Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Akreditasi Faskes dan Pelayanan JKN

12 Maret 2019   00:38 Diperbarui: 12 Maret 2019   00:45 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan menjadi rumit, karena memang sering dirumikan. Kalau kita baca UU SJSN dan UU BPJS, terkait kerjasama faskes dengan BPJS Kesehatan sangat simple sekali.

Hanya ada 2 syarat untuk terjadinya kerjasama faskes dengan  BPJS Kesehatan. Pertama adalah faskesnya sudah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah, dan kedua  suka sama suka (seperti orang mau kawinlah).  Tidak ada paksaan. Untuk menjamin keberlangsungan dan apa saja kewajiban mereka yang berikatan, dibuatlah Perjanjian Kerjasama yang mengikat dalam jangka waktu tertentu.

Dalam menyusun substansi perjanjian, disitulah perlu dilibatkan pihak terkait, antara lain pemerintah daerah, asosiasi faskes, organisasi profesi  kesehatan.  Sehingga tersusun substansi baku yang berlaku di suatu tingkatan wilayah tertentu.

Dalam kerangka berpijak aturan UU SJSN, dan UU BPJS, pihak BPJS Kesehatan tidak menyentuh urusan capability dan capacity  faskes. Capability dan capacity  faskes  merupakan  tanggungjawab ( domain)  Kemenkes sebagaimana diatur dalam UU Kesehatan, UU RS, dan UU Tenaga kesehatan.

Permenkes Nomor 99 tahun 2015, substansinya menempatkan BPJS Kesehatan sebagai subordinasi Kemenkes.  Dengan melakukan kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya  tanggung jawab Kemenkes untuk melaksanakannya. Tidak ada perintah UU yang "menyuruh" men delivery tugas Kemenkes kepada BPJS Kesehatan.

Sederhananya, BPJS Kesehatan hanya bekerjasama dengan faskes yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Kemenkes. Apapun bentuknya. Baik akreditasi, kredensialing, dan sebagainya. Kondisi saat ini sangat merepotkan faskes. Sudah lolos persyaratan pendirian faskes, untuk kerjasama dengan BPJS Kesehatan harus berjibaku lagi. ( cermati pasal 8,9, 10 dan 11 Permenkes 99/2015).

Intinya  adalah Permenkes 99/2015, "melemparkan" tanggung jawab terkait dengan kompetensi faskes  kepada BPJS Kesehatan.

Seharusnya BPJS Kesehatan itu, hanya memastikan dengan meneliti pemenuhan syarat yang ditetapkan Kemenkes, sebelum dilakukan kontrak  kerjasama.

 BPJS Kesehatan sesuai dengan UU SJSN dan UU BPJS, tugasnya adalah memastikan peserta mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan haknya. Membayar kewajiban klaim FKTL setiap bulan setelah diverifikasi dengan pola Ina-CBGs, dan membayarkan kapitasi pada faskes primer (FKTP)  sesuai cakupan penduduk yang telah ditetapkan.

Disinilah perlunya kendali biaya dan kendali mutu yang harus dilakukan BPJS Kesehatan. Untuk kendali mutu BPJS Kesehatan  memastikan bahwa Faskes melaksanakan pelayanan kesehatan yang komprehensif ( tanpa batas), untuk itu perlu ada  acuan standar pelayanan.

Kemenkes berkewajiban menerbitkan PNPK ( Pedoman Nasional  Pelayanan Kedokteran), dan pada level faskes harus ada PPK, SOP dan atau Clinical Pathway.  Baru kemudian berapa biaya yang sesuai dengan  mutu pelayanan yang diberikan. Maka akan dikeluarkan besaran biaya pelayanan sesuai dengan mutu pelayanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun