Sejak diumumkan adanya kasus terinfeksi Covid-19 oleh Presiden Jokowi awal Maret 2020 yang lalu, persoalan wabah itu menjadi trending topic dan mencuatkan persilangan pendapat antara Menkes Terawan dengan Gubernur DKI Jakarta.Â
Perbedaan yang tajam dari sudut pandang penyebaran virus itu yang sangat cepat dan mematikan, di mana Jakarta sebagai epicentrumnya.
Kekhawatiran itu diungkapkan Gubernur DKI Jakarta. Sementara, Menkes Terawan masih melihat "Belanda masih jauh" tidak perlu panik dan rakyat tenang saja. Mereka yang terinfeksi akan sembuh sendiri.
Ibarat membuka kotak pandora, sejak diumumkan 2 orang terinfeksi di Depok itu oleh Presiden, virus menjadi seperti bola liar di lapangan bola yang dikejar-kejar para pemain bola (baca pemburu berita) dan masuk ILC berulang kali dengan tematis sedikit berbeda.
Menkes Terawan menjadi mati angin. Ibarat orang sakit gigi, tidak banyak lagi merespon pertanyaan wartawan. Dia menyerahkan perkembangan informasinya kepada Dirjen P2P (saat itu masih Sesditjen) Kemenkes Achmad Yurianto sebagai Jubir pemerintah terkait Covid-19.
Pemerintah melakukan konsolidasi untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam suasana galau, apalagi ada menterinya terkena Covid-19. Intinya Presiden Jokowi tidak ingin karantina wilayah (lockdown), tetapi memilih melaksanakan program social distancing dan dilanjutkan dengan physical distancing.
Ujung dari itu semua pemerintah menerbitkan paket kebijakan bertubi-tubi (istilah saya banjir regulasi), Keppres 7/2020, PP 21/2020, Keppres 11/2020, Perppu 1/2020, dan Keppres 12/2020, dan Inpres 4/2020, (refocusing program dan kegiatan APBN/APBD). dilanjutkan keluarnya Permenkes 9/2020 terkait Pedoman PSBB.
Skema perlindungan sosial yang sudah ada dialokasikan dalam APBN dijadikan bantalan social safety net atau social assistance, yang ada di sektor kementerian. Pemerintah mengalokasikan Rp110 triliun, yang berarti ada peningkatan dari yang tercantum dalam RKP 2020.
Inti kebijakan pemerintah itu adalah mempercepat peluncuran PKH (Program Keluarga Harapan) dengan peningkatan satuan biaya, mempercepat peluncuran Bantuan Pangan Non Tunai dan peningkatan cakupannya, meluncurkan program bansos tunai (dulu namanya BLT), mempercepat peluncuran Kartu Pra Kerja, dan yang paket baru (tidak direncanakan sebelumnya) adalah pembebasan tarif listrik 450 VA, dan subsidi sampai 50% tarif listrik 900 VA.
Bahkan saat ini secara khusus Kemensos meluncurkan bansos sembako (bantuan Presiden?) untuk mereka yang terdampak Covid-19 dan kehilangan pekerjaan di wilayah DKI, dalam bentuk sembako (beras, minyak goreng, gula, dll), senilai tertentu.
Ternyata dalam pelaksanaan tidaklah mudah. Bagaimana memilah mereka yang sudah dapat PKH tidak dapat bansos lainnya. Bagaimana yang sudah dapat BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) tidak dapat bansos lainnya.
Bagaimana kemudian mereka yang baru terdampak sehingga kehilangan pekerjaan, artinya tidak mempunyai penghasilan (pekerja sektor informal, pekerja harian dan lainnya), mendapat skema BLT atau Kartu Pra Kerja.
Jika untuk orang miskin tumpang tindih bantuan tidak ada masalah, jika uangnya cukup. Yang jadi persoalan, jika salah sasaran, dan ada yang seharusnya dapat, tidak dapat, dan sebaliknya yang seharusnya tidak dapat, justru mendapatkan bantuan berlipat-lipat.
Dosa dunia akhirat akan dipikul oleh mereka yang memberikan dan mereka yang menerima bantuan, apa lagi mengakibatkan ada korban orang miskin yang tidak dapat satu jenis bantuan apapun.
Sesuatu yang diawali dengan niat baik, ditujukan dan diperuntukkan yang baik, dan kepada mereka yang membutuhkan, tetapi tidak dikelola dengan baik, tidak dikontrol dengan benar, dapat dikalahkan oleh mereka yang berniat jahat, untuk tujuan yang jahat, tetapi di kemas, ditata, dan dikelola dengan baik.
Dengan dasar pertimbangan tersebut diatas, menjadi penting dan hal yang mutlak dilakukan agar program bansos harus dikelola dengan baik, profesional, data basis yang akurat, dengan latar belakang niat yang baik tentunya, dan sistem pengawasan yang ketat.
Dalam suasana wabah saat ini dan menurut perhitungan Presiden Jokowi akan berakhir pada akhir tahun ini, memberikan isyarat kepada para menteri terkait harus memfokuskan pekerjaan pada upaya penyelamatan kehidupan manusia melalui ketersediaan kebutuhan dasar kehidupan yang mencakup kebutuhan sehari-hari, kesehatan, sehingga kualitas hidup manusia tidak semakin menurun dengan melandanya wabah Covid-19.
Soal pertumbuhan ekonomi, akan dapat segera kita bangun bersama-sama jika wabah berakhir dan kualitas hidup manusia terjaga sebagai potensi untuk membangun kembali ekonomi.
Bantuan Sosial yang Terintegrasi
Sejak sebulan ini, dalam pikiran saya sudah menggelitik untuk menyampaikan kepada pemerintah, bahwa dalam serangan wabah Covid-19 yang sudah pandemi, dan menghajar seluruh dunia, sudah saatnya mengubah dan mereposisi skema perlindungan sosial dalam program bansos, yang saat ini bermacam-macam segmen itu.Â
Jika dalam kondisi normal, skema seperti itu memang diperlukan dan bagian dari Social Welfare Policy, yang dituangkan dalam RPJM dan RKP sektor Sosial.
Tahap pertama, adalah penyatuan data bagi mereka yang terdampak. Yaitu orang miskin dan tidak mampu, serta mereka yang masuk dalam garis kemiskinan karena dampak terjangkitnya wabah Covid-19. yaitu mereka pekerja harian, pedagang kaki lima, pengusaha kecil yang tutup karena kebijakan pemerintah melakukan PSBB, dan kena PHK karena perusahaannya tutup, dan lain sebagainya.
Sumber data dapat dari Data Terpadu Kessos, jaringan aplikasi Grab dan Gojek, dan laporan terkini pada level kelurahan dan desa, sebagai cross check data, dan verifikasi/ validasi data. Seperti PKH datanya lengkap dan sudah tervalidasi, data penerima BPNT juga sudah terverifikasi, juga data dari BPJS Kesehatan penerima PBI.
Sumber data itu diintegrasikan, divalidasi, verifikasi, dan kemudian menjadi data tunggal untuk mereka yang mendapatkan bantuan, sambil dibuka peluang untuk koreksi jika ada data yang perlu diperbaiki sesuai masukan masyarakat.
Ada 6 lembaga yang harus melakukan koordinasi dan konsolidasi yaitu Kemensos, Kemendagri, Kemenaker, Meneg BUMN, BPS, dan Kepala Daerah. Saya yakin ini sudah dilakukan, tinggal mungkin reformulasi kebijakan implementasinya saja.
Tahap kedua adalah model bantuan itu, dibagi atas 3 kelompok besar saja, yaitu:
- Cash transfer
- In-kind transfer
- Keringanan Jasa kebutuhan utama (listrik dan energi).
Cash transfer atau bantuan tunai secara transfer dilakukan dengan menggabungkan (blended) semua skema program yang sifatnya pemberian uang (seperti PKH, BLT, Kartu Pra kerja), sehingga dengan dana yang besar dan cakupan yang besar pula, menghindari tumpang tindih bantuan, dan mencegah terjadinya diskriminasi penyaluran dilapangan.Â
Petugas juga dilapangan tidak sulit dalam menyalurkan bantuannya dan mekanisme kontrolnya juga dapat lebih mudah.
In-kind transfer, kita sudah punya pengalaman menyalurkan Raskin. Dengan berbagai kelemahannya diperbaiki, dan keunggulannya diambil, dengan memberikan kembali tanggung jawab penuh kepada Bulog.
Tidak perlu ada lagi vendor-vendor lain yang terlibat karena menimbulkan high cost. Bulog yang dipimpin oleh Komjen Pol (Pur) Budi Waseso, cukup disegani, dan dapat menyediakan kebutuhan beras, gula, minyak goreng, tidak usah dengan telur gampang rusah, dan tidak tahan lama.
Sayuran dan keperluan kecil lainnya, biarlah mereka beli di warung terdekat dari uang yang diberikan pemerintah. Program ini jumlah uangnya sangat besar Rp43,6 triliun, melampaui program Kartu Pra Kerja 20 triliun, dan PKH 37,4 triliun.
Keringanan jasa kebutuhan utama (listrik dan energi), untuk listrik sudah bagus skemanya, sasarannya juga dicocokkan dengan penerima bantuan sosial lainnya. Untuk energi, keringanan beli BBM bagi GoJek, hanya untuk 10 ribu driver per hari dan mendapatkan potongan 50%.
Kebijakan ini sangat diskriminatif, terkesan hanya pencitraan, apalagi yang mengumumkan Komut Pertamina (bukan ranah job-nya). Kenapa hanya driver ojek online, lalu bagaimana dengan ojek pangkalan? Dan hanya 10 ribu driver dari jutaan driver ojol, apa tidak menimbulkan perebutan di antara mereka?
Program Pertamina ini tidak jelas ke mana arahnya. Oleh karena itu Menteri BUMN perlu melakukan klarifikasi untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Terkait Bansos terintegrasi ini, Ombudsman sudah memberikan masukannya yang dikutip oleh media cetak harian nasional hari ini (18 April 2020). Komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Saragih mengatakan bahwa program bansos yang sudah diluncurkan terlalu banyak jenisnya dan tidak kompatibel dengan protokol pembatasan sosial berskala besar.
Alamsyah mengatakan pada saat PSBB berlaku masyarakat penerima bansos tidak lagi bisa melakukan kegiatan untuk mencari penghasilan. Namun pemerintah kata dia malah meluncurkan program Kartu Pra Kerja yang seharusnya diberikan kepada calon pekerja sebelum menapaki karier.
Sebaiknya dihentikan dan diubah menjadi cash transfer. Untuk kebutuhan dasar. Demikian juga PKH, Kartu Sembako, dan BLT, Alamsyah mengusulkan agar aneka skema bansos itu dilebur dengan fokus pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
Persoalan Kartu Pra Kerja, memang saat ini sedang dalam pembicaraan yang hangat di masyarakat. Total biaya APBN 2020 yang dianggarkan sebesar Rp20 triliun untuk 5,6 juta calon pekerja.
Bagaimana perinciannya, untuk insentif pencari kerja 5,6 juta orang mendapatkan Rp 2,4 juta selama 4 bulan. Totalnya Rp13,44 triliun. Artinya sebesar 67% diberikan kepada penerima manfaat, dan 33% digunakan diluar kepentingan manfaat langsung penerima manfaat.
Kita uraikan kemana saja yang 33% itu. Sebanyak Rp5,6 triliun untuk biaya pelatihan. Apakah sudah dilatih ada jaminan dapat kerja? Sulit dijawab dalam suasana perusahaan yang banyak gulung tikar saat ini.Â
Hebatnya ada biaya survei sebanyak 3 kali @Rp. 50.000.- dikalikan sejumlah penerima manfaat 5,6 juta, muncul angka Rp. 840 miliar. Itu duit loh bukan sekadar angka saja.
Idealnya safe guarding itu tidak lebih 5%. angka 33% sangatlah keterlaluan, apa lagi dibungkus dengan survei dan segala macam pelatihan. Siapa yang menyelenggarakan pelatihannya, apakah ada proses lelang, itu persoalan tersendiri membahasnya.
Jika keseluruhan dana digunakan untuk penerima manfaat dengan plafon tetap Rp2,4 juta, maka akan mengcover 8,33 juta calon penerima manfaat (mereka yang kena PHK dan yang sedang cari kerjaan).
Hal-hal yang diutarakan di atas, sudah menjadi pengetahuan umum dan diketahui masyarakat luas. Sudah saatnya pemerintah untuk membuka diri dan menerima masukan dari masyarakat.
Saya yakin Menteri Sosial Juliari P Batubara, politisi PDIP yang tentunya diperhitungkan Presiden Jokowi, dengan gayanya yang kalem, tenang, dapat meyakinkan Presiden Jokowi untuk mengoptimalkan program Perlindungan Sosial yang efektif, efisien, dengan model bantuan sosial yang terintegrasi.Â
Semoga berhasil pak Menteri. Mauliate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H