Namun, sang penulis mengemukakan contoh dari penelitian yang dilakukan di Australia. Dari lima ketakutan dan fobia utama penduduk di sana, ketakutan pada peretas menempati urutan kelima setelah ular, laba-laba, ketinggian, dan hiu.
Para responden merasa takut bahwa tindakan mereka di tempat kerja akan menyebabkan kebocoran data yang bisa berpengaruh pada lembaga di mana mereka bekerja.
Dari situ berkembang kekhawatiran akan keamanan data pribadi. Bahwa ponsel mereka sedang dalam ancaman bakal dibobol dan kemudian bisa jatuh ke tangan yang salah.
Tentu fobia yang satu ini masih perlu didalami. Sepintas orang bisa menepis dan menganggapnya tak berdasar. Itu sekadar akal-akalan saja.
Namun, soal ini tetap patut ditanggapi serius. Jurnalis teknologi, Mike Pearl dalam wawancaranya dengan berbagai pakar keamanan untuk mengulik berbagai jenis stres, ditemukan kenyataan bahwa ketakutan akan diretas berada pada skala 4 dari 5. Artinya jelas, ketakutan terhadap hal itu sungguh menguras emosi bahkan bisa mengguncang jiwa.
Gal Ringel kemudian membuat pemetaan untuk mendiagnosis fobia peretas itu. Menurutnya, orang yang mengalami fobia jenis itu bisa dikenali dari beberapa ciri berikut.
Pertama, ketakuan berlebihan yang membuat orang sampai mencurigai setiap email, formulir, hingga tuatan yang ditemui.
Kedua, menghindari teknologi dan memilih untuk tidak berbelanja online misalnya, karena takut diretas atau ditipu.
Ketiga, panik saat berinteraksi dengan jenis teknologi tertentu atau ketika harus memberikan informasi tertentu secara online langsung membuat tekanan darah meroket.
Memang tidak semua orang bisa langsung familiar dengan teknologi dan aktivitas di dunia maya. Terkadang muncul kecemasan dan frustrasi ketika menghadapi teknologi terbaru dan prosedur digital tertentu.
Namun, bila sudah sampai memengaruhi psikologi secara berlebihan, maka patut disadari jangan-jangan seseorang sudah jatuh dalam hacker phobia.