimpin atau pemerintahan yang sah, dengan sikap membenci dan membangun ketidak percayaan (distrust) masyarakat terhadap pemerintahan maupun negara melalui propaganda fitnah, adu domba, hate speech, dan sebaran hoaks.

Keempat, memiliki sikap eksklusif terhadap lingkungan maupun perubahan serta intoleransi terhadap perbedaan maupun keragaman (pluralitas).

Kelima, biasanya memiliki pandangan anti budaya ataupun anti kearifan lokal keagamaan.

Jika kita cermati kelima indicator itu, 2 indikator ditujukan pada penceramah agama Islam ( indicator 1,2 ), selebihnya bersifat umum. Pertanyaannya karena terkait dengan umat Islam, untuk indikator 1 dan 2, sudahkah berkonsultasi dengan MUI? Mudah-mudahan sudah.

Disamping itu, kelima indikator itu, harus dibuat parameter yang terukur dengan referensi yang kredibel, dan berdasarkan pengamatan empiris yang sudah teruji secara ilmiah. 

Pekerjaan BNPT semakin rumit, karena Presiden Jokowi sendiri sudah mengatakan ada penceramah radikal yang masuk dalam komunitas keluarga TNI-Polri. Disarankan BNPT untuk masuk dalam  lingkungan TNI-Polri harus cermat dan bekerjasama dengan Biro atau Badan Bina Mental yang ada di satuan unit kerja TNI-Polri. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun