Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Sejarah Baru Ancelotti dan 4 Sebab Keruntuhan Manchester City di Santiago Bernabeu

5 Mei 2022   10:36 Diperbarui: 6 Mei 2022   09:53 1183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelatih Real Madrid Carlo Ancelotti memeluk striker senior Karim Benzema seusai laga pekan ke-34 Liga Spanyol antara Real Madrid dan Espanyol di Stadion Santiago Bernabeu, Madrid, Sabtu (20/4/2022) malam. Kemenangan atas Espanyol memastikan Real merebut gelar juara La Liga untuk ke-35 kali. Foto: AP PHOTO/BERNAT ARMANGUE via Kompas

"Sejarah klub ini membantu kami untuk terus berjalan ketika sepertinya kami sudah tersisih." (Carlo Ancelotti)

 Pertandingan leg kedua babak semifinal Liga Champions Eropa antara Real Madrid versus Manchester City, Kamis (5/5/2022) dini hari WIB sungguh mengejutkan.

Kejutan yang diberikan tuan rumah Madrid di penghujung laga membuat para penggemar City sungguh terguncang.

Sebelum laga ini, City dalam posisi unggul berkat kemenangan 4-3 di leg pertama pekan lalu. Kemenangan di Etihad Stadium itu membuat City hanya perlu hasil imbang untuk menyusul Liverpool ke Paris.

Posisi The Citizen semakin di atas angin setelah mereka sukses memainkan babak pertama yang apik dan menandai awal paruh kedua dengan gol cantik Riyad Mahrez yang menuntaskan umpan Bernardo Silva dari skema serangan balik.

Manchester City sepertinya sudah siap memikirkan bagaimana menghadapi Liverpool di partai final nanti setelah mampu menjaga keunggulan hingga sebelum waktu normal usai.

Sayangnya, enam menit terlalu panjang bagi Madrid. Rentang waktu tersebut cukup bagi mereka untuk mengejar ketertinggalan dan membalikkan keadaan. Itulah saat-saat yang menandai keruntuhan City!

Madrid mulai bangkit dari jurang kekalahan melalui pemain pengganti, Rodrygo Goes. Penggawa asal Brasil itu mulai membuat perbedaan. Mula-mula menuntaskan umpan silang Karim Benzema yang cerdik melepaskan diri dari jebakan offside. Sambarannya tak berhasil digagalkan Ederson Moraes.

Sembilan puluh detik kemudian pemain bernama lengkap Rodrygo Silva de Goes kembali mencatatkan namanya di papan skor.  Kecermatannya membaca ruang dan peluang membuatnya bisa dengan tenang menyelesaikan umpan silang Dani Carvajal.

Pertarungan menentukan terjadi di babak tambahan waktu. Momentum sudah berpindah ke tangan Madrid. Kesalahan fatal Ruben Dias di kotak terlarang berakibat hadiah penalti. Bek asal Portugal itu melanggara Karim Benzema. Benzema sendiri yang bangkit menjadi eksekutor dan sukses mengubah akhir cerita.

Sisa waktu di babak tambahan yang jauh lebih panjang dari sekitar lima menit yang dibutuhkan Madrid tidak bisa dimanfaatkan City untuk mencetak gol tambahan. Masuknya Raheem Sterling menggantikan Rodri tak berhasil mengubah keadaan.

City  nyaris memperkecil kedudukan di akhir babak tambahan pertama. Namun, tandukan Phil Foden masih bisa ditepis Thibaut Courtois. Bola muntah yang mengarah ke kaki Fernandinho tidak berhasil dimaksimalkan. Tendangan pemain Brasil itu justru melebar.

Situasi tak banyak berubah di babak tambahan waktu kedua. Kedua tim terus berupaya mengamankan pertahanan sambil menekan mencari peluang.

Upaya City semakin sulit di lima menit terakhir pertandingan setelah Carlo Ancelotti membentengi pertahanannya dengan tambahan dua amunisi baru yakni Lucas Vazquez dan Jesus Vallejo. Strategi jitu yang membuat gawang Madrid aman hingga wasit meniup peluit panjang.

Pelatih Man City Pep Guardiola memberikan instruksi kepada Phil Foden: AFP/OLI SCARFF via Kompas.com
Pelatih Man City Pep Guardiola memberikan instruksi kepada Phil Foden: AFP/OLI SCARFF via Kompas.com

Sebab keruntuhan City

Para penggemar City tentu tidak menyangka hasil akhir akan berbeda. Kans lolos ke partai final yang sudah terbuka lebar dengan keunggulan dua gol akhirnya runtuh di penghujung laga. Harapan untuk lolos ke final Liga Champions untuk kedua kalinya secara beruntun, pun pupus. Dari unggul 4-3, berbalik tertinggal dengan agregat 5-6.

Statistik menguggulkan City dengan "ball possession" 56 persen berbanding 44 persen. Begitu juga dari sisi peluang.  Para pemain City membuat Courtois harus banyak bekerja keras dengan melepaskan 15 percobaan dengan 10 di antaranya tepat sasaran.

Madrid hanya memiliki separuh "shots on target" dari yang dimiliki City dari 14 kali usaha, namun bisa berujung tiga gol krusial.

Secara khusus, dari pandangan mata penonton via layar televisi, kedua tim memang memperagkan pertandingan yang menghibur. Kecepatan dan aksi-aksi individual menghiasi lag aini bahkan hingga pertandingan usai.

Kita memang sempat merasa pertandingan akan berakhir di waktu normal. Ternyata Madrid berhasil menghadiahkan tambahan waktu tontonan yang mendebarkan bagi para penikmat hingga pertandingan benar-benar usai.

Namun, demikian ada sejumlah detail yang pada akhirnya membuat hasil akhir sungguh mencengangkan.

Pertama, efektivitas. City boleh menguasai pertandingan. Kevin De Bruyne dan kawan-kawan boleh saja membuat Courtois lebih sibuk dari Ederson, terutama di babak pertama.

Namun, dari berbagai upaya di babak pertama melalui Mahrez, De Bruyne, Silva, hingga Foden, tak satu pun yang berakhir gol.

Begitu juga di menit akhir pertandingan, tembakan Jack Grealish berhasil digagalkan Ferland Mendy dan aksi Courtois benar-benar menyelamatkan gawangnya. Satu-satunya penyelematan Ederson di waktu normal adalah upayanya menggagalkan "hat-trick" Rodrygo.

Kedua, mentalitas. City memang siap untuk menampilkan permainan apik. Namun, mereka sepertinya tidak siap ketika Benzema mencetak gol yang membuat Madrid menarik pendulum kemenangan ke arah mereka.

Gol ini benar-benar memukul City. Sampai-sampai kita tak melihat para pemain City ingin bangkit. Saat peluit akhir dibunyikan para pemain terpaku seperti tanpa emosi.

Di sisi berbeda, para pemain Madrid menunjukkan itu. Mereka sudah mengalami sejumlah situasi sulit sejak babak-babak sebelumnya.

El Real hampir tersingkir di babak 16 besar. Namun, mereka berhasil bangkit dari ketertinggalan 0-2. Di babak perempat final situasi tak jauh berbeda. Dalam posisi tertinggal, Rodrygo memaksa pertandingan berlanjut ke perpanjangan waktu dan Benzema akhirnya menunjukkan tuahnya dengan gol di menit-menit akhir.

Bila Liverpool sebelumnya menyandang predikat sebagai "raja comeback" dan itu terjadi beberapa musim lalu saat menghadapi Barcelona, maka musim ini sebutan tersebut sepertinya lebih tepat diberikan kepada Madrid.

Madrid menunjukkan itu dalam tiga laga besar yang mencengangkan. Dan sebutan itu masih akan bertahan hingga ada tim lain yang bisa menunjukkan dengan cara yang lebih dramatis dan konsisten.

Madrid sepertinya sudah terbiasa menghadapi situasi penuh tekanan. Mereka pun sudah tahu bagaimana caranya bangkit.

Ketiga, pergantian pemain. Rio Ferdinand memuji kecerdasan Ancelotti dalam hal ini. Keputusan Don Carlo memasukan Rodrygo di menit ke-68 menggantikan Toni Kross terbukti efektif. Ini salah satu contoh, tetapi bukan satu-satunya.

Nama besar

Keempat, faktor lain yang tak bisa kita elakkan adalah nama besar. City sudah diakui sebagai penguasa Liga Primer Inggris. Tetapi mereka belum menunjukkan tajinya di pentas Eropa.

City memiliki lima gelar Liga Primer Inggris dan butuh empat kemenangan lagi untuk meraih yang keenam. Namun sejak, diambil alih konsorsium Abu Dhabi pada 2008, wajah City sungguh berubah di kancah domestik, tetapi tidak di Eropa.

Belum ada trofi "Si Kuping Lebar" yang mengisi lemari prestasi City. Kesempatan emas untuk naik level musim lalu ternyata kandas di tangan Chelsea. Kekalahan 0-1 di Porto membuat City masih harus berpuasa gelar Eropa. Masa puasa itu ternyata masih berlanjut.

Tidak demikian dengan Madrid. Mereka akan menjemput gelar ke-14 sekaligus berusaha menjauh dari Liverpool yang mengincar gelar ketujuh.

Ancelotti, menukil bbc.com, mengakui masa lalu dan nama besar itu sungguh berpengaruh. Ia seperti energi tersendiri yang memompa semangat para pemain yang sepertinya ingin menyerah.

"Sejarah klub ini membantu kami untuk terus berjalan ketika sepertinya kami sudah tersisih."

Sejarah baru Ancelotti

Madrid yang terus berpelukan dengan sejarah kejayaan, begitu juga Ancelotti. Setelah periode pertamanya yang ditandai dengan "La Decima" alias gelar ke-10 Liga Champions, kini Ancelotti siap memberi Madrid gelar ke-14.

Pekan lalu, Madrid sudah berpesta untuk kesuksesan menjuarai LaLiga. Itulah gelar ke-35 mereka sekaligus terbanyak dibanding tim-tim lain di Spanyol. Itulah gelar Ancelotti di LaLiga, setelah merasakan manisnya menjadi juara Serie A, Liga Primer Inggris, Ligue 1 Prancis, hingga Bundesliga Jerman. Belum ada pelatih yang mampu meraih kesuksesan di lima liga top Eropa.

Kini, ia mengukir sejarah baru lagi. Menandai jejak kepelatihan pria 62 tahun itu.  Ia menjadi pelatih pertama yang lima kali tampil di final Liga Champions, mengungguli Marcello Lippi dan Alex Ferguson.

Sebelum mengantar Madrid ke final edisi 2021/2022, Ancelotti tiga kali melakukannya bersama AC Milan pada 2002/2003, 2004/2005, dan 2006/2007, serta sekali bersama Madrid pada 2013/2014.

Bila periode pertama di Madrid berakhir manis, apakah akan berulang lagi kali ini?

Kita lihat saja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun