Jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindra dan pembenar kesalahan indrawi. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin dalam pernyataan bahwa jiwa mengetahui dirinya sendiri dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya. Oleh karena itulah, jiwa merupakan satu kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subjek yang berpikir (thinker), dan objek-objek yang dipikirkan. Ketiganya slaing berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak mampu dipisahkan.Â
Ibnu Miskawayh mengatakan jika jiwa manusia memiliki kelebihan atas jiwa binatang, yaitu dengan adanya kekuatan berpikir yang menjadi sumber pertimbangan struktur tindakan yang mengarah kepada kebaikan. Menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi, berturut-turut sebagai berikut :Â Al-nafs Al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk, Al-nafs Al-sabu'iah (nafsu binatang buas) yang sedang, Al-nafs Al-nathiqah (Jiwa yang cerdas) yang baik.Â
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas, manusia dapat terangkat derajatnya setingkat malaikat. Dan dengan jiwa yang cerdas itu pula, manusia dibedakan dengan binatang.Â
Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya dan cenderung mengikuti ajakan jiwa menuju kebaikan. Berbeda dengan kehidupan manusia yang dikuasai oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas). Berkenaan dengan kualitas tingkatan jiwa tersebut, Ibnu Miskawayh menyatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk memiliki sifat ujub, sombong, hipokrit (munafik), penipu dan hina. Sedangkan jiwa yang cerdas memiliki sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan juga cinta.Â
Selain Tahdib al-Akhlaq, Ibnu Miskawayh juga menulis : Jawidan Khirad (Hikmah yang Tak Lekang Waktu), dan Tartib as-Saadah (Kaidah Kebahagiaan). Kedua karya tersebut mendapat pujian besar dari para ilmuwan barat dan dianggap sebagai karya yang bisa disejajarkan dengan Nicomachean karya Aristoteles.Â
Di samping itu, Ibnu Miskawayh juga menuliskan beberapa karya di bidang etika, diantaranya: Al-Fauz al-Akbar (Kemenangan Besar), Al-Fauz al-Asghar (Kemenangan Kecil), yang dianggap sebagai karya filsafat yang sejajar dengan karya Al-Farabi. Arau Ahl al-Madinah (Pikiran Penduduk Kota), kemudian Ajwibah wa al-Asilah fi an-Nafs wa al-Aql as-Siyar dan Taharat an-Nafs (Suci dari Nafsu).
Sementara itu, di bidang sejarah ia juga berhasil menelurkan karya monumental lainnya, salah satunya adalah Tajarib al-Umam (Pengalaman Bangsa-Bangsa), yang dianggap sebagai karya terbaiknya dalam bidang sejarah. Â Meski tak banyak, dalam bidang kedokteran ia juga menghasilkan karya, salah satunya berjudul Al-Asyribah, yang berisikan kajian mengenai minuman dan pengaruhnya terhadap kesehatan.
Setelah lama berada di Baghdad untuk belajar dan bekerja dengan berbagai karya gemilangnya, Ibnu Miskawayh kemudian kembali ke Iran, tepatnya ke kota Isfahan. Beberapa lama setelah kepulangannya ke negerinya sendiri, ia mengembuskan nafas terakhirnya pada 16 Februari 1030 M dalam usianya yang telah menginjak 90 tahun.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H