Mohon tunggu...
Chaulah Lutfiyana
Chaulah Lutfiyana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi Universitas Negeri Surabaya

Chaulah Fi, seorang gadis yang dilahirkan di pulau Garam 19 tahun lalu. Fi juga merupakan seorang mahasiswi aktif jurusan Psikologi di salah satu Universitas yang berada di Surabaya. 19tahun hidup, walau tergolong masih belia, namun beberapa hal mendorongnya untuk terus menulis, salah satunya adalah mimpi untuk dapat terus melanjutkan hidupnya. Fi memiliki minat yang tinggi di dalam bidang avokasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ibnu Miskawaih

31 Maret 2023   23:35 Diperbarui: 31 Maret 2023   23:43 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawayh atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Miskawayh terlahir di Rayy, Iran pada tahun 940M. Masa kecilnya ia banyak ia habiskan di tanah kelahirannya. Ia memulai perjalannya ketika ia beranjak dewasa, menuju ke Baghdad. Di kota itu, ia bekerja sebagai pustakawan di sebuah perpustakan pada masa pemerintahan Dinasti Abasid. Ia tinggal disana cukup lama, hingga beberapa kali pergantian kekuasaan. Perpustakaan bagi Ibnu Miskawayh merupakan tempat yang membuatnya mampu dengan mudah untuk mengakses berbagai ilmu pengetahuan. 

Ia secara tekun dan serius melakukan kajian di banyak bidang, contohnya seperti Filsafat, sejarah, kedokteran, bahkan kimia. Namun, ditengah banyaknya kajian yang ia tekuni, kajian utama yang menjadi perhatiannya adalah filsafat Yunani dan sejarah. 

Berangkat dari kedua kajian inilah yang nantinya akan mengantarkan dirinya menjadi seorang intelek yang mengagumkan dalam kedua bidang tersebut. Sebagaimana ilmuwan-ilmuwan yang hidup pada masanya, ia mempelajari filsafat dan sejarah sebagai alat guna menemukan kebenaran. Namun, ia lebih memberikan tekanan pada kajian filsafat etika, ia kemudian merumuskan langkah membangun moral yang sehat serta menguraikan cara-cara membangun jiwa yang harmonis. 

Di kemudian hari, Ibnu Miskawayh lebih dikenal sebagai seorang Islam Humanis. Hal ini dikarenakan ia memiliki kecenderungan agar islam dapat masuk kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas pada semua bidang kemanusiaan.

Dengan berbekal kajian filsafat Yunani, ia kemudian terpengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme, baik pada sisi teori maupun praktik. Label humanis yang dimiliki oleh Ibnu Miskawayh ini juga disematkan oleh banyak kalangan pemikir muslim, salah satunya adalah Ahmed Arkoun. Ia menyematkan label ini kepada Ibnu Miskawayh sebagai seorang humanis pada tahun 1969. Penyematan nama ini dilihat berdasarkan sudut pandang intelektual Islam, bukan tradisi intelektual Eropa. 

Dalam kajian filsafat etika, Ibnu Miskawayh mengeluarkan sebuah karya monumental, yaitu Tahdib al-Akhlaq  (Pembinaan Akhlak). Dalam buku yang terdiri dari tujuh bagian ini, secara umum ia membicarakan mengenai bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat. Dengan kata lain, buku ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Inilah menjadi peran para filsuf moral atau etika untuk memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian. 

Pada bagian awal bukunya, Ibnu Muskawayh membicarakan mengenai jiwa dan sifat-sifatnya. Menurutnya, seseorang akan mampu menggapai kebahagiaan hidup jika ia dapat menciptakan kebahagiaan moral dengan memenuhi sifat-sifat jiwa, diantaranya adalah kedahagaan jiwa atas asupan ilmu. Ia memandang bahwa ilmu akan menuntun manusia untuk tidak hanya bergantung pada hal yang bersifat materi. Selanjutnya, ilmu itu akan membuat manusia memiliki kebijaksanaan dalam meniti hidup yang akhirnya menjadikannya sebagai manusia yang selayaknya. 

Dalam penjelasan berikutnya, ia menguraikan tentang jenis kebahagiaan dan sifat-sifat yang dimilikinya. Dalam pandangannya, setiap manusia mampu mencapai setiap jenis kebahagiaan dengan cara memenuhi sifat-sifat kebahagiaan tersebut. Menurutnya, ada dua hal yang dapat memengaruhi manusia dalam mencapai kebahagiaan, yaitu kondisi internal dan eksternal diri individu tersebut. 

Kondisi internal yang memengaruhi pemikiran dan arah moral seseorang adalah kesehatan tubuh dan kemampuan dirinya dalam mengendalikan temperamen. Sedangkan, kondisi eksternal adalah keadaan yang terkait dengan hubungan dirinya dengan orang lain serta lingkungan sekitarnya. Kedua kondisi inilah yang kemudian memperkaya jiwa individu dalam mencapai kebahagiaan dirinya. 

Menurut Ibnu Miskawayh, jiwa berasal dari limpahan akal aktif ('aqlfa'al). Jiwa bersifat rohani yang memiliki substansi sederhana yang tidak dapat diraba pancaindra. Jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lainnya. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan, dunia materi tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa. 

Lebih jauh lagi, Ibnu Miskawayh menjelaskan bahwa di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan indrawi. Dengan daya pengenalan akal tersebut, jiwa mampu membedakan antara benar dan tidak benar yang berkaitan dengan hasil produksi pancaindra. Perbedaan itu dilakukan dengan membanding-bandingkan objek-objek indrawi yang satu dengan yang lainnya. 

Jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindra dan pembenar kesalahan indrawi. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin dalam pernyataan bahwa jiwa mengetahui dirinya sendiri dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya. Oleh karena itulah, jiwa merupakan satu kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subjek yang berpikir (thinker), dan objek-objek yang dipikirkan. Ketiganya slaing berkaitan erat antara satu dengan yang lainnya, sehingga tidak mampu dipisahkan. 

Ibnu Miskawayh mengatakan jika jiwa manusia memiliki kelebihan atas jiwa binatang, yaitu dengan adanya kekuatan berpikir yang menjadi sumber pertimbangan struktur tindakan yang mengarah kepada kebaikan. Menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat tertinggi, berturut-turut sebagai berikut : Al-nafs Al-bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk, Al-nafs Al-sabu'iah (nafsu binatang buas) yang sedang, Al-nafs Al-nathiqah (Jiwa yang cerdas) yang baik. 

Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika memiliki jiwa yang cerdas. Dengan jiwa yang cerdas, manusia dapat terangkat derajatnya setingkat malaikat. Dan dengan jiwa yang cerdas itu pula, manusia dibedakan dengan binatang. 

Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya dan cenderung mengikuti ajakan jiwa menuju kebaikan. Berbeda dengan kehidupan manusia yang dikuasai oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas). Berkenaan dengan kualitas tingkatan jiwa tersebut, Ibnu Miskawayh menyatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk memiliki sifat ujub, sombong, hipokrit (munafik), penipu dan hina. Sedangkan jiwa yang cerdas memiliki sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan juga cinta. 

Selain Tahdib al-Akhlaq, Ibnu Miskawayh juga menulis : Jawidan Khirad (Hikmah yang Tak Lekang Waktu), dan Tartib as-Saadah (Kaidah Kebahagiaan). Kedua karya tersebut mendapat pujian besar dari para ilmuwan barat dan dianggap sebagai karya yang bisa disejajarkan dengan Nicomachean karya Aristoteles. 

Di samping itu, Ibnu Miskawayh juga menuliskan beberapa karya di bidang etika, diantaranya: Al-Fauz al-Akbar (Kemenangan Besar), Al-Fauz al-Asghar (Kemenangan Kecil), yang dianggap sebagai karya filsafat yang sejajar dengan karya Al-Farabi. Arau Ahl al-Madinah (Pikiran Penduduk Kota), kemudian Ajwibah wa al-Asilah fi an-Nafs wa al-Aql as-Siyar dan Taharat an-Nafs (Suci dari Nafsu).

Sementara itu, di bidang sejarah ia juga berhasil menelurkan karya monumental lainnya, salah satunya adalah Tajarib al-Umam (Pengalaman Bangsa-Bangsa), yang dianggap sebagai karya terbaiknya dalam bidang sejarah.  Meski tak banyak, dalam bidang kedokteran ia juga menghasilkan karya, salah satunya berjudul Al-Asyribah, yang berisikan kajian mengenai minuman dan pengaruhnya terhadap kesehatan.

Setelah lama berada di Baghdad untuk belajar dan bekerja dengan berbagai karya gemilangnya, Ibnu Miskawayh kemudian kembali ke Iran, tepatnya ke kota Isfahan. Beberapa lama setelah kepulangannya ke negerinya sendiri, ia mengembuskan nafas terakhirnya pada 16 Februari 1030 M dalam usianya yang telah menginjak 90 tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun