Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Kisah Sekeping Emas Susanti Ndapataka dan Mobil Pikap Usang di Negeri Miskin Apresiasi

13 Oktober 2021   21:20 Diperbarui: 14 Oktober 2021   08:12 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak tengah pekan lalu, tepatnya Rabu (6/10/2021) pagi, jagat sosial media, khususnya di lingkungan warga Nusa Tenggara Timur (NTT) dihebohkan dengan kiriman sejumlah foto dan video terkait Susanti Ndapataka.

Susanti adalah atlet muay thai NTT yang meraih medali emas di kelas 60 kg putri di PON XX Papua sehari sebelumnya. Sejak pesta olahraga tingkat nasional resmi dibuka, Sabtu (2/10/2021), Susanti menjadi pembuka keran medali emas NTT.

Sekeping emas dari Susanti menambah perbendaharaan medali kontingen NTT saat itu menjadi tiga. Satu emas, satu perak, dan satu perunggu.

Sebelumnya, tim kriket putra meraih perak di nomor Super Eight Men. Di partai final, tim NTT menyerah dari DKI Jakarta, 122-89. 

Medali perunggu disumbangkan Yuliana Ina Umbu Dewa dari cabang olahraga (cabor) wushu sanda di kelas 60 kg putri. Yuliana gagal melangkah ke final usai kalah angka dari atlet Jawa Tengah, Thania Kusumaningtyas.

Seiring berjalannya waktu, pundi-pundi medali NTT terus bertambah. Terkini, hingga Rabu (13/10/2021) malam, NTT sudah menyabet lima medali emas, tujuh perak, dan lima perunggu.

Jejak Susanti kemudian diikuti Yoseph Amormeus yang berjaya di cabor tarung derajat kelas 52,1 kg-55 kg putra, atlet pencak silat Jeni Elvis Kause yang memenangkan kelas B (50 hingga 55 kg) putri, Yustino Elmaser dan Dionisius Ramli dari cabor kempo nomor embu pasangan 1-DAN putra, serta Lazim Djati dari cabor kempo nomor randori kelas 60 kg putra.

NTT sementara ini menempati posisi ke-19 klasemen PON XX Papua sampai Rabu (13/10/2021) pukul 21:14 WIB: https://games.ponxx2021papua.com/medals
NTT sementara ini menempati posisi ke-19 klasemen PON XX Papua sampai Rabu (13/10/2021) pukul 21:14 WIB: https://games.ponxx2021papua.com/medals

Lantas, apa yang membuat Susanti menjadi buah bibir? Bukan terutama raihan medali emas yang menandai sejarah tersendiri bagi olahraga NTT, tetapi soal apresiasi yang kemudian ia terima.

Seperti terlihat di berbagai foto dan potongan video yang beredar luas, apa yang terjadi pada Susanti dan rombongan setelah tiba di Bandara El Tari Kupang, dianggap menyedihkan.

Merujuk berbagai pemberitaan, Susanti dan pelatihnya sempat dijemput oleh pengurus KONI NTT, berikut anggota keluarga, dan sejumlah komunitas. Ada foto bersama terjadi di terminal kedatangan bandara terbesar di NTT itu.

Namun, yang terjadi setelah itu dianggap tak pantas, lantas memantik beragam komentar. Alih-alih menggunakan kendaraan yang layak, mereka justru menumpang sebuah mobik pikap using. Tujuannya, kembali ke kamp pelatihan di Oetete, Kota Kupang.

Sejumah komentar pedas mengemuka di berbagai lini sosial media. Ada yang menilai tak pantas atlet yang telah mengharumkan nama daerah mendapat perlakukan seperti itu. Ada yang lebih ekstrem lagi. Saking kecewa, ada netizen yang meminta sang atlet pindah provinsi agar mendapat apresiasi yang sepantasnya.

Masih banyak ragam komentar atas sejumah potret yang beredar itu. Laiknya netizen umumnya tentu tak ada yang bisa mengendalikan apalagi membungkam mereka.

Kelompok yang jatuh hati dan menaruh prihatin sebenarnya ingin mempertanyakan sejumlah hal. Mulai dari soal koordinasi antarperangkat terkait hingga soal perlakuan terhadap para atlet dan pihak-pihak terkait yang telah bertarung membawa nama daerah.

Tentang acara penjemputan dan bagaimana mereka disambut sepulang dari medan laga adalah salah satunya. Dari sini mulai berkembang ke berbagai hal baik yang sifatnya substantif maupun superfisial.

Konteks

Patut diakui berbagai gambar dan video itu belum mewakili kenyataan sesungguhnya. Apa yang ditangkap kamera belum menyatakan keseluruhan. Itu hanya sebagian dari gambar besar yang terjadi.

Untuk itu, penting kita melihat konteks, alih-alih hanya terpenjara pada penggalan teks atau potongan gambar. Soal teknis penjemputan itu kita bisa merujuk pada keterangan dari pihak pemerintah dan atlet bersangkutan.

Dalam keterangan resmi, Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) mengatakan pihaknya sudah menyiapkan acara penjemputan. Seperti rilis yang disampaikan Sekretaris Dispora NTT, Willem Enga, mereka sudah berada di bandara 30 menit sebelum pesawat yang membawa Susanti Ndapataka dan rombongan mendarat.

"Setelah keluar dari ruang tunggu, kami lakukan penjemputan dan pengalungan bunga. Kami tawarkan berkali-kali kepada atlet, manajer serta pelatih untuk bersama-sama (dengan kami) ke GOR tapi pelatih bilang, biar kami dengan komunitas yang jemput."

Demikian Willem Enga melansir Kompas.com. Sekali lagi ia menekankan, "Namun sekali lagi pelatih tetap memilih untuk bersama komunitas Sumba dan Laskar Timor serta memakai tumpangan pick up yang disediakan komunitas tersebut dan langsung menuju ke camp latihan. Kami pun turut serta mengantar mereka."

Angga Silitonga, pelatih Susanti Ndapataka yang turut angkat bicara, menyampaikan keterangan yang jauh berbeda. Seperti kata Willem, pihak Anggalah yang memilih untuk menumpang kendaraan yang disiapkan komunitas.

Dalam dialek Kupang, Angga mengatakan seperti ini. "Sonde (baca: tidak) enak, hanya karena pemda atau pejabat yang datang terus beta pu kawan dong yang su dengan swadaya sendiri mau datang terus beta kas tinggal sa begitu, beta rasa sonde pantas, makanya sampai terakhir dong tanya pun saya bilang ketong ada siap oto bak terbuka."

Hanya saja, Angga membayangkan kendaraan yang disiapkan itu tidak seperti itu. "Cuman permasalahannya mungkin ketong sonde membayangkan yang seperti ini."

Ya, seperti Angga yang merasa kaget dan tak menyangka bakal menumpang kendaraan seperti itu, persis seperti itu titik sorot warganet NTT khususnya, lantas menjadi viral. Pemberitaan media nasional pun menjadikan "pikap" atau "pikap using" sebagai kata kunci.

Miskin apresiasi

Apakah menumpang pikap adalah sesuatu yang tercela? Apakah seorang atlet, termasuk yang berprestasi sekalipun, pantang dinaikan ke jenis kendaraan seperti itu?

Soal kepantasan ini bisa diperdebatkan. Hal-hal terkait tindakan etis masih bisa kita pertanyakan. Namun, hemat saya, ada hal yang sebenarnya jauh lebih mendasar.

Pikap itu sebenarnya adalah representasi soal penghargaan. Apresiasi atas kerja keras, perjuangan, dan pengorbanan seorang atlet yang masih menjadi barang langka di republik ini.

Wajar bila kemudian dinilai tak pantas bila membandingkan dengan penghargaan yang diterima atlet-atlet dari daerah lain atau negara lain yang disambut dan dihargai sepantasnya.

Namun, tidak sedikit atlet berprestasi, bahkan berskala internasional sekalipun yang belum mendapat perhatian yang layak. Pikap adalah latar depan dari bangunan besar penghargaan yang miris dan minim di negeri ini.

Tidak hanya tentang penyambutan. Bukan soal seremonial semata. Tetapi lebih jauh dan lebih penting dari itu adalah bagaimaan menjamin kelangsungan hidup dengan penghargaan yang pantas dan memfasilitasi mereka untuk terus berprestasi.

Sudah banyak cerita miris tentang para atlet dan mantan atlet di Tanah Air yang hidup menderita. Perjuangan untuk menempatkan mereka pada posisi yang pas di tengah berbagai kelompok masyarakat masih harus menempuh jalan panjang.

Pemerintah sudah mewacanakan pengangkatan atlet berprestasi menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Para peraih medali emas Olimpiade mendapat guyuran bonus fantastis baik dari pemerintah maupun kelompok swasta.

Hanya saja, hal-hal seperti itu masih gampang berubah-ubah dan sifatnya momental. Ketidakadilan masih menjadi perkara yang menuntut konsistensi dan payung hukum yang jelas. Utamanya, soal kesejahteraan atlet dan mantan atlet tanpa pandang bulu.

Kembali ke Susanti Ndapataka. Pemerintah NTT sudah mengagendakan acara penyambutan resmi pada 17 Oktober nanti. Mereka akan disambut oleh orang nomor satu dan nomor dua di provinsi yang kerap diplesetkan menjadi Nanti Tuhan Tolong itu.

Selanjutnya, para atlet binaan Dispora NTT akan kembali ke PPLD dan PPLMD untuk menjalani agenda latihan.

Namun, selain acara seremonial yang sifatnya sementara itu, ada sejumlah hal penting yang harus menjadi perhatian jangka panjang. Kisah yang terjadi pada Susanti sedikitnya memberi kita, terutama pihak pemerintah NTT khususnya dua poin pembelajaran.

Pertama, koordinasi antarpihak dalam pengelolaan cabang olahraga. Antara atlet dan pelatih, induk organisasi, pihak swasta, dan pemerintah harus terjalin sinergi baik dalam proses pembinaan, pelatihan, pertandingan, sampai pasca-pertandingan. Di era penuh persaingan ini, kolaborasi dan sinergitas adalah niscaya.

Kedua, memperhatikan masa depan para atlet, calon atlet, dan mantan atlet daerah. Setelah nama Susanti menjadi konsumsi luas, sisi-sisi lain kehidupannya pun mulai terkuak. Salah satunya mengemuka kondisi hidup keluarganya yang sangat sederhana.

Seperti berkah dari viral pemberitaannya, sejumlah pihak mulai menaruh perhatian pada keluarga Susanti yang tinggal di Desa Kuamasi, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang. Rumahnya beratapkan daun gewang dan berdinding bebak membuat hati banyak orang tersentuh.

Rumah Susanti Ndapataka di Desa Kuamasi, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, NTT yang sangat sederhana: Kompas.com
Rumah Susanti Ndapataka di Desa Kuamasi, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, NTT yang sangat sederhana: Kompas.com

Sejumlah tokoh NTT pun menjanjikan akan memberikan bonus kepada para atlet. Dan masih banyak wujud perhatian lainnya.

Namun, hal-hal seperti ini, sekali lagi, sifatnya sementara. Baru berdampak setelah menjadi viral. Baru diperhatikan bila berprestasi.

Sementara masih banyak atlet yang butuh perhatian. Ulurang tangan berupa fasilitas, kebutuhan akomodasi, dan jaminan hidup masih sangat dibutuhkan. 

Jalan para atlet yang sudah mulai unjuk gigi di level nasional seperti Susanti pun masih panjang. Masih banyak mimpi yang ingin ia raih. Tentu, medali emas PON bukanlah yang pertama, apalagi yang terakhir. Potensi itu harus terus diasah dan didukung agar bisa berprestasi di level internasional.

Jangan sampai setelah pemberitaan sepi, tensi perhatian melandai, kondisi mereka kembali seperti sedia kala. Seperti selentingan Jhon Silitonga, "Ini sekadar euforia, namun kelanjutannya saya juga belum tahu. Perlakuan seperti ini bagi kami merupakan hal yang biasa saja."

Bagi Jhon, pengalaman itu sudah menjadi sesuatu yang lumrah lantaran sudah sering terjadi. Tetapi sebenarnya, pembiasaan terhadap hal biasa seperti itu sungguh sesuatu yang keliru. Sudah saatnya mengenyahkan predikat negeri miskin apresiasi agar lebih banyak atlet terpacu berprestasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun