Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Selamat Lee Yang/Wang Chi-Lin, Terima Kasih Hendra/Ahsan

1 Agustus 2021   05:55 Diperbarui: 1 Agustus 2021   07:37 7388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The Daddies usai menghadapi Lee/Wang di semi final Olimpiade Tokyo: badmintonindonesia.org

Selain nomor ganda campuran, perebutan medali sektor ganda putra cabang bulutangkis Olimpiade Tokyo pun sudah berakhir. Masing-masing sektor melahirkan cerita dan sejarah tersendiri.

Tiongkok mendominasi ganda campuran, sama seperti yang terjadi pada edisi-edisi sebelumnya. Negeri Tirai Bambu belum juga kehilangan medali sejak ganda campuran pertama kali dipertandingan di Atalanta, 1999 silam.

Tradisi medali yang dipertahankan Tiongkok kali ini begitu mutlak. Mengulangi kisah superior mereka pada 2012 lalu di London. Saat itu sesama pasangan Tiongkok beradu di partai final. Pertarungan “All Tiongkok Finals” saat itu mempertemukan Zhang Nan/Zhao Yunlei dan Xu Chen Ma Jin.

Sementara itu edisi terkini giliran Zheng Si Wei/Huang Ya Qiong versus Wang Yi Lyu/Huang Dong Ping. Menariknya, perebutan medali emas berjalan begitu sengit. Seakan-akan kedua pasangan itu berasal dari negara berbeda. Mereka bermain habis-habisan seperti tidak akan ada pertandingan setelah itu. Musashino Forest Sport Plaza, Jumat (30/7/2021) seperti palagan penghabisan bukan dari dua pasangan senegara.

Ya, masing-masing pasangan tentu memiliki hasrat untuk meraih medali emas. Menjadi terbaik walau harus bersaing dengan rekan senegara. Menjadi juara Olimpiade meski lawannya adalah yang sering dihadapi di arena latihan pemusatan latihan nasional. 

Ekpresi Wang Yi Liu/Huang Dong Ping usai memenangi perang saudara untuk meraih emas ganda campuran Olimpiade Tokyo: bwfbadminton.com
Ekpresi Wang Yi Liu/Huang Dong Ping usai memenangi perang saudara untuk meraih emas ganda campuran Olimpiade Tokyo: bwfbadminton.com

Untuk itu tidak terlalu mengejutkan bila yang selama ini kurang diunggulkan mampu membalikan keadaan. Rekor pertemuan tidak lagi menjadi acuan dan garansi. Kegemilangan masa lalu adalah hari kemarin. Sementara kisah hari ini  harus diperjuangkan.

Rekor 13-2 yang berpihak pada Zheng/Huang rontok saat itu. Kedigdayaan sang juara dunia dan unggulan pertama mampu diredam Wang/Huang. Pertarungan alot selama lebih dari satu jam dengan skor akhir 21-17 17-21 21-19 akhirnya menjadi milik unggulan kedua. Bukan unggulan teratas yang meraih emas, tetapi yang dijagokan di tempat kedua.

Pertarungan final ideal yang benar-benar menghibur. Pertemuan antara dua pasangan terbaik yang membalikkan segala prediksi dan bertukar tempat di podium utama. Yang dijagokan di urutan pertama hanya mampu meraih medali perak. Begitu juga sebaliknya. Unggulan kedua bisa merebut emas.

Sementara itu harapan Indonesia, Praveen Jordan/Melati Daeva sudah lebih dulu tersisih. Langkah mereka hanya sampai di babak perempat final. Keduanya memang harus mengakui unggulan pertama, yang di partai pamungkas harus menyerah dari ranking dua dunia. Itulah olahraga.

Selamat Lee/Wang

Bagaimana ganda putra? Sektor ini pun menorehkan cerita menarik lainnya. Untuk pertama kali Taiwan mampu meraih medali emas di cabang bulutangkis. Kemenangan diraih oleh pasangan yang justru pernah mengalami kekalahan di penyisihan grup.

Adalah Lee Yang/Wang Chi-Lin yang mampu merontokkan dominasi pasangan-pasangan terbaik lainnya, termasuk Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, idola mereka.

Sementara itu jagoan Indonesia yang diunggulkan di tempat pertama, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo pun merasakan sengatan Lee/Wang di penyisihan grup, sebelum kemudian terhenti di delapan besar di tangan pasangan Malaysia.

Di partai final Sabtu (21/7/2021) petang WIB, Lee/Wang bermain ciamik. Keduanya benar-benar mencapai klimaks dengan memperagakan kualitas terbaik mereka. Mereka hanya butuh 34 menit untuk merontokkan “menara kembar” Tiongkok, Li Junhui/Liu Yu.

Kemenangan straight set 21-18 dan 21-12  atas juara dunia 2018 itu tidak hanya mengukir sejarah bagi Taiwan yang kini memiliki koleksi medali emas ganda putra seperti negara-negara “raksasa” lainnya seperti Indonesia, Tiongkok, dan Korea Selatan. Tetapi juga menggambarkan bahwa pesona mereka sebagai bintang baru yang sudah terlihat sejak awal tahun bukan isapan jempol belaka.

Lee/Wang begitu mendominasi tiga turnamen pertama Super 1000 di Thailand. Mereka menyapu bersih dan pulang dengan “hat-trick” gelar, termasuk World Tour Finals 2020.

Meski saat itu mereka tidak mendapatkan perlawanan dari beberapa pasangan terbaik dunia seperti Minions dari Indonesia, namun performa mereka memberikan sinyal bahwa kualitas mereka sudah layak disejajarkan di level elite.

Sejumlah momen penyerahan medali ganda putra Olimpiade Tokyo: https://twitter.com/BadmintonTalk
Sejumlah momen penyerahan medali ganda putra Olimpiade Tokyo: https://twitter.com/BadmintonTalk

Tak heran setelah memanen gelar di seri Thailand, posisi mereka melonjak drastis. Mereka berada tepat di belakang Minions dan The Daddies. Pada gilirannya dua pasangan terbaik dari Indonesia itu pun harus mengakui bahwa Lee/Wang pantas meraih emas Olimpiade.

Lantas apa rahasia kehebatan mereka? Patut diakui pasangan ini bermain apik. Soliditas, kecepatan, dan kekuatan, menjadi trisula penting yang membuat mereka mampu membuat lawan kewalahan.

Keduanya memang sempat mengalami kekalahan dari Satwikasairaj Rankireddy/Chirag Shetty di laga pertama. Kekalahan 21-16, 16-21, dan 27-25 itu sempat menjadi buah bibir. Tidak sedikit yang meragukan mental pasangan tersebut untuk bersaing di tingkat Olimpiade.

“Kami kehilangan pertandingan pertama Saat itu kami sedikit kecewa, berpikir mungkin kami akan kembali tiga tahun kemudian (Paris 2024) dan melakukan yang lebih baik,” ungkap Wang kepada situs resmi BWF usai partai final.

Hasil negatif itu justru melecut semangat Lee/Wang untuk bangkit. Mereka kemudian tampil begitu baik di laga-laga selanjutnya.

“Tapi mengejutkan kami melewati semua tantangan dan menjadi juara. Saya tidak tahu harus berkata apa,” sambung Wang.

Sejumlah kualitas itu menjadi formula yang mereka pakai dengan baik hingga di partai final. Mereka tidak memberi kesempatan kepada “twin tower” Tiongkok itu. Sempat ketat di gim pertama dalam kedudukan 17-14, Lee/Wang kemudian bisa mengendalikan permainan.

Situasi di set kedua benar-benar berada dalam kendali Lee/Wang. Betapa tidak. Mereka mampu memimpin dengan selisih sangat jauh, 6-15, lantas menjadi 9-18. Pasangan Tiongkok itu sempat mendapat beberapa poin dari kesalahan Lee/Wang yang terkadang terburu-buru. Namun perjuangan mereka untuk menahan laju Lee/Wang hanya sanggup mencapai angka 12.

Liu Yu Chen mengakui bahwa mereka kehilangan arah dalam menghadapi serangan tanpa henti dari Lee/Wang.

“Kami memulai dengan baik, tetapi sejak pertengahan pertandingan kami melewatkan beberapa peluang. Lawan kami sangat bagus, mereka memaksa kami membuat kesalahan,” aku Liu seperti dilansir dari situs resmi BWF.

Li/Liu tentu menyesal tak bisa mempertahankan emas ganda putra yang telah diraih Tiongkok dalam dua edisi sebelumnya. Mereka tak bisa mengikuti jejak Cai Yun/Fu Haifeng dan Zhang Nan/Fu Haifeng yang berjaya di London 2012 dan Rio de Janeiro empat tahun berselang.

Namun demikian, medali perak itu lebih dari cukup menjaga muka Tiongkok, ketimbang tidak mendapat medali sama sekali. Apalagi hasil tersebut diraih di tengah situasi sulit pandemi Covid-19 yang benar-benar membatasi mereka untuk terjun dalam setiap turnamen.

“Untuk sampai ke tahap ini adalah perjalanan yang sulit, kami melakukan banyak upaya selama pandemi. Memenangkan perak memberi kami penyesalan tetapi kami tidak akan berhenti,” tandas Liu Yu Chen lagi.

Terima kasih Daddies

Bagaimana cerita ganda putra Indonesia? Seperti sudah kita ikuti perkembangannya baik langsung maupun tidak langsung, pada edisi kali ini, Indonesia gagal meraih medali. Hasil ini tentu tak sesuai harapan dan target.

Sektor ini sebelumnya diproyeksikan bisa menyumbang keeping emas bagi kontingen Indonesia. Keberadaan Minions dan Deddies sebagai dua unggulan teratas diharapkan bisa mengakhiri paceklik medali emas Olimpiade Indonesia sejak Markis Kido/Hendra Setiawan merebutnya pada 2008 silam.

Minions terhenti di perempat final di hadapan Aaron Chia/Soh Wooi Yik. Rekor sempurna di tujuh pertemuan sebelumnya tak bisa menyelamatkan mereka dari kekalahan dua gim, 21-14 dan 21-17.

Pasangan muda Malaysia itu pun kembali membuat publik tercengang dengan merebut perunggu dari The Daddies. Keduanya menjadi juara ketiga setelah melewati pertandingan panjang berdurasi 52 menit dengan skor akhir17-21, 17-17, 14-21.

Aaron/Soh ini sekali lagi membalikkan prediksi dan membuat statistik menjadi tak berarti. Minions adalah bukti pertama. Selanjutnya dipertegas saat menghadapi The Daddies.

Aaron/Soh menyerah dari pemain senior itu di fase grup. Kemenangan The Daddies 21-16 dan 21-19 seakan membuat mereka kembali berada di atas angin saat harus bertemu lagi di laga terakhir di Tokyo. Ditambah lagi dari delapan pertemuan, tujuh diantaranya dimenangi Hendra/Ahsan.

The Daddies usai menghadapi Lee/Wang di semi final Olimpiade Tokyo: badmintonindonesia.org
The Daddies usai menghadapi Lee/Wang di semi final Olimpiade Tokyo: badmintonindonesia.org

Apa yang dicemaskan pelatih ganda putra, Herry IP ternyata benar. Sebelum pertandingan itu, ia berkata, "Bertemu pasangan Malaysia, belum tentu bisa menang. Atmosfernya berbeda karena sudah perebutan medali perunggu.”

Ternyata, Aaron/Soh yang kini ditangani pelatih asal Indonesia, Flandy Limpele itu berhasil mengatasi status underdog untuk merebut keping medali tersisa. Medali itu sungguh penting. Kekalahan menyakitkan atas Li/Liu di semi final menguburkan harapan mereka untuk menjadi pemain Malaysia pertama yang mampu meraih medali emas.

Namun begitu, dengan meraih medali perunggu pun mereka sebenarnya sudah memiliki banyak cerita untuk dikenang. Mengalahkan dua unggulan asal Indonesia dan memberi negaranya satu-satunya medali yang bisa diraih di sektor bulutangkis.

Tak mampu meraih medali dari sektor yang dijagokan tentu mengecewakan. Usai pertandingan, The Daddies tak lupa meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena walau sudah berjuang maksimal namun tak bisa membawa medali.

Keduanya memang sudah berjuang hingga titik penghabisan. Di usia yang tak muda lagi, mereka masih mampu melangkah hingga semi final, sesuatu yang tak terjadi di sektor ini di Rio empat tahun lalu.

Kegagalan di Tokyo tentu memberi Indonesia banyak pelajaran. Kita pun percaya tim pelatih jauh lebih paham bagaimana memaknai kegagalan itu secara positif untuk menghadapi Olimpiade empat tahun mendatang di Paris, Prancis.

Apakah empat tahun lagi kita masih akan melihat The Daddies di sana? Hendra Setiawan mengatakan, olimpiade Tokyo bukan akhir bagi perjalanan karier mereka. Mereka masih mengincar Piala Thomas dan Piala Uber.

"Selama kita bisa berlanjut, kita akan terus melangkah," kata Ahsan.

Kelihatan jelas api semangat mereka belum juga padam. Terima kasih The Daddies sudah membuat kami ikut merasakan kehangatan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun