Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kenaikan Iuran JKN, antara "Ability to Pay" dan Tunggakan

30 Agustus 2019   00:38 Diperbarui: 30 Agustus 2019   06:45 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES

Persoalan kategori kelas rawat inap, dikaitkan dengan besaran iuran yang angkanya berbeda tajam (melebar), bisa menjadi persoalan dan titik rawan dalam pelayanan rawat inap di FKTL.

Bayangkan jika seseorang PBPU mengambil tarif iuran kelas I sebesar Rp. 160 ribu/POPB, pada saat membutuhkan pelayanan rawat inap, apakah pihak RS dapat memastikan menyediakan kelas I?

Jika karena yang ada kelas II, berarti ada selisih biaya Rp 40 ribu. Apakah BPJS Kesehatan mau membayar tidak nyamannya peserta kelas I yang di-over kelas II, tentu menjadi persoalan yang tersendiri.

Detailnya, apakah pihak BPJS Kesehatan sudah dapat menyinkronkan jumlah seat peserta yang membayar untuk kelas I, II, dan III, sesuai  dengan seat kamar yang tersedia di RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.  

Jika pemerintah (Kemenkes), tegas membuat aturan bahwa yang dimaksud kelas standar untuk peserta BPJS Kesehatan, hanya satu jenis kelas untuk PBI dan non PBI, dengan kriteria antara lain ukuran luas ruangan, jumlah tempat tidur setiap kelas (kamar),  dan standar nonmedis lainnya, pasti RS akan ikut menyesuaikan.

Jika tidak, RS akan kehilangan banyak pasien yang ke rumah sakit.

Ada kasus menarik di Medan, satu RS besar yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, melakukan pelanggaran kerja sama yang berulang, akhirnya kerjasama diputus. Dan apa akibatnya? Operasional RS tersebut tutup. Sering saya melintas di depan RS tersebut masih tetap tutup.

Kita masih ingat yang berlangsung sekarang ini, bahwa lembaga kementerian dan Pemda, dibenarkan menggunakan anggaran APBN/APBD untuk menyelenggarakan rapat-rapat di hotel luar kota maupun dalam kota dengan pola half day.

Jadi hotel-hotel dibutuhkan ruang rapat kecil dan sedang untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Apa yang terjadi, banyak sekali hotel-hotel di Jakarta, Bogor, Bekasi, Depok yang meng-upgrade hotelnya dengan memperbanyak  ruang rapat sedang dan kecil, bahkan dengan mengorbankan merombak kamar-kamarnya menjadi ruang rapat. Mereka cepat menyesuaikan untuk memperoleh income.

Hal tersebut akan terjadi pada RS-RS yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Jika adanya kepastian perbaikan sistem pembayaran klaim dengan satuan biaya yang wajar, untuk menambah kamar-kamar standar bahkan juga merombak  kelas kamar I, II, III  menjadi kelas standar.

Dengan demikian di RS akan ada penyesuaian yaitu tetap ada rawat inap kelas I, II, dan III untuk pasien umum, kelas standar untuk pasien JKN, dan VIP untuk mereka yang ingin pelayanan private.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun