Faskes yang melaksanakan pelayanan Rapid Test, tidak bisa disalahkan begitu saja. Mungkin karena tidak disediakannya anggaran untuk melayani masyarakat yang membutuhkan pemeriksaan Rapid Test dan jika non reaktif dapat terbang dengan menunjukkan surat keterangan  dari faskes tersebut.
Demikian juga halnya  dalam memberikan informasi masa berlaku juga tidak konsisten. Semula 3 hari sekarang diperlonggar menjadi 14 hari, aturan protokol kesehatan menurut WHO bagaimana?. Pada hal saat ini virus corona sedang menanjak kurva inang yang terinfeksi. Perlu ada klarifikasi soal ini oleh Gugas Covid-19 Pusat.
Masyarakat akan berpikir keras, kok bisa berubah dari 3 hari menjadi 14 hari?. Apa ada kaitannya dengan masa inkubasi virus corona itu yang 14 hari?. Lantas kenapa awalnya hanya 3 hari?. Hal-hal seperti ini juga masih minim dijelaskan kepada masyarakat. Dan yang juga sering dipertanyakan adalah sejauh mana tingkat efektifitas Rapid Test itu, dan sudah berapa dana yang dikeluarkan pemerintah dan sudah berapa juga dana masyarakat tersedot?.
Persoalan berpotensi terjadinya  moral hazard pelayanan Rapid Test Covid-19 yang menjadi persyaratan dalam melakukan pelayanan publik,  tidak ada kaitannya dengan kesehatan  perlu segera dicegah dan secepatnya diatasi oleh stakeholder terkait. Jika tidak maka bukan saja moral hazard bahkan dapat menjurus kepada fraud.
Pemerintah terbitkan Surat Edaran
Seakan pemerintah  mendengarkan keluhan masyarakat tentang kebijakan melakukan Rapid Test untuk melakukan bepergian antar propinsi, sehingga harus membayar sejumlah tertentu biaya tanpa kepastian tarif yang resmi, dan diantaranya sudah diutarakan diatas, keluar Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor: HK.02.02/I/2875/2020 Tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi, yag dikeluarkan pada 6 Juli 2020.
Pertimbangannya cukup jelas, karena adanya kebingungan di masyarakat atas pengenaan tarif yang dilakukan oleh Fasilitas kesehatan. Poin pentingnya, bagi masyarakat yang ingin melakukan Rapid Test atas permintaan sendiri, tarif batas atas yang diperkenankan adalah Rp. 150.000.0 sekali Rapid Test. Tidak dijelaskan dasar perhitungannya, dan apakah dengan tarif sebesar itu sudah ada subsidi pemerintah.
Dari sisi kepentingan  masyarakat untuk mendapatkan kepastian tarif Rapid Test, Surat Edaran itu diperlukan, dan dibutuhkan.  Soal apakah efektif atau tidak, kembali ke masyarakat untuk melakukan kontrol dan komplain kepada faskes yang bersangkutan.
Tetapi ada persoalan yang mendasar. Kita simak dasar pertimbangan Surat Edaran itu adalah regulasi yang berkaitan dengan suasana kedaruratan kesehatan masyarakat. Rujukannya UU Kes. No. 36/2009, UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, PP 21/2020 tentang PSBB, Keppres No.11/2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Keppres No.12 tentang Penetapan Bencana Non Alam, dan Kepmenkes No, HK.01.07/MENKES/247/2020, tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19.
Belum ada satupun regulasi diatas yang dicabut. Maknanya adalah saat ini kita masih dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat.
Secara bertahap pemerintah melakukan pelonggaran di sektor transportasi dengan berbagai pertimbangan antara lain tentu ekonomi sebagaimana diutarakan diatas.  Kebijakan itu, mewajibkan  masyarakat melakukan Rapid Test tetapi tidak dibiayai pemerintah. Jika tidak, maka tidak bisa bepergian.