Hanna mengatakan sebagai pendiri dan kepala pengembangan komunitas dan kerja sama, ia tidak hanya berurusan dengan mitra dari kalangan pemerintah dan bisnis, tetapi juga dari kalangan masyarakat lokal.
Perjuangannya ingin membuktikan bahwa seorang istri bisa mendapatkan penghasilan sendiri dengan tanpa harus bergantung pada suaminya.
Apakah dengan demikian Du Anyam sama sekali anti-kaum pria? Ternyata tidak. Hanna berkata, "Dalam beberapa bagian dari supply chain atau rantai pasok ada peran penting kaum pria. Misalnya, untuk mendapatkan bahan baku tertentu hanya bisa mengandalkan kaum pria."
Perjuangan melestarikan apalagi mengangkat karya lokal ke tingkat nasional dan global butuh waktu dan proses. Bahkan tantangan bisa datang dari lingkungan sendiri, termasuk generasi muda.
Menggunakan berbagai produk kerajinan daerah dianggap ketinggalan zaman. Anak-anak muda lebih tergoda untuk mengenal budaya barat atau Korea ketimbang hasil karya seni dari daerah sendiri.
Hanna menemukan saat ini begitu sulit mendapatkan pengrajin berusia muda. Mayorita pengrajin berusia di atas 40 tahun. Situasi ini bila tidak segera disikapi maka kita akan kehilangan generasi penerus.
"Anak-anak muda menganggap menganyam tidak keren," ungkap Hanna sambil menambahkan kuatnya pengaruh budaya asing bagi kehidupan generasi muda.
Selain itu, akses pasar baik lokal maupun nasional masih terbatas. Pihaknya sudah berupaya untuk membangun kerja sama dengan sejumlah brand di Jakarta agar produk-produk lokal bisa go nasional.
Terbukanya jaringan pasar akan sangat membantu menjaga kekayaan budaya. Hanna berpendapat, "Produk akan lestari ketika menghasilkan nilai ekonomi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H