Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kartu Janji dan Doa Para Paslon

30 Maret 2019   01:43 Diperbarui: 30 Maret 2019   01:48 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah harus menjelaskan secara terbuka soal data orang miskin yang sebenarnya. Apakah yang dimaksudkan dengan orang miskin itu hanya pada satu kategori saja.

TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan), yang sudah dibubarkan Presiden Jokowi, pernah menerbitkan segmentasi kemiskinan atas 3 kategori yaitu lapisan kemiskinan yang paling bawah, disebut sangat miskin, lapis berikutnya miskin, dan lapis ketiga  mendekati kemiskinan (rentan miskin).  Intervensi program untuk ketiga lapis kemiskinan tersebut tentu ada yang sama dan ada yang berbeda.

Program PKH idealnya untuk mereka yang kategori sangat miskin (kemiskinan kronis). Program KKS dan KIP, untuk mereka yang masuk kategori sangat miskin dan miskin, dan program JKN untuk mereka yang sangat miskin, miskin dan mendekati miskin. Dalam bahasa UU SJSN, penerima JKN disebut PBI yaitu Penerima Bantuan Iuran, yang diberikan kepada orang miskin dan tidak mampu.

Maka itu jangan heran jumlah penerima PBI sangat besar yaitu 96,8 juta jiwa karena termasuk didalamnya bukan saja miskin tetapi tidak mampu ( dasar hitungannya ada di BPS dan Kemensos).

Sebenarnya sudah ada UU yang mengatur tentang kemiskinan yaitu UU Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Dalam UU tersebut, mandat untuk melaksanakan/implementasi UU adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Jika semua sektor patuh dan taat pada UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, tentu tidak akan terjadi dispute  terkait data kemiskinannya.

Apakah lebih penting menerbitkan jenis-jenis kartu program bansos, dari pada menyelesaikan data yang akurat dan terpadu, definitif, sesuai amanat UU yang sudah ada.

Pertanyaan tersebut perlu dijawab, jika tidak, dianggap Bapak Jokowi hanya senang bermain dengan kartu, dari pada memastikan efektifnya bantuan, tepatnya sasaran bantuan, dan bahkan terbuka kemungkinan penyimpangan pemberian bantuan sosial.

kartu "janji" yang belum sakti

Saya mengutip berita dari TEMPO.CO, Pontianak - Calon presiden inkumben Joko Widodo kembali menjelaskan soal tiga 'kartu sakti' andalannya saat berkampanye di Qubu Resort, Pontianak, Kalimantan Barat pada Rabu, 27 Maret 2019. "_Tiga kartu ini baru keluar tahun depan, karena akan dianggarkan dulu tahun ini,_" ujar Jokowi saat berorasi di Qubu Resort, Pontianak, Kalimantan Barat pada Rabu, 27 Maret 2019.

Saya kaget juga membaca berita tersebut. Sebab dari 3 kartu sakti "baru janji" tersebut, ada satu jenis program yang bisa langsung dieksekusi oleh Presiden. Yaitu Kartu Indonesia Pintar Kuliah. Substansi KIP Kuliah dalam APBN 2019 disebut 'perluasan program beasiswa afirmasi/bidik misi' untuk 471 ribu mahasiswa miskin. Program ini sudah ada sejak tahun 2015, jumlah penerimanya bertambah setiap tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun