Piala Dunia 2022 benar-benar menggapai klimaks. Puncak pertarungan menjadi juara dunia. Serentak (mungkin) menandai akhir sebuah debat siapa yang pantas menyandang status terbaik sepanjang masa.Â
Stadion Lusail, Doha, Qatar, Minggu (18/12/2022) malam hingga Senin (19/12/2022) dini hari WIB sungguh menyajikan partai final yang menegangkan dan menghibur.
Ketika babak pertama berakhir, kita mungkin saja berpikir laga telah usai. Namun, keunggulan Argentina dua gol, masing-masing melalui sepakan penalti Lionel Messi di menit ke-23 dan gol canting Angel Di Maria sembilan menit sebelum jeda, hanyalah awal cerita.
Sebab, Les Bleus perlahan-lahan bangkit. Kylian Mbappe yang tertekan, terisolasi, dan mungkin saja nyaris terperangkap dalam frustrasi seperti seniornya Olivier Giroud, kemudian menunjukkan pesonanya.
Bintang muda Paris Saint-Germain (PSG) yang memikul harapan segenap fan skuad Ayam Jantan perlahan-lahan menunaikannya. Saat Argentina bersia---siap menggelar pesta dengan sisa 10 menit di waktu normal, Mbappe mulai beraksi.
Dengan tenang mengeksekusi penalti di menit ke-80, lalu kembali memaksa Emiliano Martinez memungut bola dari dalam gawangnya hanya berselang satu menit. Skor pun berubah sama kuat.
Drama berlanjut ke babak tambahan waktu. Dengan 30 menit waktu tersisa, Tim Tango yang berusaha bangkit setelah mimpi indah sempat terganggu akhirnya kembali memimpin. Messi sekali lagi membuktikan dirinya dengan gol krusial di menit ke-108.
Apakah gol itu menjadi pamungkas? Ternyata tidak, kawan!
Prancis belum tamat. Cerita tentang Mbappe ternyata masih berlanjut. Ya, lagi-lagi Mbappe menjadi penyelamat.
Gol penalti di menit ke-118 tidak hanya menobatkannya sebagai pemain paling subur di turnamen ini sekaligus tercatat dalam lembaran sejarah Piala Dunia sebagai satu dari sangat sedikit pemain yang sanggup mengukir "hat-trick" di laga final.
Mbappe mengokohkan statusnya sebagai salah satu pemain hebat modern yang sanggup mencetak tiga gol di final Piala Dunia. Ia mengikuti Sir Geoff Hurst ketika Inggris mengalahkan Jerman Barat pada 1966.
Gol itu memaksa perebutan gelar juara berlanjut ke tahap terakhir. Adu penalti.
Dalam situasi menegangkan ini, nasib sebuah tim memang tak lagi bertumpu pada banyak orang. Kiper dan sang penendang adalah kunci.
Sayangnya, dua algojo Prancis yakni Kingsley Coman dan Aurelien Tchouameni tak mampu menaklukkan tembok kokoh Martinez. Sepakan Coman yang bermain untuk Bayern Muenchen berhasil diblok kiper 30 tahun itu. Sementara upaya gelandang muda Real Madrid justru tidak mengenai sasaran.
Situasi berbeda terjadi di kubu Argentina. Para eksekutor La Albicelester, berturut-turut Lionel Messi, Paulo Dybala, Leandro Paredes, dan Gonzalo Montiel nyaris tanpa kesulitan menaklukkan Hugo Lloris.
Dengan hanya bermodalkan gol Mbappe dan Randal Kolo Muani jelas tak cukup bagi Prancis. Argentina pun keluar sebagai pemenang dengan skor 4-2.
Faktor pembeda
Kedua tim menurunkan formasi terbaik, sama-sama mengusung skema 4-3-3. Emiliano ditopang Nicolas Taglifico, Nicolas Otamendi, Cristian Romero, dan Nahuel Molina.
Pelatih Lionel Scaloni kembali memberi tempat kepada dua gelandang muda yakni Alexis Mac Allister dan Enzo Fernandez ditemani Rodrigo De Paul. Mereka menopang trio Di Maria, Messi, dan Julian Alvarez.
Sementara Didier Deschamps coba memadukan para pemain muda dan senior termasuk yang sempat mengalami masalah kesehatan.
Theo Hernandez, Raphael Varane, Jules Kounde, dan Dayot Upamecano menjadi tumpuan di barisan pertahanan. Antoine Griezmann, Tchiuameni, dan Adrien Rabiot di lini tengah. Mbappe diapiti Ousmane Dembele dan Giroud di depan.
Pertama, Argentina justru mampu memainkan strategi dengan benar. Mereka tidak memberi ruang kepada para pemain Prancis untuk mengembangkan permainan.
Pressing ketat serta penguasaan lapangan yang baik dari Messi dan kolega memberikan keuntungan ganda. Mendikte pertandingan di satu sisi, plus mencuri sepasang gol di sisi berbeda.
Entah mengapa Prancis, yang tak sedikit pihak menjagokan mereka, justru kehilangan hampir segala hal. Mbappe dan Giroud terisolasi dan tidak mendapat ruang melakukan ancaman. Sokongan dari lini kedua pun minim. Praktis, paruh pertama sepenuhnya menjadi milik Argentina.
Kedua, kita mungkin sempat berpikir, pertandingan akan berpihak pada Argentina. Dengan permainan yang terorganisir, mengalir, dijalankan dengan penuh disiplin dan semangat tingkat tinggi, Argentina sudah berada di ambang juara.
Prediksi ini terbukti meleset ketika Prancis berhasil mendapat momentum bangkit di penghujung laga. Menurunnya tekanan dan agresivitas benar-benar memberi mimpi buruk bagi Argentina.Â
Terlihat jelas dalam perubahan raut wajah Angel Di Maria yang keluar lapangan lebih awal dengan semringah kemudian berganti tegang dan gelisah.
Memang Prancis adalah tim yang berbahaya bila mereka mendapat ruang dan kesempatan. Kehadiran Mbappe, juga sokongan darah muda yang begitu energik dalam diri Marcus Thuram dan Randal Kolo Muani membuat repot barisan belakang Argentina yang mulai kelelahan.
Argentina menunjukkan diri tidak hanya sebagai tim yang solid tetapi juga memiliki daya tahan yang panjang. Hal ini terlihat dengan gol ketiga saat "extra time" dan ketenangan mereka menghadapi drama penentuan.
Justru Prancis terlihat tidak siap untuk menghadapi pertarungan yang panjang dan melelahkan. Dalam situasi penuh tekanan saat menghadapi momen yang tidak hanya menuntut ketepatan mengambil keputusan tetapi juga ketenangan mengeksekusi, dua pemain Prancis tak berdaya.
Ketiga, secara individu kredit jelas diberikan kepada segenap tim Argentina. Mulai dari tim pelatih, para pemain utama, juga pemain pengganti. Memang tidak semuanya mendapat skor penilaian positif.
Tidak semua mereka menorehkan rapor bagus. Lautaro Martinez yang mendapat beberapa kesempatan setelah masuk menggantikan Julian Alvarez di menit ke-103 adalah contoh.
Namun, dengan kontribusi masing-masing, mereka berhasil menjaga nafas Argentina tetap panjang dan permainan tetap terkendali.
Argentina bisa mencatatkan "ball possession" 54 persen berbanding 46 persen, melepaskan 20 shots dan separuh dari antaranya mengenai sasaran.
Prancis yang tertekan sejak awal baru bisa melakukan ancaman serius setelah jeda. Sang juara bertahan mendapat lima "shots on target" dari 10 percobaan.
Statistik ini jelas menggambarkan banyak hal. Namun, dari data-data yang berpihak pada Argentina itu kita tak bisa menafikan peran Messi.
Pemain 35 tahun yang ikut membentuk soliditas, membangun barikade saat diserang, dan bergerak menerjang pada saat yang tepat.
Di usianya yang tidak muda lagi, Messi berhasil menjaga performanya tetap konsisten hingga laga penghabisan. Ia menumpahkan segenap tenaga untuk mengakhiri puasa panjang rakyat Argentina melihat lagi dari dekat trofi Piala Dunia yang terakhir kali mereka rengkuh pada 1986 silam.
Messi adalah maestro yang mengorkestrasi permainan Argentina. Ia adalah jenderal yang memimpin tim saat diserang dan menyerang. Ia adalah pemimpin bagi para pemain muda dan senior yang membentuk kekuatan Tim Tango.
Torehan dua gol dan ikut andil menciptakakan skema gol cantik adalah penanda. Tidak berlebihan, bila mantan pemain Barcelona yang dikira sudah tamat kariernya itu, didapuk sebagai pemain terbaik.
Kemilaunya tetap terlihat di antara para pemain muda, termasuk kompatriotnya di Paris Saint-Germain (PSG), Mbappe.
Seperti prediksi sebelumnya, final ini adalah pertarungan antara dua bintang berbeda generasi itu. Messi tetap bisa bersinar di usia yang tidak lagi muda.
GOAT?
Demikian pertanyaan di sela pesta kemenangan Argentina. Di tengah perayaan Argentina, Messi tertangkap kamera tengah berlutut sambil menangis. Ia mengangkat tangannya ke langit.
Pada kesempatan berbeda, sahabat karibnya, Sergio Aguero menggendong Messi yang tersenyum lebar dengan trofi di tangan dalam perarakan keliling stadion.
Penantian panjang Messi untuk trofi Piala Dunia akhirnya berakhir. Mimpi besarnya bersama para penggemar pun terwujud.
Di antara berderet prestasi individu dan gelar di level klub, Messi akhirnya bisa memungkasinya dengan gelar bergengsi untuk negaranya. Setelah Copa America 2021 dan Finalissima 2022, ia pun menutup perjalanan karier internasional dengan manis.Â
Pamungkas terbaik dan akan selalu dikenang sepanjang masa di antara tujuh Ballon d'Or, empat trofi Liga Champions, dan 10 gelar LaLiga, plus mahkota Ligue 1 Prancis bersama PSG.
Pencapaian paripurna untuk seorang Messi yang kini tidak diragukan lagi pantas menyandang status the real GOAT (Greatest of All Time), bukan?
Soal itu jelas tidak akan selesai begitu saja. Pantas atau tidak, juga sah atau belum, tidak ada yang bisa memastikan sepenuhnya. Pro dan kontra akan selalu membayang selama sepak bola masih bergeliat.
Terlepas dari itu, tidak ada kokok Ayam Jantan di Prancis pagi ini usai asa "back-to-back" juara pupus. Dunia sedang tertuju ke Argentina dengan Messi sebagai salah satu pusatnya.
Selamat Argentina! Come back stronger Prancis!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H