Sorot kamera menangkap mata seorang wanita di antara kerumunan penggemar yang memadati  Ahmed bin Ali Stadium , Jumat (25/11/2022) malam WIB. Di bawah sorot matanya tergurat air mata merah.
Ia dengan erat memegang kaus sepak bola. Bukan dengan nama salah satu pemain top Iran atau Wales yang tengah bertarung, sebagaimana lazimnya fan mendukung tim kesayangan.
Di sana tercetak nama "Mahsa Amini-22." Seorang pria di sebelahnya membentangkan slogan "women, life, freedom."
Mahsa Amini, 22, dan tiga kata kunci itu sesungguhnya bertautan erat. Bila kita mengikuti perkembangan politik Iran belakangan ini, maka dengan mudah kita temukan jawabannya.
Iran tengah bergolak. Mirisnya, antara pemerintah versus rakyatnya. Dipicu oleh kematian Mahsa Amini dalam tahanan pada September lalu.
Mahsa Amini, seorang wanita 22 tahun yang ditahan oleh polisi moral setempat karena diduga melanggar aturan ketat soal hijab.
Kematian wanita muda itu kemudian disambut protes luas. Masyarakat menggelar aksi protes. Mereka turun ke jalan. Para wanita tak segan melepas hijab dan memotong rambut mereka.
Aparat menanggapi aksi tersebut secara represif. Dengan dalih, seperti melansir bbc.com, kerusuhan yang diatur oleh musuh asing Iran, pemerintah tak segan bertindak tegas.
Pemerintah mengerahkan tank dan menggunakan kekerasan untuk menghadapi gelombang demonstrasi yang terus meluas dalam beberapa bulan terakhir.
Tidak hanya itu. Pemerintah, demikian postingan Agustinus Wibowo, penulis dan fotografer perjalanan yang dikenal dengan sejumlah opus magnum seperti "Selimut Debu," "Garis Batas", "Titik Nol", dan "Jalan Panjang untuk Pulang, di akun Instagramnya, juga memutus jaringan internet agar warga Iran tidak bisa berkomunikasi dan tersambung dengan dunia luar.
Hingga kini, protes massal yang disambut dengan brutal oleh rezim sudah memakan banyak korban. Menurut data aktivis hak asasi manusia, lebih dari 400 pengunjuk rasa meregang nyawa. Tak kurang dari 16.800 lainnya ditangkap.