Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Bijak Kelola Keuangan, Redam Perilaku "Nyampah" selama Ramadan

16 April 2023   23:32 Diperbarui: 16 April 2023   23:33 1066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sampah makanan: shutterstock/Fevziie via Kompas.com

 

Bulan Ramadan itu terkadang paradoks. Momen istimewa menjalani kewajiban agama melalui puasa, doa, dan sedekah.

Namun, pada waktu bersamaan, pengorbanan mengekang syahwat dalam berbagai dimensinya, justru menghadirkan perilaku bertentangan.

Salah satu bukti bisa kita temukan dalam perilaku "nyampah." Dalam arti sesungguhnya yakni boros dan membuang-buang makanan. Apa yang disebut "food loss" dan "food waste" malah mendapati contohnya pada bulan suci ini.

United Nations Environment Programme (UNEP), organisasi utama PBB di bidang lingkungan hidup pernah merilis temuan dalam laporan bertajuk "The State of Food Waste in West Asia 2021."

Sebagaimana bisa dilihat di wedocs.unep.org, dilaporkan hampir sebagian besar makanan selama Ramadan di kawasan Arab berakhir sebagai sampah yang dibuang sia-sia.

Angkanya berkisar 25-50 persen, lebih tinggi dari hari-hari biasa. Di Uni Emirat Arab, menginjak 50 persen saat Ramadan. Fenomena serupa terjadi juga di negara-negara Muslim lainnya seperti Malaysia dengan peningkatan 15-20 persen.

Bagaimana Indonesia? Kompas.id (19/5/2022) menyimpulkan hasil analisis terkait besarnya nilai sampah makanan di Indonesia yang mencapai Rp330 triliun.  Rata-rata setiap orang Indonesia membuang makanan setara Rp 2,1 juta pertahun.

Data itu sejalan dengan laporan The Economist Intelligence Unit pada 2021 yang menyebut status Indonesia sebagai penghuni nomor dua di tabel klasemen penghasil sampah makanan terbesar di dunia. Tiap orang berkontribusi sampah makanan hingga 300 kg setiap tahun.

Ironisnya, salah satu puncak periode "nyampah" adalah Ramadan. Lebih sedihnya lagi, dari prediksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama Ramadan akan terjadi peningkatan sampah sebesar 5-20 persen, dengan sekali lagi, didominasi sampah makanan.

Data Sistem INformasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) terbaru disebutkan jumlah sampah terbesar dikuasai sisa makanan (41,2 persen), baru disusul plastik (18,2 persen), lalu kayu atau ranting (13,5 persen).

Tegas menyebutkan sumber utama gunung sampah itu berasal dari sektor rumah tangga (39,2 persen), mengalahkan sektor-sektor lain seperti perniagaan (21,2 persen) dan pasar tradisional (16,1 persen).

Infografis: kompas.id
Infografis: kompas.id

Pola konsumsi

Sekilas bisa disimpulkan, status darurat sampah makanan yang terjadi di Tanah Air justru dikontribusi oleh sektor domestik. Entah sadar atau tidak sadar, ada sesuatu yang salah dalam pola konsumsi di setiap rumah tangga kita.

Bisa jadi orang menganggap bulan Ramadan hingga Hari Raya Idul Fitri adalah bulan berpesta makanan. Setelah menjalani puaasa sejak fajar hingga matahari terbenam, orang seakan terobsesi untuk menyediakan hidangan makanan dan minuman sebanyak mungkin.

Sayangnya, perhitungan yang tidak cermat membuat banyak makanan kemudian berakhir di tempat-tempat sampah.

Sesungguhnya, kekeliruan itu tidak hanya bermuara pada apa yang sudah tersaji di meja makan. Melainkan juga bertalian dengan sikap keseluruhan. Ada masalah pada perhitungan di awal, dalam pelaksanaan, hingga tindak lanjutnya.

Beberapa kekeliruan yang terkadang tetap terpelihara dari tahun ke tahun antara lain.

Pertama, kalah berbelanja. Berbelanja makanan tanpa perhitungan yang cermat. Apalagi dalam keadaan perut kosong membuat konsentrasi berkurang.

Yang terlihat oleh indra kemudian mengangkangi akal sehat. Orang kemudian hanya berfokus untuk memenuhi rasa lapar yang dicerna oleh indra pengelihatan. Istilahnya, "lapar mata."

Kedua, ada anggapan saat Ramadan adalah saat untuk memberikan segalanya setotal mungkin. Tidak terkecuali dalam urusan makanan dan minuman. Perjuangan menahan lapar dan haus perlu dikompensasi dengan makanan dan minuman berlimpah.

Ketiga, tidak adanya perencanaan yang teliti baik untuk bahan mentah maupun produk jadi. Menu makanan tidak dipertimbangkan sesuai kebutuhan, baik anggaran maupun anggota keluarga.

Perencanaan juga terkait bahan makanan yang dibeli untuk jangka waktu tertentu. Terkadang tidak memperhatikan secara saksama usia setiap produk. Label "best before," "used by" atau tanggal kedaluwarsa, malah dianggap sebagai hiasan belaka

Kemudian diperparah dengan ketakmampuan menghadapi sisa makanan. Bahan mentah yang masih bisa digunakan tidak disimpan dengan baik.

Bingung memperlakukannya secara baik dan benar, entah perlu disimpan di lemari es, freezer, atau cukup disimpan di atas meja dengan aman. Entah harus disimpan dalam wadah kedap udara atau cukup dalam plastik sekali pakai.

Makanan dan minuman yang masih bisa dikonsumsi kemudian dibuang dengan pertimbangan kebutuhan hari besok akan dipenuhi lagi.

Keempat, kurangnya kreativitas memaksimalkan bahan makanan yang ada. Alih-alih mengkreasi berbagai menu dari stok makanan di lemari atau kulkas, atau sisa makanan, orang justru tergoda untuk membeli lagi dan lagi. Kemudian tidak tahu bagaimana harus memperlakukannya untuk mendatangkan kepuasan semaksimal mungkin dengan sisa makanan seminimal mungkin.

Kelima, terkadang makanan yang disajikan dan diambil melebihi kesanggupan menghabiskannya. Setiap menu dibuat secara berkelimpahan. Begitu juga yang diambil ke piring dalam jumlah banyak sehingga tidak bisa ditandaskan.

Keenam, apakah pernah terpikirkan untuk berbagi bahan makanan yang terancam mubazir di bulan Ramadan?

Bila ya maka Anda sudah mengambil keputusan terbaik untuk menekan pertumbuhan gunung sampah makanan.

Bila tidak, berarti sikap Anda perlu dikoreksi. Berbagi tidak harus tentang uang, pakaian, atau materi lain selain makanan atau minuman. Berbagi pun bisa dilakukan dalam ruang lingkup sederhana seperti tetangga, teman, atau mereka yang membutuhkan.

Waspada Panic Buying

Salah satu solusi untuk menekan perilaku "nyampah" adalah bijak kelola keuangan. Mengelola keuangan secara arif saat sebelum, selama, dan berharap setelah Lebaran sungguh krusial.

Beberapa tip bisa dilakukan.

Pertama, menyusun anggaran keuangan secara cermat. Mengalokasikan anggaran sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan tingkat kenaikan harga bahan pokok dan pemasukan.

Sudah bukan rahasia lagi menjelang Ramadan, harga aneka kebutuhan akan bergerak naik. Perlu ketelitian untuk mengelola anggaran yang perlu disesuaikan dengan skala prioritas.

Yang didahulukan adalah pos-pos rutin dan krusial, baru disusul oleh pos-pos lain yang besarannya bergantung pada ketersediaan anggaran.

Selain itu, tetap perlu berpikir untuk investasi dan dana darurat sebagai salah satu pos penting. Ketimbang menggelontorkan banyak anggaran untuk hal-hal konsumtif alangkah lebih bijak bila dialokasikan untuk hal-hal yang lebih penting.

Pepatah "besar pasak dari pada tiang" masih senantiasa aktual untuk menghadapi momen Ramadan. Sesuaikan kebutuhan dengan kesanggupan. Jangan sampai justru jatuh dalam lembah utang.  

Kedua, sebelum berbelanja perlu membuat daftar belanja yang disesuaikan dengan kebutuhan dan setelah memastikan kondisi terkini di tempat penyimpanan.

Bila perlu membuat rencana menu mingguan baik untuk buka maupun sahur. Yang dibelanjakan hanya yang terkait kebutuhan dalam daftar rencana.

Jangan sekali-kali terpancing oleh "panic buying" atau "impulsive buying."

Ketiga, setelah membuat daftar anggaran, perlu komitmen. Untuk mendukungnya salah satu siasat adalah membuat catatan pengeluaran harian.

Kehadirannya membuat kita bisa menekan godaan yang bisa datang kapan saja. Kita akan tahu apa yang menjadi skala prioritas berikut anggaran yang telah dikeluarkan. Dengan demikian, kita akan terpacu untuk tidak boros alias berhemat.

Keempat, pada prinsipnya kebutuhan dan keinginan itu tidak sama, walau pada praktiknya kerap dianggap sama, bahkan tertukar, baik sengaja atau tidak.

Keinginan terkadang mendominasi. Kepura-puraan kita membuat setiap keinginan seakan-akan kebutuhan. Godaan promosi bisa membuat kita kalap.

Sebaiknya, momen Ramadan menjadi kesempatan untuk melakukan seleksi, refleksi, dan koreksi pada setiap hasrat kita.

Ramadan Hijau

Selain menuntut kesadaran diri, perlu intervensi dari berbagai pihak untuk menekan perilaku "nyampah."

MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait pengelolaan sampah. Fatwa Nomor 41 tahun 2014 memuat larangan berbuat "tabdzir" (menyia-nyiakan) dan "israf" (berlebihan).

Tujuannya jelas agar para pemeluk teguh menjauhkan diri dari perilaku yang membuat makanan terbuang percuma dan melebihi kemampuan konsumsi.

Gerakan "Ramadan Hijau" (Green Ramadan) yang sudah lama didengungkan jelas bertujuan untuk mengurangi sampah makanan saat Ramadan. Membuat lingkungan menjadi lebih sehat, baik itu diri sendiri maupun alam ciptaan di sekitar.

Di bulan yang penuh rahmat ini semangat pertobatan hendaknya juga mewujud dalam pemangkasan sikap "nyampah" yang jelas-jelas destruktif dan bertentangan dengan agama, seperti tertulis dalam QS al-Isra ayat 27, "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun