Dari dua klub berbeda, Brendan Rodgers dan Graham Potter baru saja berjalan ke arah yang sama. Sedihnya, pintu keluar dari Leicester City dan Chelsea terbuka bagi mereka pada hari yang sama, Minggu, (2/4/2023).
Memang mengagetkan. Namun, seharusnya tidak terlalu berlebihan. Tanda-tanda sudah terbaca sejak beberapa waktu terakhir.
Selain itu, seperti sudah menjadi tren di Liga Premier Inggris musim ini, klub-klub (yang tengah menghuni) papan bawah beramai-ramai melakukan penyegaran.
Terhitung sudah 12 pelatih yang kehilangan jabatan dari sembilan tim terbawah di papan klasemen sementara, dengan West Ham dan Nottingham Forest sebagai pengecualian.
Posisi Leicester memang tidak sedang baik-baik saja. Kekalahan dari Crystal Palace 1-2 di pekan ke-29 Liga Premier Inggris 2022/2023, sehari sebelumnya memastikan tim berjuluk The Foxes itu berumah di zona merah.
Leicester terjerembab secara menyakitkan melalui gol injury time Jean-Philippe Matete. Gol ini memastikan tuan rumah Palace berhak atas poin penuh setelah di menit ke-59 disakiti oleh gol bunuh diri Daniel Iversen yang membuat skor sama kuat, merespon gol Ricardo Pereira tiga menit sebelumnya.
Leicester sempat berharap gol pembuka dari Ricardo Pereira itu menjadi angin segar. Seandainya tidak ada gol bunuh diri, lalu Jonny Evans dan kolega mampu menjaga keunggulan hingga peluit akhir, maka dipastikan mereka masih dalam posisi aman, meski tidak benar-benar menjauh dari jurang degradasi.
Ternyata akhir cerita berbeda. Kemenangan tipis West Ham atas Southampton akhirnya turut mendorong Leicester ke urutan 19. Dengan 25 angka, Leicester hanya unggul dua poin dari Southampton di posisi juru kunci.
Sementara Palace bisa bernapas lega. Posisinya terdongrak ke urutan ke-12 dengan 28 angka, hanya berjarak dua poin pula dari tim yang di hari yang sama mengirimkan kabar buruk bagi pelatihnya: Chelsea.
Palace pun sedang dalam masa transisi menyusul pemecatan Patrick Vieira pada pertengahan Maret lalu, buntut sekali kemenangan dalam 14 pertandingan. Di tangan pelatih kawakan Roy Hodgson mereka tengah menaruh harapan besar.
Kembali ke Leicester. Berada dalam pelukan degradasi bukan sesuatu yang diharapkan. Sebuah risiko yang harus dipikul setelah enam pertandingan tanpa kemenangan.
Tak heran para fan Si Rubah sudah berani bersuara keras. Mereka terang-terangan menggantungkan spanduk dan menyanyikan lagu meminta manajer asal Skotlandia itu segera angkat kaki. Tulisan di salah satu spanduk, "Roger Out" yang terbentang di Selhurst Park, akhirnya menjadi nyata.
Warisan Rodgers
Kekalahan dari Palace adalah kulminasi dari musim buruk Leicester. Hanya mampu meraih satu poin dari enam pertandingan terakhir. Pasca Piala Dunia, tim yang bermarkas di King Power Stadium itu hanya sanggup mengemas delapan angka. Palace menjadi salah satu tim terburuk jeda panjang itu.
Ketua Leicester, Aiyawatt Srivaddhanaprabha sesungguhnya masih belum sepenuhnya kehilangan kesabaran. Berbeda dengan para penggemar yang sepertinya tak lagi peduli dengan masa lalu sang pelatih.
Srivaddhanaprabha, yang dikenal sebagai Khun Top, masih memiliki keyakinan Rodgers bisa membawa timnya keluar dari kesulitan.
"Sudah menjadi keyakinan kami bahwa kesinambungan dan stabilitas akan menjadi kunci untuk mengoreksi arah kami, terutama mengingat pencapaian kami sebelumnya di bawah manajemen Brendan," tandas Srivaddhanaprabha dalam pernyataan menyusul akhir kerja sama dengan Rodgers, melansir dailymail.co.uk.Â
Namun, orang kaya asal Thailand itu tak bisa mengelak kenyataan buruk. Timnya seperti tidak memperlihatkan tanda-tanda baik. Apalagi sisa pertandingan musim ini makin sedikit.
"Sayangnya, peningkatan yang diinginkan belum terlihat dan, dengan 10 pertandingan tersisa musim ini, Dewan terpaksa mengambil tindakan alternatif untuk melindungi status Liga Premier kami."
Terlepas dari keputusan yang sudah dibuat, tim ini tetap patut mengiringi kepergian Rodgers dengan apresiasi. Di balik musimnya yang sial, ia sudah meninggalkan warisan berharga selama empat tahun masa kepelatihannya.
Tidak berlebihan menyebutnya sebagai salah satu pelatih terbaik dalam sejarah klub. Sejak ambil alih kursi pelatih dari Claude Puel pada Februari 2019, meninggalkan Celtic dengan tujuh trofi domestik, Rodgers sudah menorehkan sejarah indah.
Mereka memenangkan Piala FA pertama kali pada Mei 2021. Kemenangan dengan memperagakan sepak bola menyerang hingga membuat Chelsea bersama Thomas Tuchel harus bertekuk lutut satu gol tanpa balas di Wembley.
Finis di urutan kelima dalam dua musim beruntun. Seharusnya, mereka berada di Liga Champions.
Tidak sampai di situ. Mereka sanggup memenangkan Community Shield 2021. Hanya bersama Rodgers tim ini bisa memetik kemenangan sembilan gol tanpa balas atas sesama kontestan Liga Premier Inggris. Itu terjadi saat menggasak Southampton pada Oktober 2019.
Di kancah Eropa, meski tak sanggup berbicara banyak di level teratas yakni Liga Champions, setidaknya menginjak semifinal Liga Konderensi Eropa musim lalu sudah memberikan cerita tersendiri.
Mungkin saja, kenangan manis itu tetap tidak bisa menutupi sejumlah kenyataan buruk. Kalah memalukan 1-4 dari Nottingham Forest untuk mempertahankan Piala FA, takluk dari Tottenham Hotspur dalam 20 detik tersisa, juga pernah hanya mendapat satu poin dari tujuh laga dengan menjadi lumbung gol bagi lawan-lawannya.
Jalan ninja?
Rodgers pun tidak luput dari kritik atas strategi yang dilakukan di bursa transfer, baik dalam berbelanja maupun mengelola sumber daya yang sudah ada.
Leicester harus kehilangan kiper berpengaruh bernama Kasper Schemichel yang memilih hengkang ke Nice.
Wesley Fofana yang berkembang pesat sejak didatangkan dari St.Etienne pada Oktober 2020, namun mengalami cedera horor yang memaksanya melewatkan sebagian besar musim, kemudian dijual ke Chelsea pada tahun lalu, tepat di hari terakhir jendela transfer.
Di arah berbeda, di bursa transfer musim dingin awal tahun ini Rodgers mendatangkan Harry Souttar, Victor Kristiansen dan Tete. Namun, Rodgers tak mampu mendongkrak performa mereka.
Sementara itu, para pemain yang sudah ada, entah mengapa, seperti kehilangan pesona. James Maddison, Youri Tielemans, dan Harvey Barnes adalah beberapa contoh. Lini belakang Leicester sungguh memprihatinkan. Betapa mudahnya mereka kebobolan.
Secara keseluruhan, Leicester justru terjun bebas. Bukan lagi versi terbaik Leicester yang pernah menggemparkan Inggris itu. Rodgers seperti kehilangan sentuhan magisnya. Seperti kata Aiyawatt Srivaddhanaprabha semuanya jauh dari ekspektasi.
Kini, Leicester siap menyambut era baru. Entah siapa yang akan ditunjuk, tugas berat sudah menanti.
Target jangka pendek adalah mengembalikan kepercayaan diri para pemain agar bisa mengeluarkan kemampuan terbaik.
Ia harus membuat Leicester bisa bergeliat meski tidak harus segarang dua tahun lalu. Setidaknya, bisa mengeluarkan tim itu dari lembah keterpurukan.
Bos Leicester, Aiyawatt Srivaddhanaprabha merangkumnya demikian. "Tugas kami dalam 10 pertandingan terakhir sudah jelas. Kami sekarang harus bersatu - penggemar, pemain, dan staf - dan menunjukkan ketenangan, kualitas, dan perjuangan untuk mengamankan posisi kami sebagai klub Liga Premier."
Apakah akan semudah itu? Apakah pemecatan Rodgers, yang kembali merasakan hal yang sama seperti Oktober 2015 ketika didepak Liverpool, adalah jalan ninja klub?
Waktu akan menjawab!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H