Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Akreditasi Faskes dan Pelayanan JKN

12 Maret 2019   00:38 Diperbarui: 12 Maret 2019   00:45 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan akreditasi RS dan faskes primer, merupakan berita hangat di awal tahun baru 2019. Pangkal persoalannya adalah surat Menteri Kesehatan Nomor:HK.03.01/Menkes/768/2018 tanggal 31 Desember 2018  perihal: Perpanjangan Kerjasama Rumah Sakit dengan BPJS Kesehatan.

Inti surat tersebut BPJS Kesehatan tidak dapat melanjutkan kerja sama dengan RS yang belum memiliki sertifikat akreditasi.  Jadi untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, faskes primer (FKTP)  maupun faskes tingkat lanjut (FKTL), harus bersertifikasi akreditasi.

Dasar hukum persyaratan akreditasi, tertuang dalam Permenkes Nomor, 46 Tahun 2015 tentang Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, tempat praktek mandiri dokter, dan tempat praktik mandiri dokter gigi.  Dan Permenkes Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit.

Dimana kaitannya dengan BPJS Kesehatan. Menkes menginginkan agar BPJS Kesehatan dalam bekerjasama dengan faskes harus memperhatikan persyaratan akreditasi dan persyaratan lainnya.

Hal tersebut tertuang dalam Permenkes Nomor 99  Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013  Tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.  Keharusan memenuhi syarat dimaksud, diperkuat lagi dalam Perpres 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan.

Jadi surat Menkes  diawal tulisan ini, merupakan upaya untuk mengingatkan Direksi BPJS Kesehatan, dalam melanjutkan kerjasama dengan FKTP dan FKTL, harus memperhatikan Permenkes terkait yang telah diterbitkan.

Dugaan saya  pihak BPJS Kesehatan khawatir dikatakan membangkang atas kebijakan Kemenkes,  maka  per 1 Januari 2019, faskes yang tidak dapat menunjukkan sertifikat akreditasi tidak diteruskan kerjasamanya.

Ternyata ada puluhan RS yang korban dan  menjadi berita heboh di media sosial dan media mainstream. Sudah dapat diduga, yang jadi sasaran "tembak" tentu BPJS Kesehatan, sebagai pihak  yang memutuskan kerjasama. Berita digoreng dan di _framing_ bahwa pemutusan kontrak kerjasama   karena BPJS Kesehatan sedang defisit.

Rupanya karena isyu dan keresahan pemutusan kerjasama faskes sudah menggelinding bagai bola salju, lambat atau cepat akan menghantam Kemenkes juga, maka Menkes mengeluarkan surat nomor: HK.03.01/Menkes/18/2019, Hal,Perpanjangan Kerja Sama Rumah Sakit dengan BPJS,  sebagai respons atas Surat Dirut BPJS Kesehatasn Nomor: 063/III/2019 tanggal 3 Januari 2019, hal; Rumah Sakit  Belum Terakreditasi.

Surat Menkes tertanggal 4 Januari 2019,  merekomendasikan BPJS Kesehatan melanjutkan kontrak kerjasama dengan faskes yang belum terakreditasi.  Dengan surat Menkes tersebut, pihak BPJS Kesehatan tidak bisa lagi memutuskan kontrak kerjasama dengan faskes karena alasan belum terakreditasi. Kecuali faskes itu sendiri yang ingin memutuskan kerjasama. Itu hak faskes dan dijamin UU SJSN.

Kenapa kerjasama menjadi persoalan rumit?

Persoalan menjadi rumit, karena memang sering dirumikan. Kalau kita baca UU SJSN dan UU BPJS, terkait kerjasama faskes dengan BPJS Kesehatan sangat simple sekali.

Hanya ada 2 syarat untuk terjadinya kerjasama faskes dengan  BPJS Kesehatan. Pertama adalah faskesnya sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan kedua  suka sama suka (seperti orang mau kawinlah).  Tidak ada paksaan. Untuk menjamin keberlangsungan dan apa saja kewajiban mereka yang berikatan, dibuatlah Perjanjian Kerjasama yang mengikat dalam jangka waktu tertentu.

Dalam menyusun substansi perjanjian, disitulah perlu dilibatkan pihak terkait, antara lain pemerintah daerah, asosiasi faskes, organisasi profesi  kesehatan.  Sehingga tersusun substansi baku yang berlaku di suatu tingkatan wilayah tertentu.

Dalam kerangka berpijak aturan UU SJSN, dan UU BPJS, pihak BPJS Kesehatan tidak menyentuh urusan capability dan capacity  faskes. Capability dan capacity  faskes  merupakan  tanggungjawab ( domain)  Kemenkes sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, UU RS, dan UU Tenaga kesehatan.

Permenkes Nomor 99 tahun 2015, substansinya menempatkan BPJS Kesehatan sebagai subordinasi Kemenkes.  Dengan melakukan kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya  tanggung jawab Kemenkes untuk melaksanakannya. Tidak ada perintah UU yang "menyuruh" men delivery tugas Kemenkes kepada BPJS Kesehatan.

Sederhananya, BPJS Kesehatan hanya bekerjasama dengan faskes yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kemenkes. Apapun bentuknya. Baik akreditasi, kredensialing, dan sebagainya. Kondisi saat ini sangat merepotkan faskes. Sudah lolos persyaratan pendirian faskes, untuk kerjasama dengan BPJS Kesehatan harus berjibaku lagi. ( cermati pasal 8,9, 10 dan 11 Permenkes 99/2015).

Intinya  adalah Permenkes 99/2015, "melemparkan" tanggung jawab terkait dengan kompetensi faskes  kepada BPJS Kesehatan.

Seharusnya BPJS Kesehatan itu, hanya memastikan dengan meneliti pemenuhan syarat yang ditetapkan Kemenkes, sebelum dilakukan kontrak  kerjasama.

 BPJS Kesehatan sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS, tugasnya adalah memastikan peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya. Membayar kewajiban klaim FKTL setiap bulan setelah diverifikasi dengan pola Ina-CBGs, dan membayarkan kapitasi pada faskes primer (FKTP)  sesuai cakupan penduduk yang telah ditetapkan.

Disinilah perlunya kendali biaya dan kendali mutu yang harus dilakukan BPJS Kesehatan. Untuk kendali mutu BPJS Kesehatan  memastikan bahwa Faskes melaksanakan pelayanan kesehatan yang komprehensif ( tanpa batas), untuk itu perlu ada  acuan standar pelayanan.

Kemenkes berkewajiban menerbitkan PNPK ( Pedoman Nasional  Pelayanan Kedokteran), dan pada level faskes harus ada PPK, SOP dan atau Clinical Pathway.  Baru kemudian berapa biaya yang sesuai dengan  mutu pelayanan yang diberikan. Maka akan dikeluarkan besaran biaya pelayanan sesuai dengan mutu pelayanan.

Koneksi  antara mutu dan besarnya biaya itulah yang perlu dirumuskan dalam kendali biaya dan kendali mutu. Ini kerja bareng BPJS Kesehatan, asosiasi faskes, organisasi profesi, kemenkes, dan faskes yang bersangkutan.

Dengan mekanisme yang diatur dalam UU, sudah jelas ruang lingkup tanggung jawab dan kewajiban  Kemenkes dan BPJS Kesehatan. Jika ada  pasien JKN  yang tidak mendapatkan mutu pelayanan  di faskes sesuai dengan hak nya, yang komplain atas nama peserta seharusnya BPJS Kesehatan. Jangan diserahkan kepada pasien, karena pasien adalah pesakitan.

Demikian juga jika klaim tagihan faskes yang macet, maka Kemenkes dan asosiasi faskes berkewajiban komplain ke BPJS Kesehatan, kemenkeu dan kalau perlu kepada Presiden. Supaya faskesnya dapat menjaga mutu dan kelangsungan pelayanan.

Bagaimana kenyataannya, tidak semudah saya menulis artikel ini. Mohon maaf.

Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc. ( Ketua DJSN 2011-2015)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun