Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Dari Ancaman Mati Listrik hingga Biaya Pemakaian, Ini Plus Minus Penggunaan Kompor Listrik

24 September 2022   06:37 Diperbarui: 27 September 2022   01:50 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kompor listrik: SHUTTERSTOCK/BRIZMAKER via Kompas.com

Dari wacana, kini mulai menjadi aksi. Rencana pemerintah mengkonversi kompor gas ke kompor listrik sudah bergerak ke tahap uji coba.

Melansir Kompas.com (21/9/2020), pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sudah dan sedang melakukan percobaan di sejumlah daerah seperti Denpasar dan Solo.

Pemerintah menargetkan 300 ribu penerima mendapat paket kompor listrik yang terdiri dari kompor listrik dua tungku, satu alat masak, dan satu MCB (miniature circuit breaker).

Mereka yang menerima manfaat satu paket kompor listrik siap pakai senilai Rp1,8 juta itu adalah yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). DTS merupakan "sistem data elektronik yang memuat informasi sosial, ekonomi, dan demografi sekitar 99 juta individu dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia."

Jelas dengan sendirinya yang menerima manfaat dari uji coba itu adalah kelompok masyarakat miskin. Para penerima tahap pertama ini masih belum seberapa dari jumlah keseluruhan yang terdaftar dalam DTKS.

Pemerintah sepertinya masih mencari model, mekanisme teknis, hingga respon masyarakat golongan bawah akan rencana beralih dari gas ke kompor listrik.

Hemat saya, bila diberi secara pro deo alias gratis, siapa pun akan menerima dengan senang hati. Namun, apakah upaya konversi itu akan mendapat sambutan luas dari semua lapisan masyarakat dan memiliki daya gerak dan berubah signifikan?

Dengan kata lain, apakah kompor elpiji 3 kg akan segera menjadi kenangan? Sambil mengucapkan sayonara, semua pihak akan kompak mengucapkan selamat datang pada kompor induksi sekitar 1.000 watt?

Soal itu hanya waktu yang bisa menjawab. Sementara ini kita bisa memprediksi apakah program di atas akan berhasil baik atau terhenti di tengah jalan dengan melihat sejauh mana perbedaan kedua jenis kompor itu.

Kekurangan

Bagi kalangan menengah ke atas, pilihan antara kompor gas dan kompor listrik hanya soal selera. Namun, tidak demikian bagi rakyat jelata yang tengah bergumul dengan banyak keterbatasan. Sebab, penggunaan kompor listrik tidak terlepas dari faktor-faktor makro mulai dari kondisi ekonomi hingga ketersediaan infrastruktur penunjang.

Pertama, biaya operasional meningkat. Pada tahap awal, para penerima bantuan paket gratis dari pemerintah belum merasakan risiko sesungguhnya.

Tagihan listrik akan dengan sendirinya membengkak. Selama masa pakai, biaya engoperasian bakal lebih tinggi.

Melansir Energy Guide, sebuah situs web yang menyediakan informasi tentang pilihan dan efisiensi energi, biaya tahunan untuk mengoperasikan kompor listrik bisa lebih dari dua kali lipat biaya pengoperasian model gas.

Bisa dibayangkan tanggung jawab masyarakat yang memiliki biaya hidup terbatas. Mereka harus memutar otak untuk mendapat tambahan pemasukan agar bisa mencukupi kebutuhan, termasuk memastikan asap dapurnya bisa tetap mengepul.

Kedua, ketergantungan pada listrik sebagai sumber daya utama dan satu-satunya. Dengan demikian, aliran listrik perlu tercukupi dan dijauhkan dari berbagai gangguan seperti mati listrik.

Bisa dibayangkan nasib kelompok masyarakat yang mendiami daerah yang belum terkoneksi sambungan listrik dan mereka yang sering menghadapi masalah dengan catu daya.

Pemadaman listrik perlu ditekan ke titik minimal. Berbagai hambatan, mulai dari pasokan, hingga ancaman cuaca, harus dimitigasi.

Di sisi lain, tingkat elektrifikasi di Indonesia harus digenjot ke titik maksimal. Bila tidak, maka upaya konversi di atas hanya terdengar sebagai lelucon. Mau beralih ke kompor listrik, sementara ketersediaan listrik sendiri masih jauh dari kata memadai.

Ketiga, ini soal teknis. Mengandaikan dua hal pertama teratasi. Tidak sedikit yang mengeluh kompor listrik memiliki hambatan dalam mendistribusikan suhu secara merata. Gulungan yang tidak rata menyebabkan suhu tidak konsisten di semua permukaan. Hasil memasak akan berpengaruh, ada bagian yang gosong, sementara di sisi lain kurang matang.

Selain itu, ada penilaian waktu pemanasan pada kompor listrik lebih lama. Pembakaran di atas kompor listrik dinilai membutuhkan waktu lebih lama. Jadi, butuh waktu memasak lebih lama karena harus menunggu sampai mencapai suhu yang sesuai.

Keunggulan

Soal-soal teknis di atas sepertinya tidak mutlak. Bisa saja ada yang tidak sependapat dengan klaim distribusi suhu dan waktu pemanasan pada kompor listrik.

Sebaliknya, ada yang menganggap tekanan gas terkadang tidak merata sehingga mempengaruhi nyala api. Bila api tidak merata, maka tingkat kematangan makanan berpengaruh. Satu sisi matang, sementara sisi lain tidak. Pemanasan efektif justru ada pada kompor listrik.

Kompor listrik juga dinilai lebih menjamin dapur tetap bersih. Asap pembakaran kompor listrik tidak membuat dinding dan lemari kotor.

Selain itu, kompor listrik dianggap lebih mudah dibersihkan. Pembersihannya pun lebih mudah dan tidak memakan waktu lama.

Begitu juga soal biaya. Berapa harga tabung gas saat ini? Berapa ongkos yang harus dikeluarkan untuk isi ulang gas dan mengganti regulator? Bila ditotal, seberapa besar pengeluaran biaya operasional kompor gas dibanding kompor listrik?

Soal ini tentu membutuhkan pengamatan mendalam. Sebab, muncul pula pandangan, kompor listrik dianggap lebih baik dibanding kompor gas dalam hal pengeluaran.

Harga kompor listrik cukup rendah meski beberapa model lebih mahal. Namun, tersedia banyak pilihan untuk menekan anggaran.

Bagaimana pengalaman Anda menggunakan kompor gas? Sudah siap beralih ke kompor listrik? Bila Anda sudah beralih ke kompor listrik, bagaiamana suka-dukanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun