"Jika Anda seorang tamu di suatu negara maka pahami budayanya dan jangan memprovokasinya. Jangan memprovokasi tuan rumah ... Kita hanya bisa melihat sistem gerakan ini dari sudut pandang budaya kita sebagai sesuatu yang tidak dapat dipahami, sebagai provokasi."
Orban membenarkan tindakan para supporter Hungaria karena dianggap memberikan balasan yang wajar atas aksi pemain Irlandia yang berlutut sebelum kick-off.
Namun, bisa diduga komentar tersebut hanya untuk mencari simpati dan pembenaran. Cemoohan tetap cemoohan. Rasisme tetaplah rasisme. Yang dilakukan para pemain Irlandia adalah bentuk perlawanan pada rasisme yang masih belum lenyap dari kehidupan masyarakat yang dianggap sudah maju dan beradab itu.
Timnas Inggris pernah memiliki pengalaman serupa tetapi oleh penggemar berbeda. Saat menghadapi Bulgaria di pertandingan Kualifikasi Euro 2020 di Sofia, sejumlah pemain The Three Lions mengalami pelecehan rasis dari tribun penonton.
Sebelum itu sejumlah pemain seperti Sterling dan Danny Rose menjadi sasaran pelecehan saat Inggris menghadapi Montenegro pada 2019 silam. Nyanyian yang sangat mengganggu kedua pemain itu sampai-sampai membuat pertandingan itu nyaris terhenti.
Selain sikap para pemimpin yang belum pro pada gerakan anti-rasisme, dan fenomena serupa yang masih terjadi di berbegai tempat, skuad Inggris yang menjadi sasaran rasisme kali ini sebenarnya berangkat dari lingkungan yang juga belum steril dari tindakan serupa itu.
Kita masih ingat bagaimana reaksi para penggemarnya terhadap Marcus Rashford, Jadon Sancho dan Bukayo Saka usai final Piala Eropa 2020. Kedua pemain ini menjadi sasaran kemarahan penggemar Inggris setelah gagal mengeksekusi penalti.
Amuk yang mengemuka di jagad maya tidak hanya menyinggung soal tendangan yang tak mengenai sasaran, tetapi juga menyasar pribadi mereka. Karena mereka berbeda secara fisik dan dianggap berangkat dari keturunan berbeda maka mereka menuai respon yang jauh lebih negatif.
Jadi, perang melawan rasisme adalah jalan perjuangan yang belum diketahui ujungnya. Selama perhatian pada pemain seperti Sterling tidak lebih dari kecakapannya mengolah bola, dan Budapest belum ramah pada tamu yang berbeda-beda, maka perjuangan itu entah sampai kapan akan mengisi ruang tontonan dunia yang diklaim makin hari makin beradab.
Kita tidak bisa menjamin, pengalaman pahit hanya terjadi pada Sterling dan terjadi Budapest semata. Sepertinya selama kita masih menganggap diri superior dan perbedaan adalah petaka, seperti  rasisme dan rasialisme yang masih belum jelas perbedaannya, maka sepanjang itu kita akan mengakrabi masalah-masalahnya.