Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kenaikan Iuran JKN, antara "Ability to Pay" dan Tunggakan

30 Agustus 2019   00:38 Diperbarui: 30 Agustus 2019   06:45 898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES

Sudah dapat diduga, hasil rapat kerja dengan DPR tersebut, menimbulkan "kegaduhan" dan pertanyaan di masyarakat. Saya betubi-tubi menerima WA dari teman-teman, kelompok masyarakat, dan lapisan masyarakat yang mengenal saya pernah sebagai Ketua DJSN.

Pertanyaan macam-macam. Ada yang menanyakan berita tersebut benar atau hoax.

Apa dijamin layanan lebih baik? Bagaimana caranya ngitung Bu SMI maupun DJSN? Apa sudah diperhitungkan kemampuan masyarakat? Tetapi ada yang mendukung sepanjang ada peningkatan pelayanan. Dan banyak lagi. Yang intinya menunjukkan kegelisahan masyarakat, di tengah hiruk pikuknya soal pindah ibu kota dan konflik Papua.

Bagaimana sebenarnya perintah Undang-Undang SJSN dan BPJS?
Terkait iuran perintah undang-undang SJSN sudah cukup jelas, tidak ada penafsiran lain. Di penjelasan juga disebutkan cukup jelas. Rumusannya sederhana yaitu peserta itu wajib mengiur.

Jika tidak mengiur termasuk menunggak iuran, haknya sebagai peserta gugur, walaupun pencatatannya sebagai peserta yang sudah teregister tidak gugur.  Sebab undang-undang tidak membolehkan ada pendaftaran ulang (single identity numbers), sekali seumur hidup.

 Status peserta itu hanya ada dua yaitu aktif dan nonaktif. Jika nonaktif karena menunggak, konsekuensinya tidak mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana hak peserta, dan dapat diaktifkan kembali jika sudah membayar iuran, dan mendapatkan haknya kembali. Tentu dengan berbagai konsekuensi yang bersifat punishment  yang diatur oleh BPJS kesehatan.

Besaran iuran itu, harus seimbang (tidak boleh berlebihan dan tidak boleh kurang), dengan manfaat yang diperoleh peserta. Berapa besaran hitungan manfaat sudah ada sistemnya baik prospektif payment (FKTL), dan kapitasi (FKTP).

Tentu besaran biaya manfaat tersebut juga proporsional dengan iuran yang ditarik BPJS Kesehatan, tidak boleh ada yang dikalahkan. Itulah istilah manajemen kendali biaya dan kendali mutu.

Besaran iuran itu juga, dikaitkan dengan perintah UU SJSN, yang menyatakan, "Hai, peserta BPJS Kesehatan, jika Anda sakit dan memerlukan rawat inap maka hak Anda adalah di kelas standar, dengan pelayanan medis yang sama untuk semua peserta."

Ternyata sampai detik ini, pemerintah belum mampu merumuskan kriteria dan batasan kelas standar tersebut. Akibatnya karena sudah "malas mikir" dalam Perpres JKN, tidak ada kriterianya,. Hanya menyebutkan peserta JKN itu dapat dilayani di kelas I, II, dan III. dan besaran iuran pun juga dihitung berdasarkan ketiga kategori kelas (standar tersebut).

Siapa yang bertanggung jawab merumuskan kriteria rawat inap kelas standar? Jawabannya sudah jelas dan terang yaitu Kementerian Kesehatan. Kita tidak tahu persis apa alasan Bu Menkes belum juga merumuskan  kriteria kelas standar dimaksud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun