Beberapa waktu yang lalu, KPK sudah duduk bareng dengan Kemenkes, dan BPJS  Kesehatan untuk membentuk Satgas menyelesaikan secara komprehensif terkait semua hal yang menyangkut pelayanan JKN, di FKTP maupun FKTL karena adanya potensi  moral hazard dan fraud, yang sangat merugikan peserta maupun negara yang mengeluarkan uang yang besar untuk menjamin peserta (PBI, penyelenggara negara dan keluarganya).
Kalau kita cermati langkah KPK, terkait dengan penyelenggaraan JKN yang diamanatkan dalam UU 40/2004, dan UU 24/2011, dan diluncurkan oleh Presiden SBY tanggal 31 Desember 2013 di Istana Bogor, bahwa sejak 1 Januari 2014, sebanyak 121 juta penduduk Indonesia sudah mendapatkan Jaminan Kesehatan Nasional  dan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, tentu karena melihat bahwa program JKN adalah Program Nasional yang perlu dikawal pelaksanaannya agar tidak menyimpang dari semangat pembentukannya.
Semangat mengawal Program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan, sudah menjadi obsesi para anggota  DJSN yang bertahun-tahun mempersiapkan pembentukan / transformasi dari PT.Askes menjadi BPJS Kesehatan bersama dengan stakeholder lainnya.  Â
Saya selaku Ketua DJSN waktu itu ikut mendampingi peluncuran tersebut yang berjalan dengan khidmat dan penuh kebahagiaan. Sebab sebelumnya tidak ada kepastian apakah Presiden SBY jadi meluncurkan JKN sesuai dengan amanat UU, karena Peraturan Pelaksanaannya berupa PP diterbitkan 3 hari menjelang peluncuran JKN, suatu pengalaman yang tidak mungkin terlupakan dalam sejarah kehidupan bangsa ini.
Dalam semangat  mengawal  program JKN agar  berjalan diatas "jalan yang benar", maka sejak tahun 2013 sampai dengan 2016 KPK melakukan kajian-kajian yang menarik untuk dicermati, supaya early warning yang diberikan tidak sampai menjadi suatu ledakan masalah seperti yang terjadi pada kasus pengadaan e-KTP dan Penyelenggaraan Haji, memakan korban  para Pejabat Negara dan  sangat memprihatinkan kita semua.
KPK telah melakukan Kajian terkait JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan sejak tahun 2013  yakni  Kajian Sistem JKN, kemudian pada tahun 2014 dilanjutkan dengan Pemantauan Pelaksanaan saran perbaikan KPK atas kajian JKN di Kemenkes dan BPJS Kesehatan, dan melakukan Kajian Dana Kapitasi pada FKTP  Pemda. Â
Pada tahun 2015 dilakukan Pemantauan Pelaksanaan saran perbaikan KPK atas Kajian Dana Kapitasi, dan Kajian Penyusunan Alat Diagnostik Pencegahan Fraud di FKRTL  dan pada tahun 2016 KPK melakukan Kajian Tata  Kelola Obat dalam Sistem JKN dan Studi International Supervision Best Practice on National Healthcare.Â
Dari rangkaian kajian tersebut, Â memang telah ada berbagai kebijakan Kemenkes dan BPJS Kesehatan yang merujuk hasil kajian, walaupun disadari pada tataran pelaksanaan masih belum menunjukkan hasil sebagaimana yang diharapkan.Â
KPK mencermati dan mengikuti terus perkemangan di masyarakat, termasuk berbagai keluhan dan komplain peserta yang disampaikan melalui DJSN, Ombusman, BPJS Watch, bahkan ke KPK. Ujungya ya itu tadi dibentuk Satgas gabungan KPK, Kemenkes dan BPJS Kesehatan denGan jadwal penyelesaian yang terukur dan pada gilirannya akan sampai pada tahap penegakan hukum.
Problem obat di Indonesia
Belanja obat di Indonesia terbilang tinggi. Â Berkisar 40% dari total biaya / belanja kesehatan, bandingkan dengan Jepang hanya 19%, dan Jerman sekitar 15%. Demikian juga halnya harga obat di Indonesia termahal di ASEAN. Â Yang hebatnya lagi harga obat generik dengan obat generik berlogo selisihnya cukup tinggi mulai dua kali lipat sampai 40 kali lipat. Sedangkan penggunaan obat generik masih rendah.
Terkait penggunaan e-catalogue sebagai pengontrol harga obat masih belum optimal. Dinas Kesehatan yang menggunakan sekitar 89%, RS Pemerintah baru sekitar 33%. Di dunia industri farmasi saling menerkam, persaingan ketat  dan berimplikasi tingginya marketing fee. Komponen biaya promosi bisa sampai 40% dari biaya produksi,  ini salah satu penyebab mahalnya harga obat.
Dalam berbagai kesempatan diskusi di lingkungan farmasis, pertanyaan yang muncul adalah banyaknya titik-titik rawan korupsi dan permasalahan pada sistem tata kelola obat dalam era JKN.
Secara sederhana siklus regulasi  pengelolaan obat itu melalui tahap penyusunan rencana kebutuhan obat, dilanjutkan dengan pengadaan,  pembelanjaan, kemudian dilakukan monitoring dan evaluasi sebagai masukan untuk perencanaan selanjutnya.
Untuk mengetahui berbagai hal terkait dengan Tata Kelola Obat dalam JKN, KPK telah melakukan penelitian  (sampling) di 3 Instansi Pusat (Kemenkes, LKPP, BPOM), ada 7 Dinas kesehatan Kabupaten (wilayah Timur, Jawa dan Sumatera), dan 14 Puskesmas ( wilayah Timur, Jawa dan Sumatera), dan 2 Industri Farmasi BUMN (KF, dan Indo Farma), serta 5 Apotik. Dari berbagai hasil penelitian yang bersifat sampling tersebut, dapat diperoleh gambaran berikut ini bagaimana situasi pengelolaan obat dilakukan oleh stakeholder yang terkait.
UU SJSN Nomor 40 tahun 2004, mengamanatkan pada pasal 25 Â " Daftar dan harga obat serta barang medis habis pakai yang dijamin BPJS ditetapkan pemerintah". Â Kita simak UU 36/2009 tentang Kesehatan, Pasal 36 " Pemerintah menjamin ketersediaan, pemeratan dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial". Â Dan pasal 40: "Pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat".Â
Di samping itu, SJSN juga mengamanatkan kendali biaya dan kendali mutu  dalam penggunaan obat dan barang medis habis pakai  dengan melahirkan Formularium Nasional (FORNAS) sebagai penetapan jenis berdasarkan kriteria pemilihan obat, dan e-catalogue yaitu penetapan harga berdasarkan hasil lelang dan negosiasi secara elektronik.  Hasilnya tentu tersedianya obat yang aman, bermutu, berkhasiat,  dan Cost  effectifeness.
Berbicara obat, ada dikenal dua jenis obat yang beredar di Indonesia. Pertama disebut obat Paten, dan kedua disebut obat Generik. Obat generik ada yang branded (berlogo), dan generik biasa. Generik berlogo ini mainan industri saja supaya harga dapat di bandrol lebih tinggi dari obat generik biasa, karena tidak rela harga meluncur bebas dari obat Patent menjadi obat  Generik.
Bagaimana obat Paten diproduksi. Tentu melalui proses research yang lama dan mahal serta dengan invention yaitu suatu formula obat yang spesifik sehingga obat mempunyai khasiat unggul untuk penyakit tertentu.
Menurut ketentuan yang umum di dunia, masa habis paten antara 15-20 tahun, sesudah itu menjadi obat originator. Sederhananya obat Paten yang sudah habis masa patennya, bisa menjadi obat generik yaitu obat yang tidak mempunyai nama paten tapi langsung menyebut nama komposisi obat  yang memberi efek terapi sebagai nama obat.Â
Sebagai contoh, Levofloxacin merupakan obat golongan antibiotik quinolone. Obat ini digunakan untuk mengobati infeksi bakteri seperti infeksi saluran kemih, pneumonia, sinusitis, infeksi kulit, jaringan lunak, dan infeksi prostat. Levofloxacin bekerja dengan cara menghambat duplikasi DNA bakteri sehingga mencegah perkembangannya. Harganya  Rp. 1.240, per tablet.Â
Sedangkan dalam bentuk Brande Generic ( Generik berlogo), dengan nama obat Levoxal bisa mencapai Rp. 36.760 per tablet. Dan dengan istilah obat Originator dengan nama obat Cravit bisa mencapai Rp. 47.500.- per tablet. Very  fantastic.
Indonesia ini surga bagi Industri farmasi. Betapa tidak, saat ini beredar 14.405 Â jenis obat yang terdiri dari obat merk dagang 11.962 item (termasuk branded generic), dan 2.443 item obat generik ( 17%). Sedangkan industri farmasi Nasional saat ini ada 200 ( yang produksi sekitar 100 unit industri) Â dan 4 diantaranya milik BUMN dan berproduksi penuh, disamping itu ada industri farmasi international (asing), sebanyak 39 unit industri.
Bagaimana Market Sharenya?, ternyata walaupun Industri farmasi asing sebanyak 39 unit industri, niai omzetnya adalah Rp. 17.640 miliar, sedangkan dari 200 industri farmasi nasional omzetnya Rp. 44.638 miliar. Artinya industri asing yang hanya mempunyai industri 39 unit mendapatkan market share 28,33% dibandingkan dengan industri farmasi nasional.Â
Artinya lagi obat yang diproduksi (umumnya obat Paten), harganya sangat mahal. Inilah fenomena industri farmasi di Indonesia, kita belum mampu menyediakan bahan baku sendiri, sehingga tidak bisa menyediakan obat murah untuk rakyat.
Mekanisme alur  obat dalam JKN
Kemenkes dalam rangka melaksanakan UU SJSN dan UU Kesehatan, membentuk Tim Formas yang bertugas menyusun Formularium Nasional (FORNAS), berupa dokumen yang mencantumkan daftar obat terpilih dan dijamin dalam program JKN.Â
Dari Fornas ini Kemenkes menyusun rencana kebutuhan obat (RKO) yang mencantumkan jumlah kebutuhan obat di Faskes untuk 1 tahun. Dilanjutkan dengan penyusunan harga obat dengan hitungan sendiri (HPS) dari RKO tersebut oleh Tim Harga Obat. Hasil kerja Tim Harga Obat di "lempar" ke LKPP untuk proses pengadaan dengan e-catalogue obat. LKPP melakukan lelang dan negosiasi untuk mendapatkan penyedia obat dengan harga yang disusun pihak LKPP.
Hasil lelang dengan e-catalogue disampaikan ke semua Faskes untuk belanja dan penggunaan obat untuk memenuhi kebutuhan Faskes. Kemudian apakah proses berjalan sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan, dilakukan monev oleh Kemenkes, LKPP, dan Badan POM sebagai dasar penyusunan kebijakan berikutnya.
Perlu diketahui bahwa penyusunan Fornas mengalami berkali-kali metamorfosa, fase I tahun 2013 Fornas mencantumkan 519 item obat dan 923 sediaan. Adendum I Â tahun 2013 menambah menjadi 521 item dan 930 sediaan. Adendum II tahun 2013 menambah lagi menjadi 538 item dan 961 sediaan. Â Fase II Fornas 2015 mencantumkan 562 item dan 983 sediaan, dan adendum I 2015 menambah item obat menjadi 571 dan 1018 sediaan.Â
Sampai saat ini dari 14.405 item obat yang beredar, yang masuk dalam Fornas baru 573 item (informasi terakhir tahun 2016 sudah masuk e-catalogue bertambah menjadi 927 item) dan 1018 sediaan, ditambah dengan 327 item yang masuk dalam DOEN. Bayangkan jumlah item  obat JKN yang  disediakan Fornas dibandingkan dengan jenis/item  obat yang beredar di masyarakat.
Menurut data LKPP tahun 2015 jumlah transaksi e-catalogue obat sebesar Rp. 3.307 miliar, naik tajam dibanding tahun 2014 sebesar Rp. 1.198.-miliar. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan peserta JKN untuk obat. Pada tahun 2015 total biaya pelayanan kesehatan peserta JKN yang dibelanjakan oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp. 60 triliun. Jika sekitar  hanya 25% untuk Obat JKN (karena obat generik dan item tertentu generik berlogo)  nilainya Rp. 15 triliun.Â
LKPP mencatat transaksi melalui e-catalogue hanya Rp. 3,3 triliun, berarti ada potensi "loss" Rp. 11,7 triliun. Ada dua kemungkinan "loss" tersebut, yaitu Faskes belanja obat tidak melalui e-catalogue dan diterima BPJS Kesehatan,  dan kemungkinan lainnya  belanja obat dibebankan kepada peserta JKN (OOP=Out Of Pocket), sedangkan biaya obat sudah dihitung dalam paket INA-CBGs.
Potensi masalah obat JKN
Dari kajian KPK terkait Tata Kelola Obat JKN yang telah banyak diuraikan diatas, pihak KPK menyoroti beberapa  simpul  sebagai potensi masalah dalam tata kelola obat dalam JKN,  bahkan mungkin juga sudah terjadi moral hazard dan fraud yang jika tidak segera diselesaikan akan menjadi persoalan hukum.
Pertama; Ketidak sesuai FORNAS dan e-catalogue. Hal ini terkait dengan tidak semua item obat Fornas ditampilkan di e-catalogue, dan sebaliknya terdapat obat yang tidak masuk Fornas muncul di e-catalogue.
Kondisi tersebut tentu berakibat pada tidak ada kepastian, dan tidak adanya acuan referensi harga untuk BPJS Kesehatan dalam membayar klaim obat, dan berakibat Faskes kesulitan untuk pengadaan obat. Bagi Kemenkes juga mengalami kesulitan dan tidak ada dasar berpijak untuk  mengevaluasi kebijakan pengadaan obat JKN yang secara tersistem sudah disusun.
Kita tidak memahami apa kesulitan Kemenkes agar mempercepat  proses penetapan obat Fornas  berikut data pendukung sehingga e-catalogue dapat diakses awal tahun. Optimalkan Tim Fornas bekerja, jangan ada kepentingan  lain yang bermain.Â
Di samping itu harus diupayakan seluruh item Fornas masuk ke dalam e-catalogue jangan di angsur-angsur akan menyulitkan Faskes. Jika tidak hal ini akan menyulitkan untuk menentukan harga obat sebagai referensi untuk obat Fornas yang belum tayang di e-catalogue, setelah proses pengadaan e-catalogue obat selesai dilaksanakan LKPP. Disinilah peluang Fraud bisa terjadi.
Kedua; Aturan perubahan FORNAS berlaku surut melanggar asas kepastian hukum. Adendum Fornas 2015 berdasrkan KMK Nomor HK.02.02/Menkes/137/2016 diterbitkan tanggal 18 Februari 2016, tetap diberlakukan surut sejak tanggal 1 Januari 2016. Pada adendum terjadi penambahan, pengurangan item dan perubahan restriksi yang berpotensi merugikan stakeholder terkait.Â
Kita banyak mendapatkan keluhan RS maupun apotik yang melayani JKN karena gagal klaim. Faskes yang terlanjur memberikan obat yang ternyata sudah dikeluarkan dari Fornas atau karena memberikan obat yang berubah retriksinya, khususnya untuk obat sitostika yang dibayar di luar paket INA CBGs.Â
Atau malah terjadi sebaliknya RS menjadi dapat mengajukan klaim kembali yang seharusnya tidak bisa dilakukan karena item obat yang sudah keluar dari Fornas muncul lagi. Asas kepastian hukum itu adalah ; hukum tidak berlaku surut agar tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun. Pihak Kemenkes harus membuka diri soal ini.Â
Tidak perlu sampai menjadi hasil kajian KPK. Kalau disadari memang ada kekeliruan segera diperbaiki. Jangan sempat heboh. Saya  juga sempat mendapatkan keluhan sejawat Apoteker yang klaim obatnya tidak dapat dibayar BPJS Kesehatan karena PMK ini.
Ketiga;Â Tidak akuratnya Rencana Kebutuhan Obat (RKO) Â sebagai dasar pengadaan e-catalogue. Dari data yang diperoleh, ternyata tidak semua Dinkes terutama Faskes (RS, Apotik) yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan menyampaikan RKO kepada Kemenkes sebagai dasar pengadaan obat e-catalogue. Â Bayangkan penyampaian RKO 2016, RS Pemerintah 52%, RS swasta 2%, dan apotik PRB 15%. Belum lagi data RKO yang ada menyimpang/melenceng jauh dari realisasi belanja, hanya mencapai 30-40%. Â
Di samping itu data RKO belum tersambung dengan e-catalogue sehingga Faskes yang tidak menyampaikan RKO tetap dapat belanja dan/atau sebaliknya. Implikasinya yang banyak dikeluhkan sekarang ini adalah kekosongan obat dan disisi lain kelebihan stok obat dan tentunya dapat menimbulkan kerugian bagi industri farmasi. Pada tahun 2016 sudah e-monev untuk mengatasi ketidakakuratan RKO tetapi lemah di sosialisasi dan penggunaannya belum optimal.
Dalam persoalan ini KPK telah menyarankan agar mekanisme  penyusunan RKO dan validasinya sehingga menjadi data yang akurat. Monev dioptimalkan dan harus ada follow-upnya yang terukur. Dan harus tegas mengeluarkan aturan dan konsisten bahwa akses belanja obat di e-catalogue hanya untuk Satker/Faskes yang menyampaikan RKO. Dan juga penting e-monev yang dibuat Kemenkes harus diintegrasikan dengan e --catalogue sehingga data RKO dan realisasi belanja dapat terhubungkan.
Keempat; Mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue belum optimal. Terjadinya keterlambatan dan kegagalan lelang obat oleh LKPP tahun 2016, dan e-catalogue baru dapat diakses Satker pada bulan April. Lemahnya aplikasi e-catalogue; tidak ada notifikasi status pemesanan dan informasi stok barang, sulit di akses pada siang hari.Â
Faskes swasta provider tidak diberi akses e-catalogue secara online. Belum dilakukan penerapan sanksi bag Industri Farmasi penyedia obat yang wanprestasi, karena tidak ada juga jaminan produksi obatnya dijamin laku dibeli Faskes. Akibatnya antara lain, persentase belanja obat Faskes di e-catalogue kurang dari 70%. Tingkat kepatuhan Industri farmasi penyedia obat rendah.
KPK sudah menyarankan kepada LKPP, agar melakukan proses lelang obat-obat yang akan masuk e-catalogue , sebelum tahun berjalan sehingga e-catalogue dapat diakses pada awal tahun berjalan. Aplikasi e-catalogue diperbaiki (menjadi user friendly memberikan informasi stok, pemberian akses kepada provider JKN). Dan menerbitkan aturan memberikan sanksi kepada Industri farmasi untuk efek jera dan menerapkannya secara konsisten.
Kelima; Ketidaksesuaian daftar obat pada PPK ( Panduan Praktik Klinis) FKTP dengan FORNAS FKTP. Terdapat ketidaksesuaian daftar obat yang ada pada PPK FKTP yang berdasarkan PMK No.5/2014, dengan Fornas pada FKTP berdasarkan KMK 137/2016.
Akibatnya adalah ketidakjelasan panduan (rancu) yang menjadi acuan Dinkes dan Puskesmas dalam melaksanakan perencanaan, pengadaan dan penggunaan obat. Â Kenapa ini bisa terjadi. Jawabannya sederhana saja yaitu lemahnya koordinasi, sinkronisasi dan komunikasi antara unit eselon 1 dilingkungan Kemenkes, dan lemahnya Biro Hukor melaksanakan harmonisasi produk-produk PMK dan KMK yang saling terkait.
Keenam; Belum ada  aturan minimal  kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah. Belum adanya aturan yang mengatur minimal kesesuaian Fornas pada formularium RS/formularium daerah. Saat ini baru ada Perdirjen BUK No.HK.02.03/I/2318/2015 yang mengatur KPI (Key  Performance Indicator), penggunaan Fornas ( diatas 80%), untuk RS vertikal Kementerian Kesehatan.Â
Saat ini Kemenkes baru mengatur pelaporan kesesuaian penggunaan Fornas ke Kemenkes berdasarkan KMK  524/2015, namun pada tahun 2015 itu juga, Dit.Yanfar baru berhasil mengumpulkan laporan dari 100 Dinkes dan 116 RS. Tentu hal tersebut berakibat pada penggunaan obat diluar Fornas pada Formularium RS/Formularium Daerah  tidak dapat dikendalikan sehingga berpotensi menimbulkan gratifikasi dari Industri farmasi, dan tidak terjadi upaya kendali biaya dan kendali mutu di Faskes.
Saran KPK Â cukup bagus dan tidak sulit dilaksanakan jika ada keinginan. Yaitu buat aturan terkait minimal kesesuaian Fornas pada Formularium RS/ Formularium Daerah. Masukkan persentase kesesuaian Fornas dalam Formularium RS Â menjadi syarat akreditasi RS. Dan bantu Daerah untuk membuat Panduan Penyusunan Formularium RS.
Ketujuh; Belum optimalnya Monev terkait pengadaan obat. Ternyata KPK menemukan belum di datanya item obat Fornas yang tidak masuk ke e-catalogue oleh kemenkes. Belum juga di datanya realisasi belanja obat yang lengkap dan akurat oleh Kemenkes. Dan belum semua Industri farmasi penyedia e-catalogue melaporkan realisasi pemenuhan komitmen (online dan offline) sesuai PMK 63/2014 kepada Kemenkes.
Akibatnya sudah bisa diduga, Kemenkes tidak memiliki dasar untuk mengevaluasi kebijakan pengadaan obat JKN. Industri farmasi tidak memenuhi permintaan Faskes dengan alasan sudah memenuhi komitmen kontrak dari pembelian offline. Hal ini menunjukkan tingkat kepatuhan Industri farmasi yang rendah.
Dalam hal ini Kemenkes disarankan untuk membuat pendataan terkait obat Fornas yang tidak tayang di e-catalogue, dan melakukan evaluasi  untuk mencari penyebab dan solusi perbaikan. Sempurnakan aplikasi e-monev obat sehingga dapat mencatat data realisasi belanja obat secara akurat dan mendorong penggunaannya kepada seluruh stakeholder terkait.
Kedelapan; Lemahnya koordinasi antar lembaga. Memang koordinasi antar lembaga tidak mudah. Koordinasi antar unit kerja eselon 1 Kementerian pun juga masih susah. Tetapi apapun ceritanya, koordinasi itu sangat penting untuk menyelesaikan masalah yang mempunyai irisan tugas antar lembaga.
- Koordinasi LKPP dan Kemenkes; Tidak ada SOP bersama yang mengatur secara jelas jadwal dan mekanisme penyampaian RKO serta pelaksanaan pengadaan e-catalogue obat yang melibatkan dua lembaga tersebut. Contoh; Proses lelang tahun 2016 terhambat karena adanya permintaan pembatalan proses lelang secara mendadak oleh Kemenkes.  Juga tidak sinkronnya data yang dimiliki LKPP dan Kemenkes terkait e-catalogue (misal. Jumlah obat tayang dan nilai transaksi belanja).
- Koordinasi Kemenkes dengan BPOM; penyampaian data pendukung untuk proses pengadaan e-catalogue terkait NIE (Nomor Ijin Edar) obat tidak akurat sehingga menghambat proses lelang. Kemenkes mendapat informasi terkait NIE melalui website BPOM yang tidak terkini (out of date). Â Sedangkan BPOM belum menyediakan data secara khusus terkait NIE obat yang diperlukan untuk proses pengadaan e-catalogue . akibatnya sudah diduga proses lelang obat gagal atau terlambat.
Oleh karena itu, segeralah Kemenkes, LKPP, dan BPOM duduk bareng, membangun SOP bersama pelaksanaan e-catalogue (mudah2an sudah dilaksanakan), Â termasuk batasan waktu setiap tahapan, dan membangun sistem terintegrasi untuk kebutuhan informasi NIE yang terkini.
Penutup.
KPK merekomendasikan untuk membenahi  semua potensi masalah yang sudah diuraikan untuk diselesaikan. Early warning KPK tidak boleh diabaikan oleh stakeholder terkait (Kemenkes, LKPP, BPOM), sebagai bentuk supporting KPK dalam kerangka pencegahan.Â
Berbagai saran yang disampaikan, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, asalkan ada kesadaran yang tinggi dari para birokrasi di Lembaga-Lembaga tersebut, dan adanya komitmen yang kuat, dan integritas yang kokoh dari pimpinan level atas sampai dengan level bawah. Semoga.
Sumber Referensi.
Direktorat Litbang Kedeputian Bidang Pencegahan KPK; "Kajian Tata Kelola Obat Dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)". . Jakarta 2016. (via internet)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H