Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Habis Bjorka, Muncullah "Hacker Phobia"

17 September 2022   06:47 Diperbarui: 18 September 2022   08:07 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hacker, dark web.(SCMP) via Kompas.com

 

Ada banyak ketakutan berlebihan yang kadang tidak kita pikirkan dan sadari. Keanehan yang lebih aneh.

Ketakutan terhadap selai kacang yang menempel pada dinding mulut bagian atas yang kemudian disebut arachibutyrophobia.

Terus-menerus memperhatikan pakaian jangan sampai ada helai rambut yang luruh. Hadirlah trichophobia yang berakar dari kata Yunani thrix yang berarti "rambut" untuk menyebut ketakutan berlebihan pada rambut rontok.

Ada lagi no mobile phone phobia  yang disingkat nomophobia untuk menggambarkan kepanikan akan telepon genggam yang tak terjangkau jaringan, kehabisan pulsa, apalagi kehabisan daya sampai mati sama sekali.

Apakah ada fobia terhadap kaca? Ya, namanya spectrophobia. Ada juga ketakutan tak berdasar untuk dipandang sehingga memilih menghindari tempat-tempat umum. Itulah scopopobhia. 

Adakah yang akhir-akhir ini merasa tak nyaman seiring ramainya pemberitaan tentang Bjorka, si peretas itu?

Bila hanya sekadar tak nyaman, hemat saya, hampir semua mengalaminya. Tidak hanya karena ulah hacker itu yang membuat publik akhirnya tahu beberapa informasi pribadi dari sejumlah pejabat publik yang selama ini begitu dihormati. Kemudian memantik orang-orang penting di negeri ini angkat bicara. Saling teror pun terjadi.

Juga, tidak sedikit yang merasa terganggu dengan lalu lintas informasi tentang itu hampir di semua lini, baik itu sosial media, media arus utama, hingga percakapan-percakapan di warung kopi.

Di mana-mana orang berbicara tentang Bjorka. Berbagai dugaan, analisis, hingga prediksi mengemuka. Aneka sisi Bjorka dikupas, entah wajah, topeng, jari, hingga asal-usulnya.

Sayangnya, tidak sedikit informasi yang beredar itu masih simpang siur, diragukan kebenarannya, bahkan jelas-jelas tak berdasar. Drama salah tangkap juga terjadi. Dagelan demi dagelan bermunculan.

Jujur, tidak semua orang tertarik untuk terus-menerus berbicara tentang Bjorka. Tidak semua orang pula pada akhirnya mampu berdamai dengan keadaan yang penuh tanda tanya itu.

Malah ada yang kemudian mulai dirasuki perasaan cemas: jangan-jangan pada waktunya data-data pribadinya juga bakal diretas. Apakah Anda salah satu yang merasakannya?

"Hacker phobia"

Gal Ringel menulis satu artikel menarik. Judulnya, "hacker phobia-coping with the fear of getting hacked" yang dipublikasikan di blog.saymine.com, Oktober 2020.

Konteks tulisan itu memang tidak secara khusus tentang Bjorka. Namun, ada sisi menarik dari tulisan itu yang sekiranya masih relevan hingga saat ini.

Ia mempertanyakan apakah ada gejala mental baru yang menampilkan paranoia seiring merebaknya masalah keamanan siber dan meluasnya publikasi terkait fenomena tersebut.

Ketakutan berlebihan akan pelanggaran privasi oleh orang-orang yang tak dikenal di jagad maya yang mahaluas dan tak bertepi itu.

Ketakutan yang menjalar setelah melihat jutaan file bocor ke publik, lantas menjadi konsumsi miliaran orang dan membuat jutaan orang harus menghadapi berbagai risiko baik secara fisik, finansial, politik, hingga emosional.

Ketakutan jangan-jangan pada gilirannya kemalangan itu akan datang menerjang, entah baik atau tidak baik waktunya, membuat ruang-ruang pribadi ambruk tak bersekat.

Soal ini memang masih harus ditelisik lebih jauh. Entah ada gejala fobia mutakhir pada peretas alias "hacker phobia."

Namun, sang penulis mengemukakan contoh dari penelitian yang dilakukan di Australia. Dari lima ketakutan dan fobia utama penduduk di sana, ketakutan pada peretas menempati urutan kelima setelah ular, laba-laba, ketinggian, dan hiu.

Para responden merasa takut bahwa tindakan mereka di tempat kerja akan menyebabkan kebocoran data yang bisa berpengaruh pada lembaga di mana mereka bekerja.

Dari situ berkembang kekhawatiran akan keamanan data pribadi. Bahwa ponsel mereka sedang dalam ancaman bakal dibobol dan kemudian bisa jatuh ke tangan yang salah.

Tentu fobia yang satu ini masih perlu didalami. Sepintas orang bisa menepis dan menganggapnya tak berdasar. Itu sekadar akal-akalan saja.

Namun, soal ini tetap patut ditanggapi serius. Jurnalis teknologi, Mike Pearl dalam wawancaranya dengan berbagai pakar keamanan untuk mengulik berbagai jenis stres, ditemukan kenyataan bahwa ketakutan akan diretas berada pada skala 4 dari 5. Artinya jelas, ketakutan terhadap hal itu sungguh menguras emosi bahkan bisa mengguncang jiwa.

Gal Ringel kemudian membuat pemetaan untuk mendiagnosis fobia peretas itu. Menurutnya, orang yang mengalami fobia jenis itu bisa dikenali dari beberapa ciri berikut.

Pertama, ketakuan berlebihan yang membuat orang sampai mencurigai setiap email, formulir, hingga tuatan yang ditemui.

Kedua, menghindari teknologi dan memilih untuk tidak berbelanja online misalnya, karena takut diretas atau ditipu.

Ketiga, panik saat berinteraksi dengan jenis teknologi tertentu atau ketika harus memberikan informasi tertentu secara online langsung membuat tekanan darah meroket.

Memang tidak semua orang bisa langsung familiar dengan teknologi dan aktivitas di dunia maya. Terkadang muncul kecemasan dan frustrasi ketika menghadapi teknologi terbaru dan prosedur digital tertentu.

Namun, bila sudah sampai memengaruhi psikologi secara berlebihan, maka patut disadari jangan-jangan seseorang sudah jatuh dalam hacker phobia.

Menjadi tuan

Terkadang sulit dibedakan antara waspada dan membiarkan rasa takut menguasai diri. Gal Ringel membuat perbandingan yang menarik.

"Haruskah kita waspada dan prihatin tentang kecelakaan mobil? Sangat. Haruskah kita menjauh dari jalan? Benar-benar tidak."

Menurutnya, hal penting saat menghadapi fenomena seperti ini adalah berusaha untuk mengelola rasa takut tersebut dan jangan biarkan rasa takut itu sampai menguasai diri.

Bisa jadi seseorang sudah sampai pada taraf delusi diretas sehingga perlu berkonsultasi dengan pihak berkompeten.

Khawatir jelas wajar dan sangat manusiawi. Tidak ada seorang pun yang kebal terhadap ancaman. Namun, penting untuk mengelola informasi secara baik, sambil melindungi dan mengelola data pribadi secara hati-hati.

Internet adalah medan tanpa sekat yang siapa saja bisa tergelincir dan hadirnya segala kemungkinan yang terkadang tidak sempat kita pikirkan. 

Hacker phobia terkadang dipicu oleh pemberitaan yang masif sampai-sampai membuat orang kehilangan akal sehat dan jatuh dalam ketakutan tak berdasar. Hadirnya sosial media dan berbagai media baru membuat orang seperti berlomba-lomba berkecimpung dan memproduksi kecemasan hingga ketakutan massal.

Apakah di hadapan Bjorka, kita harus menyerahkan diri untuk dikuasai rasa takut berlebihan? Atau jangan-jangan hacker phobia itu sedang menyerang seiring kepak sayap Bjorka yang semakin menjadi-jadi?

Kita mestinya menjadi tuan atas diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun