Kehadiran sosial media ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mendatangkan manfaat. Di sisi berbeda, bisa menjadi sumber petaka.
Dua sisi dari perangkat teknologi yang sama itu tidak terkecuali terjadi dalam konteks tragedi bencana alam di Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022) lalu.
Gempa bumi M 5.6 itu sudah merenggut nyawa 328 orang dan 12 di antaranya belum diketahui statusnya. Sebanyak 114.414 orang harus mengungsi. Angka tersebut diprediksi akan terus bertambah.
Di tengah derita dan simpati yang mengemuka dari mana-mana, tersiar sejumlah kabar kontradiktif yang membuat kita bertanya-tanya dan pada gilirannya hanya bisa mengelus dada.
Dari berbagai lini sosial media kita menangkap aneka potret kesulitan yang dialami di lokasi bencana. Ratap dan tangis orang-orang yang kehilangan sanak saudara dan materi. Perjuangan banyak orang untuk mengatasi berbagai keterbatasan agar bisa menjangkau titik-titik kritis yang terdampak.
Kita juga bisa menemukan dengan mudah soliditas dan solidaritas kepada para korban yang melampaui berbagai sekat, baik status sosial, pangkat, golongan, ras, agama, bahkan kewarganegaraan.
Berbagai unsur yang kerap memisahkan saya dan anda, kami dan kamu, kita dan mereka, melebur. Semua bergerak dalam dan atas nama kemanusiaan.
Di sisi berbeda, dalam situasi duka seperti ini, kita pun diinterupsi oleh kabar-kabar tak sedap. Isu-isu liar bermunculan mulai dari kristenisasi terselubung hingga penolakan terhadap relawan karena berbeda agama.
Akun Twitter @Yoaann misalnya, mengunggah cuitan begini.
"Akan lebih baik, yang saling tolong menolong di Cianjur baiknya sesama muslim deh jangan selain muslim. Di khawatirin kejadian kaya saya kemarin."