Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Masalah Program Organisasi Penggerak, Bagaimana Solusinya?

29 Juli 2020   01:05 Diperbarui: 29 Juli 2020   01:03 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Program Organisasi Penggerak (POP)  diluncurkan sebagai bagian dari kebijakan Merdeka Belajar Episode Keempat pada 10 Maret 2020. Program ini dirancang untuk mendorong terciptanya sekolah-sekolah penggerak dengan cara memberdayakan masyarakat melalui dukungan pemerintah.

Program ini (POP),  merupakan bagian dari gagasan Merdeka Belajar oleh Mas Nadiem Makariem Mendikbud, yang diluncurkan dalam suasana belum terjadinya musibah wabah Covid-19, melanda Indonesia sejak awal Maret 2020, dan sudah menelan korban meninggal bertambah setiap hari 50 -- 70 orang, dan kumulatif saat ini lebih dari 95.418 yang sudah terinfeksi, meninggal 4.665 orang, ( 4,59%)  dan sembuh  53.945 jiwa ( 56,54%).

Presiden Jokowi meminta agar semua anggota kabinet tidak lagi berpikir melaksanakan program-program sektor dalam keadaan normal. Oleh karena itu  Presiden sudah menerbitkan Keppres tentang Refocusing program sektor yang berorientasi pada penanganan Covid-19, dengan melaksanakan PSBB,  protokol kesehatan, dan pemberian bansos secara masif, untuk membantu masyarakat yang kehilangan pencaharian, sekolah ditutup, dan banyaknya pemutusan hubungan kerja.

Kata kunci yang disampaikan adalah bekerjalah para Menteri dengan hati yang memiliki sense of crisis sesuai dengan bidang sektor masing-masing. Tunda dulu program-program sektor walaupun sudah direncanakan dengan baik.

Tidaklah perlu Presiden harus menguliti lagi masing-masing menterinya, lalu disampaikan ke publik.  Cukuplah shock therapy 18 Juni 2020 sebagai pembuka mata bagi sektor yang belum refocusing  dimaksud.

Kita mencermati, POP yang diluncurkan saat ini, disamping persoalan waktu   yang tidak compatible  dengan  kebijakan Sense of Crisis,, juga menimbulkan gaduh di tengah masyarakat dan organisasi masyarakat.   Bayangkan 2 organisasi besar yang telah berpuluh tahun melaksanakan penggerakan pendidikan dan pengajaran (  NU dan Muhammadiyah)  sebelum Indonesia Merdeka, sudah mengembangkan semangat Merdeka Belajar, dan sumber pemuda pejuang dalam merebut Kemerdekaan seperti Panglima Perang Jenderal Soedirman, yang merupakan seorang Guru SD Muhammadiyah di Cilacap waktu itu.

Demikian juga para Kiyai NU di desa-desa mendidik rakyat dengan semangat merdeka mengaji dan belajar di ribuan pesantren, dan sebagai sumber pemuda pejuang untuk Kemerdekaan Indonesia. Ditinggalkan begitu saja oleh Mendikbud, dan ujung nya diikuti PGRI. Klop lah 3 organisasi besar mengundurkan diri (NU , Muhammadiyah dan PGRI), dari POP.

Cara berfikir sense of crisis, seolah tidak terlihat dalam benak pejabat Kemendikbud, mulai dari Direktur Jenderal (Dirjen) Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Iwan Syahril sampai dengan para Direkturnya. Mereka pakai kaca mata  kuda, melakukan seleksi dengan tema literasi, numerasi dan karakter, yang sebetulnya bukan barang baru. Istilah itu dulu sudah diajarkan nenek moyang kita untuk melek huruf ( baca, tulis), melek berhitung dan berbudi luhur, sebagai karakter bangsa. Itu sudah dilakukan NU dan Muhammadiyah sejak hampir seratus tahun yang lalu.

Sense of crisis tidak terlihat dalam POP, dengan terus dilaksanakan program itu dalam serangan Covid-19 yang mengancam para anak didik dan Guru.  Bagaimana program itu mau dilaksanakan, gurunya saja masih kalang kabut memikirkan dan mengatasi proses belajar mengajar yang  harus dilaksanakan secara virtual (on line system), sudah berlangsung berbulan-bulan.  Para  orang tua masih pusing memikirkan kelanjutan pendidikan anaknya yang harus berperan sebagai guru di rumah.

Sense of crisis juga tidak terlihat dalam kebijakan program, yang menetapkan 156 organisasi masyarakat mendapatkan bantuan APBN dari Pemerintah, dengan tiga kategori nomenklatur yang juga tidak terkesan mempunyai nilai pendidikan, yaitu kategori gajah, macan, dan Kuda. Disamping itu lolosnya 2 yayasan yang merupakan filantropi perusahaan raksasa  Tanoto dan Putera Sampoerna  mendapatkan hibah APBN kategori gajah.

Apa maknanya penyebutan nama binatang itu tidak ada penjelasannya. Yang pasti, gajah dapat dana pemerintah paling gede, macam setengah gede, dan kuda itu kelas kecil.

Setelah heboh penarikan diri NU, Muhammadiyah dan PGRI, Mas menteri Nadiem melakukan konferensi video pada Jumat 24 Juli 2020.  Mas Menteri mengaku bahwa POP dibuat agar ia bisa memetakan kebijakan apa yang paling efektif . "POP dilaksanakan dengan tujuan mencari bibit-bibit inovasi yang sudah dilakukan berbagai macam ormas digerakan pendidikan".

Katanya juga kerap mendapatkan laporan banyak organisasi masyarakat yang melakukan inovasi dalam pelatihan guru. Maka itu POP diharapkan dapat mengatasi  permasalahan tersebut.

Hakekatnya POP itu merupakan sebuah pelatihan bagi guru-guru dengan melibatkan organisasi masyarakat di bidang pendidikan. Untuk itu Kemendikbud akan  memberikan dana hibah kepada ormas dimaksud mulai kelas kuda, macam dan gajah.

Persoalan besar yang dapat menghambat POP

Persoalan pertama yang di cermati adalah penjelasan Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus, Praptono bahwa program ini berjalan dengan sistem seleksi yang ketat.

"Kategori organisasi kemasyarakatan yang dievaluasi adalah kategori gajah, macan, dan kijang. Setelah dilakukan penilaian secara profesional dan sesuai fakta di lapangan terhadap setiap kategori, akhirnya ditentukan organisasi kemasyarakatan yang dinilai tim independen telah siap bekerjasama dengan Kemendikbud," kata Praptono.

Proses evaluasi proposal terdiri atas evaluasi administrasi yang dilakukan tim verifikasi administrasi Kemendikbud, dilanjutkan dengan evaluasi teknis substantif, evaluasi pembiayaan, dan verifikasi yang dilakukan tim independen.

"Setelah melalui keseluruhan proses evaluasi yang sesuai prosedur dan aturan yang berlaku, 183 proposal dari 156 organisasi kemasyarakatan dinyatakan memenuhi kriteria untuk melaksanakan program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan menggunakan dana bantuan pemerintah," terang perwakilan tim evaluasi proposal SMERU, Akhmadi.

Terkait terlaksananya seluruh proses evaluasi, Akhmadi juga menyampaikan bahwa dalam proses evaluasi proposal, diberlakukan mekanisme double blind review, di mana identitas organisasi kemasyarakatan dan identitas evaluator saling terjaga dari satu sama lain.

Apakah tepat menggunakan cara double blind review, untuk lembaga-lembaga pendidikan yang sangat bervariatif dari aspek pengalaman, kompetensi, filosofi pendidikan yang diterapkan, sejarah perjalanan menyelenggarakan pendidikan, kontribusinya bagi masyarakat secara luas.

Tidak dijelaskan proses penunjukan SMERU sebagai lembaga independen, apakah penunjukkan langsung atau proses lelang.  Apakah SMERU punya pengalaman panjang dalam melakukan analisis proposal lembaga yang akan melaksanakan pelatihan Guru. Kita belum mendengar itu. Memang SMERU banyak dipakai oleh Bappenas dan lembaga -- lembaga internasional terkait dengan persoalan kemiskinan dan kesejahteraan.  Kita khawatir akan terulang lagi persoalan yang dihadapi program Kartu Pra Kerja.

Terlalu spekulatif, menunjuk SMERU terkait dengan pemilahan dan pemilihan lembaga pendidikan organisasi masyarakat. Bagi SMERU tidak ada beban, selesai seleksi habis kontrak. Tetapi implikasi risiko terhadap proses penyelenggaraan POP itu, menjadi tanggung jawab pemerintah. Dikhawatirkan Kemendikbud, tidak memikirkannya terlalu jauh, jika Merdeka Belajar menjadi proses inovasi yang "liar" tanpa norma, etika, bahkan siapa yang dapat menjamin tidak melenceng dari filosofi pendidikan Pancasila.

Kita  mencermati, bahwa proses awal seleksi administrasi dilakukan oleh pejabat Kemendikbud. Disini saja sudah terlihat titik lemah proses seleksinya yang di klaim independen.   Itu yang dirasakan NU dengan bolak balik proposal yang harus diajukan pihak LP Ma'arif PBNU.

Persoalan kedua, jika tim penilai bersifat independen, kenapa Yayasan yang berafiliasi perusahaan konglomerat, diloloskan mendapatkan hibah dari APBN. Sedangkan semangat Yayasan Bhakti Tanoto dan Yayasan Putera Sampoerna, yang didirikan oleh pemilik perusahaan Sukanto Tanoto dan Michelle Sampoerna adalah kegiatan filantropi, membantu kelompok masyarakat yang tidak mampu   dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Kedua perusahaan ini, hakekatnya sudah banyak merugikan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Siapa yang tidak pernah dengar PT.Indorayon Utama di Sumatera Utara (milik Tanoto)  sejak tahun 1989, dengan jejak kerusuhan karena pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat, dan vertikal dengan aparat keamanan. Pabrik rokok Sampoerna, berapa banyak meraup keuntungan dari rokok yang meracuni paru-paru anak bangsa yang suka merokok sampai hari ini.

Apakah karena double blind review, mereka lolos dan dapat bantuan hibah dari APBN kelas  gajah?. Bayangkan nilai asset perusahaan Sukanto Tanoto itu saja , 2,3 miliar dollar, dan Putera Sampoerna 1,8 miliar dollar. Apakah karena double blind, tidak dapat membaca angka milyaran dollar itu, dan puluhan miliar rupiah sudah disisihkan untuk yayasan filantropinya. Apakah merek butuh dana hibah pemerintah?.

Apalah artinya uang 20 miliar rupiah ( bukan dollar)  bagi mereka yang diperebutkan di kalangan 156 ormas. Jangan-jangan ada pihak lain yang mengincar duit itu, dengan menggunakan nama raksasa Yayasan Tanoto dan Putera Sampoerna.  Keluarga Tanoto dan Putera Sampoerna harus menjelaskan kepada publik  secara langsung.

Persoalan ketiga, adalah para birokrasi di Kemendikbud sebagai penjaga gawang kementerian, lupa sejarah. Lupa atas jasa-jasa dan kerja keras dan semangat yang dibangun oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang terdahulu. Mereka itu silih berganti antara yang berakarkan Ormas NU dan Ormas Muhammadiyah.

Kalau Mas Menteri, ya maklum kalau tidak mengetahui sejarah itu. Disamping banyak belajar di luar negeri, juga selama ini tidak berkecimpung di pendidikan.  Beliau sukses sebagai pengusaha dengan memanfaatkan kemajuan dunia digital.

Kemarahan masyarakat lebih tepat ditujukan pada birokrat di Kemendikbud, yang tidak mempunyai sense of crisis dan sensitifitas  mencermati kehidupan masyarakat, yang sedang tensi tinggi dalam suasana wabah Covid-19.

Sangat tepat lah jika Mas Nadiem menangkap sinyal itu, ganti pejabat strukturalnya mulai dari Dirjennya sampai para Direktur yang terkait. Evaluasi semua skenario implementasi kebijakan yang dilakukan mereka, apakah ada yang menyimpang dari substansi strategis yang diinginkan Mas Menteri.

Persoalan keempat adalah persoalan momentum diluncurkan tahap keempat Merdeka Belajar dalam suasana Covid-19 yang masih mencekam. Ekonomi semakin menurun tajam.   Apakah tidak lebih baik dana hibah yang hampir 600 miliar rupiah digunakan untuk memberikan kemudahan kepada anak didik terutama SD dan SMP  untuk mendapatkan proses belajar dan mengajar secara virtual lebih merata sampai ke pelosok tanah air?.

Saran dan rekomendasi

Jika pihak kementerian menginginkan POP tetap harus berjalan saat ini juga, dan dapat meredam hiruk pikuk di masyarakat,  maka jika Mas Menteri berkenan, ada beberapa saran dan rekomendasi yang mungkin bermanfaat dan dapat menjadi solusi.

  1. Ganti Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan, dan Direktur terkait dengan yang punya kompetensi dan pengalaman luas di dunia pendidikan, agar proses perbaikan tidak mengalami hambatan.
  2. Akhiri penunjukan SMERU sebagai Tim Independen, dan bentuk Tim Independen baru yang  bersifat konsorsium, terdiri dari Lembaga Pendidikan Ma'arif PB NU, Lembaga Pendidikan Muhammadiyah, PGRI, dan lembaga pendidikan Taman Siswa. Keempat lembaga pendidikan itu sudah punya sejarah panjang dalam bidang pendidikan. Tidak perlu diragukan, dan tidak perlu menjadi obyek POP.
  1. Konsorsium sebagai mitra Kemendikbud, bertugas melakukan verifikasi ulang atas seluruh POP yang telah diseleksi. Jika perlu dilakukan subsitusi sesuai kebutuhan yang ditetapkan bersama kemendikbud dan konsorsium.
  2. NU dan Muhammadiyah, PGRI, dan Taman Siswa disamping sebagai tim verifikasi, juga menyiapkan lembaga pendidikan terbaiknya sebagai model dan percontohan dalam POP.
  3. Yayasan Bhakti Tanoto dan Yayasan Putera Sampoerna, dikeluarkan dari daftar peserta POP, terkait dengan perusahaan mereka bermasalah dengan lingkungan hidup dan produksi rokok yang dapat merusak kesehatan  anak didik sehingga kurang tepat jika terlibat  dalam POP.

Semoga 5 butir saran dan rekomendasi dapat menjadi dasar pertimbangan bagi Mas Menteri yang  berjanji akan melakukan evaluasi programnya selama sebulan kedepan dengan melibatkan pihak eksternal.

Artikel ini juga tayang di laman jurnalsocialsecurity.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun